Saturday, March 16, 2013

Dampak Televisi (TV) Terhadap Remaja


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
TV adalah produk tekhnologi audio visual yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat dewasa ini. TV hadir di tengah-tengah keluarga memberikan kontribusi yang besar terhadap kebutuhan akan informasi, hiburan dan pendidikan. Sampai sejauh mana pengaruh tayangan televisi terdadap perubahan perilaku pemirsanya.
Televisi adalah media komunikasi, sedangkan komunikasi adalah suatu bisnis yang besar. Sebagai layaknya setiap bisnis, motivasi dan kebutuhannya adalah untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk meningkatkan kesejahteman masyarakan secara keseluruhan (Croos, 1983;).
Dr. Arif Sadiman M.Sc dalam tulisannya yang berjudul "Pengaruh televisi pada perubahan perilaku" (jurnal teknodik No. 7/IV/Teknodik/Oktober 1999) mengutip Laporan UNESCO, 1994 yang menyatakan bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat tindak kekerasan. Hasil polling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka yang melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan di TV.
Sebenamya cukup banyak pula hasil-hasil penelitian yang menemukan pengaruh positif dari tayangan TV. Hal ini terjadi apabila fungsi TV didudukkan secara proporsional, di samping sebagai media hiburan juga sekaligus membawa misi pendidikan. Apabila TV terjebak ke dalam nuansa hiburan semata, dikhawatirkan justru sisi negatifnya yang akan menonjol.
B. Peran Televisi Dewasa ini.
Di era reformasi, kebebasan untuk berkreatvitas adalah syah-syah saja. Bukankah berlaku adagium "tidak ada kreativitas tanpa kebebasan?" Namun demikian sisi tanggung jawab moral untuk menyelaraskan produk kreativitas dengan kebutuhan pembangunan watak bangsa (Nation and Character Building) tak dapat diabaikan begitu saja. Pembangunan watak bangsa adalah investasi non material jangka panjang yang sangat urgen demi kelestarian dan kemajuan suatu bangsa.
Dalam kehidupan masyarakat yang masih rendah kemampuarr berapresiasinya, pengaruh buruk tayangan media elektronik semacam TV lebih cepat meresap ketimbang pengaruh positipnya. Tokoh-tokoh selebritis yang kerap muncul dalam tayangan TV, tidak jarang dijadikan model gaya hidup remaja masa kini. Mereka bukan saja mengagumi kecantikan dan ketampanan tokoh idolanya, tetapi dijadikannya para tokoh selebritis itu sebagai tokoh identifikasi. Cara bicara, penampilan dan cara berprilaku kaum selebritis baik ketika ia memainkan tokoh tertentu maupun dalam kehidupan riilnya seolah menjadi sesuatu yang wajib dijadikan kiblat kehidupan para remaja.
Paham bebas nilai atau prinsip seni untuk seni yang mulai tumbuh pada jaman Renaissance di Eropa seolah diadopsi begitu saja. Karya-karya semacam ini menjadi lahan subur bisnis hiburan dewasa ini. Apabila hal semacam itu dibiarkan tanpa kendali, tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak kalangan remaja yang terjerumus ke dalam cara hidup hedonis dan oportunis.
Memperoduksi karya seni yang berkualitas, mendidik sekaligus menghibur memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menghasilkan produk sinetron yang bermutu sekaligus menghibur dibutuhkan tenaga profesional yang memiliki komitmen tinggi sekaligus menguasai strategi pemasarannya. Sumber daya semacam itu bukannya tidak ada di Indonesia, tetapi harus diakui memang masih langka. Para pemilik rumah produksi sudah saatnya memberikan perhatian terhadap masalah ini dengan cara menjadikan pembinaan tenaga seni sebagai investasi jangka panjang. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah polotical will dari pemerintah dalam pengembangan seni yang kondusif terhadap pembangunan watak bangsa. Dengan adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah, diharapkan akan memacu gairah para pekerja seni termasuk para pengusaha hiburan untuk berkreasi melahirkan karya-karya yang berkualitas.
Penulis menyadari bahwa kehadiran sinetron dengan tema-tema cerita gaya keluarga gedongan Kota Metropolitan turut memberikan sumbangsih terhadap perkembangan pertelevisian di Indonesia. Namun yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai keuntungan jangka pendek pengorbankan kepentingan Jangka panjang.
Ingatlah! Nation and Character Building jauh lebih urgen untuk diperhatikan secara serius ketimbang kepentingan bisnis hiburan yang hanya menguntungkan sekelompok orang. Keterpurukan bangsa Indonesia dewasa ini bukan semata-mata karena faktor ekonomi atau faktor politik, tetapi rapuhnya kepribadian juga turut memberi andil di dalamnya.
Menanggapi situasi pertelevisian yang kurang kondusif bagi pendidikan nilai, keluhan dan kecaman kepada produk media audio visual tersebut adalah tindakan yang kurang bijaksana. Yang penting untuk segera dilakukan yaitu perlunya upaya untuk saling mendekatkan visi antara pelaku bisnis hiburan, pengelola televisi disatu pihak dan pelaku pendidikan di pihak lain. Tindakan konfrontatif sama sekali tidak produktif. Melarang anak-anak dan para remaja untuk tidak menonton acara TV adalah perbuatan naif. Tindakan seperti itu, tergolong anti kemajuan dan mustahil dilakukan pada era globalisasi dewasa ini.
Sebaliknya membiarkan anak-anak atau para remaja untuk melahap bayangan yang kontra produktif dengan pendidikan nilai berarti memporak-porandakan pendidikan nilai itu sendiri. Tindakan yang tepat adalah tindakan proaktif bukan tindakan reaktif. Hal-hal di bawah ini adalah manifestasi dari tindakan yang proaktif dalam menyikapi era pertelevisian[1] :
1.   Berpikirlah positif terhadap kehadiran TV (sebagai media audio visual) yang notabene berfungsi di samping sebagai media hiburan, juga diharapkan hadir sebagai media pendidikan. Optimalkan kehadiran TV sebagai sumber belajar secara selektif tanpa harus meninggalkan unsur hiburannya.
2.    TV yang dinilai sudah cukup banyak menampilkan unsur pendidikan dalam tayangannya perlu lebih diberdayakan. Setiap stasiun TV harus segera dibebaskan untuk menayangkan iklan dalam batas-batas yang dapat ditolerir. Hal ini penting untuk segera diwujudkan agar TV memiliki sumber dana yang memadai dalam rangka menunjang kreativitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Sajian acara bernuansa pendidikan yang dikemas dalam hiburan yang menarik perlu banyak diproduksi. Dengan demikian kecenderungan bertambah banyaknya pemirsa TV Negri yang berpaling ke TV Swasta dapat dicegah. Di masa-masa yang akan datang TV diharapkan mampu bersaing secara sehat dengan TV swasta. TV Negri juga dituntut mampu menjadi pelopor dalam memproduk tayangan yang berkualitas sekaligus menghibur dan layak jual (marketable).
3.  Pihak pengelola Televisi Swasta hendaknya menyadari betui keberadaan televisi yang dikelolanya sebagai televisi independen (Independent Television) yang dituntut menyuguhkan tayangan secara. proporsional. Kecenderungan menempatkan diri sebagai televisi komersial (Commercial television Broadcast) harus segera dibenahi karena jelas-jelas merampas hak pemirsa untuk mendapatkan tayangan yang sehat dan mendidik.
4.     Ajaklah anak-anak dan para remaja untuk mendiskusikan acara-acara tertentu yang digemari mereka tetapi berpotensi membawa dampak negatif. Diskusi-diskusi semacam itu bermanfaat untuk meningkatkan daya apresiasinya. Para guru dalam jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dapat mengangkat isu-isu aktual yang berkaitan dengan tayangan TV dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini sangat efektif dilakukan apabila dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan Agama. Penggunan metoda yang relevan (seperti diskusi, pemecahan masalah dan VCT) akan mampu menumbuhkan daya nalar siswa dan membentuk filter diri dalam respon pengaruh eksternal dari tayangan TV.
5.  Penulis memandang penting diadakannya temu dialog antara kalangan pendidikan (kalau perlu melibatkan siswa ) dengan pengelola TV dan pekerja seni (produser, sutradara, penulis cerita, para aktor dan aktris, dan lain-lain)
6.     Visi penulis adalah, marilah kita ciptakan wajah pendidikan yang toleran terhadap perkembangan seni hiburan. Sebaliknya penulis juga mengajak kalangan pekerja seni hiburan (utamanya yang ditayangkan lewat TV semacam sinetron) untuk lebih memiliki tanggung jawab sosial. Rumah, rumah produksi hendaknya tidak sekedar profit oriented tetapi juga perlu peduli terhadap unsur pendidikannya (educative oriented), Insya Allah bisa.

BAB II

PERMASALAHAN

Masa depan perfileman di Indonesia sebetulnya cukup prospektif apabila mendapat perhatian yang sungguh-sungguh baik dari para pekerja seni, masyarakat maupun pemerintah. Sejauh mana TV mempengaruhi anak (Remaja) dalam perkembangannya dewasa ini? Sebagai ilustrasi, Dunia pertelevisian dewsa ini dijadikan ajang bisnis para insvestor asing, adakah dengan masuknya para insvestor asing tersebut dalam dunia pertelivisian Indonesia berdampak pada berkembangnya mode di Negara kita yang notabene terispiorasi oleh dunia barat?
BAB III
PEMBAHASAN
A.    Remaja dan Permasalahannya
Remaja yang notabene berpenampilan “cuek”, “semau gue”, “tidak peduli orang lain”, ‘gampang tersinggung’ dan seolah-olah dunia adalah milik mereka, orang lain hanya ngontrak atau kost saja. Sedikit dari kita yang membayangkan sosok yang alim, manis, sopan, cerdas dan kreatif[2]. Semuanya karena sebagian besar remaja memiliki ciri-ciri :
  1. Mengutamakan egonya
  2. Perasa
  3. Lebih menyukai yang kongkrit
  4. Cenderung keras kepala/menentang
  5. Kurang rnampu mengendalikan
  6. Sedang mencari identitas diri
  7. Cenderung agresif
  8. Rasa harga diri yang ting­gi/kuat
  9. Menang sendiri
  10. Merasa paling hebat/sok ja­ goan
  11. Rasa setia kelompok yang tinggi
  12. Hidup selalu dengan kolompoknya
  13. Cenderung berpakaian aneh-aneh/mudah terpengaruh pekembangan mode
  14. Cepat terpenganuh pada kebudayaan baru
  15. Berkhayal
  16. Ingin bebas
  17. Cenderung melanggar tata tertib
Disisi lain remaja dalam pergaulan dan kehidupan mereka memiliki berbagai macam persoalan adapun remaja yang memiliki permasalahan dikategorikan dalam dua kategori :
  • Remaja yang sedang memiliki/menghadapi masalah dalam dirinya. Misalnya gagal dalarn studi, tidak diterima dalam kelompoknya, masalah dengan orang tua dan lain-lain.
  • Remaja yang menimbulkan masalah atau mengganggu orang lain. Artinya mereka berperilaku menyimpang atau yang lebih dikenal dengan kenakalan remaja.
Kemudian kembali kepada permasalahan awal, yang menyebabkan terjadinya permasalahan yang timbul dikalangan remaja dapat kita  cermati, adapun yang biasa jadi titik awal  terjadinya permasalahan di kalangan remaja adalah sebagai berikut[3] :
  1. Keluarga ( terutama bapak dan ibu) gagal melaksanakan perannya sebagai pembentuk kepribadian yang utama dan pertama, melalui pemberian kasih sayang, rasa aman dan kehangatan.
  2. Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak sehat. Banyak sekali remaja yang menarik diri dari keluarganya, karena ketidaktahuan orang tua bagaimana cara mendengar cerita anak tanpa memberikan penilaian, kritik atau na­sihat. (Lihat buklet 2)
  3. Cara mengasuh dan mandidik yang kurang tepat. Diantaranya :
    • Sangat melindungi atau memanjakan anak bahkan ketika anak berbuat salah
    • Hanya memberikan kepuasan materi/lahiriah
    • Sangat menguasai anak (otoriter) dan memperlakukan anak dengan keras
  4. Orang tua materialistik/cinta harta berlebihan sehingga mengabaikkan nilai-nilai agama..Keadaan ini menyebabkan remaja menyandarkan kegundahan hatinya pada orang yang kurang bertanggung jawab. Remaja ini akan menjadi remaja yang hedonis (hidup hura-hura, yang panting senang dan menghalalkan segala cara). Contoh kasus remaja putri yang menjadi pelacur, karena kosong rohani dan tidak memiliki moral.
  5. Pengaruh merusak dari luar rumah ditambah dengan hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, menyebabkan remaja menjadi berperan ganda. Ada sebagian orang tua yang tidak tahu atau tidak mau tahu kalau anak gadisnya telah menjadi penjaja seks (baik yang gratis, murahan maupun yang tarif tinggi).
Sebagian orang tua lain tidak tahu kalau anak lelakinya telah terbiasa melakukan hubungan seks sebelum nikah, menjadi pembunuh, pencurl atau preman. Mereka hanya tahu anaknya adalah anak manis di rumah. Anak yang wajib untuk taat dan patuh tanpa penjelasan[4].
 
B. Pengaruh Televisi terhadap Pembentukan Mental Remaja

Kemudian yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu. Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian[5].
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun[6].
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."[7]
Tapi, perlu kita pertanyakan “benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca saja?”. "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak. Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga mendukung.
Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
BUKAN hal aneh, melihat anak-anak kecil mondar-mandir ke warung di sekitar rumah mereka. Namun, cobalah perhatikan lebih jeli, ada hal berbeda yang dibeli anak-anak sekarang. Dulu, anak-anak hanya jajan permen, kue atau kerupuk. Kini, selain makanan kecil, mereka mencari kemasan sachet berisi jel, sejenis minyak rambut untuk membentuk tatanan rambut.
Dengan jel seharga Rp 500,00 per sachet, mereka bergaya rapi laiknya remaja puber. Hari ini rambut dibelah tengah, besok belah pinggir, lusa giliran jambul bertengger di kepala mereka.
"Jel rambut termasuk barang laris dan paling dicari anak-anak tetangga kami," tutur Ny. Yuti (36), pemilik sebuah warung di Perumahan Bumi Asri Mekar Rahayu Kopo, Kabupaten Bandung. Karena laris itulah, Yuti tidak pernah lupa menyediakan alat kecantikan para pria tersebut.
Zaman yang berubah, mudah sekali dilihat lewat penampilan anak-anak usia sekolah dasar di berbagai kesempatan. Seorang ibu berkerut menyaksikan gadis-gadis cilik usia kelas 5 atau 6 sekolah dasar tampil dengan dandanan wanita dewasa. Memakai sepatu hak tinggi, dengan syal di leher mereka. Mereka pun ber-ha ha hi hi dengan temannya yang juga berpenampilan sama di sebuah lembaga bimbingan belajar.[8]
Rupanya, bukan hanya remaja dan dewasa saja yang sangat sadar akan penampilannya. Anak-anak usia sekolah dasar pun kini membenahi penampilan mereka. Salon, kini bukan lagi hanya milik remaja putri. Anak SD, putra dan putri sudah menjadikan salon sebagai rumah kecantikan mereka. Awal bulan lalu, misalnya serombongan anak lelaki usia sekolah dasar datang ke sebuah salon di bilangan Margahayu. "Ada cat rambut?" tanya seorang anak yang tampaknya merupakan pimpinan rombongan.
Kalau kita perhatikan Anak Berpenampilan Dewasa Efek Pergeseran Nilai dan Budaya yang terdapat dalam televisi, BUKAN hal aneh, melihat anak-anak kecil mondar-mandir ke warung di sekitar rumah mereka. Namun, cobalah perhatikan lebih jeli, ada hal berbeda yang dibeli anak-anak sekarang. Dulu, anak-anak hanya jajan permen, kue atau kerupuk. Kini, selain makanan kecil, mereka mencari kemasan sachet berisi jel, sejenis minyak rambut untuk membentuk tatanan rambut.
Dengan jel seharga Rp 500,00 per sachet, mereka bergaya rapi laiknya remaja puber. Hari ini rambut dibelah tengah, besok belah pinggir, lusa giliran jambul bertengger di kepala mereka.
"Jel rambut termasuk barang laris dan paling dicari anak-anak tetangga kami," tutur Ny. Yuti (36), pemilik sebuah warung di Perumahan Bumi Asri Mekar Rahayu Kopo, Kabupaten Bandung. Karena laris itulah, Yuti tidak pernah lupa menyediakan alat kecantikan para pria tersebut.
Zaman yang berubah, mudah sekali dilihat lewat penampilan anak-anak usia sekolah dasar di berbagai kesempatan. Seorang ibu berkerut menyaksikan gadis-gadis cilik usia kelas 5 atau 6 sekolah dasar tampil dengan dandanan wanita dewasa. Memakai sepatu hak tinggi, dengan syal di leher mereka. Mereka pun ber-ha ha hi hi dengan temannya yang juga berpenampilan sama di sebuah lembaga bimbingan belajar[9].
Rupanya, bukan hanya remaja dan dewasa saja yang sangat sadar akan penampilannya. Anak-anak usia sekolah dasar pun kini membenahi penampilan mereka. Salon, kini bukan lagi hanya milik remaja putri. Anak SD, putra dan putri sudah menjadikan salon sebagai rumah kecantikan mereka. Awal bulan lalu, misalnya serombongan anak lelaki usia sekolah dasar datang ke sebuah salon di bilangan Margahayu. "Ada cat rambut?" tanya seorang anak yang tampaknya merupakan pimpinan rombongan.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa televisi memberikan pengaruh pada anak dari siaran-siaran yang ditayangkannya, baik itu yang sifatnya edukatif atau yang bersifat doktrin dan Apresiatif.

C.    Peran Orang Tua dalam Dunia Pertelivisian bagi Anak

Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".[10]
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak[11].
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah intelektual.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".[12]
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu. Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Agaknya, setelah rezim represif Soeharto tumbang, pemimpin yang berkuasa kemudian cenderung tak mau gegabah mengganggu terlalu dalam kehidupan pers. Namun, di tengah menjulangnya kebebasan pers yang saat ini berhasil dikecap masyarakat, ternyata berbagai dampak negatif dari kebebasan itu sendiri mulai dirasakan. Industrialisasi dan komersialisasi pers yang menumbuhkan persaingan ketat membuat sebagian media massa tergiring berorientasi pada sebesar-besarnya profit tanpa banyak memedulikan dampaknya.[13]
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.[14]
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga

BAB IV

PENUTUP

SETELAH hampir tujuh tahun kebebasan dinikmati, dunia pers Indonesia kembali dihadapkan pada posisi dilematis, antara mempertahankan ataukah mengerem kebebasan yang dimiliki. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilangnya dengan kebebasan yang seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik.
Apresiasi yang tinggi dari publik terhadap era kebebasan pers saat ini ternyata tak membebaskan pers dari munculnya masalah baru, yakni dampak-dampak negatif dari kebebasan dan industrialisasi pers.
Tiadanya kekhawatiran akan adanya pembredelan dan begitu mudahnya mengurus usaha penerbitan membuat kian menjamurnya penerbitan. Jumlah penerbitan kini semakin beragam dengan berbagai pilihan produk informasi yang nyaris lengkap, mulai dari surat kabar nasional, majalah, hingga tabloid yang membahas aspek khusus.
Peranan surat kabar dalam mengemban misi mendorong kerukunan antar-agama, suku, dan kelompok pun dinilai sudah dijalankan surat kabar dengan lebih memadai saat ini. Bahkan, tak hanya dari segi isi, perbaikan kualitas menyangkut fisik surat kabar pun dinilai kian menarik. Kemajuan dalam bidang grafis, komputer, dan mesin cetak menjadikan koran masa kini secara fisik lebih variatif dan menarik.
Majalah Mingguan Tempo, edisi 8-14 Januari 2001
Majalah mingguan Forum Keadilan No. 44, 11 Februari 2001
Nashih ‘Ulwan, DR. Abdullah. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang, CV Asy Syifa, 1981.
Sa'abah, Marzuki Usman. Seks dan Kita. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Hafizh , Abdul ,Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al­ Bayan, 1997.
Jamaludin, Muhammad, S. Psi (Psikolog Polda Sulut), Membantu Anak Tumbuh Menjadi Dewasa (makalah). 1998
Dr. Kuntowijiyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jokjakarta : Pustaka Pelajar : 1994).
Dr. Muhammad al-zuhaili, Menciptakan Remaja Dambaan Allah, (Bandung, PT Mizan Pustaka 2004).
Dr. Abu Bakar Ahmad asyyid, Kepada Para Pendidik Muslim ( Jakarta, Gema Insani Press, 1994)
Koentjaraningkrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hal. 133

[1] DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan. 1981. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang: CV Asy Syifa.
[2] Marzuki Usman Sa'abah. 1997. Seks dan Kita. Jakarta: Gema Insani Press.
[3] Ibid.
[4] DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan, Loc.Cit.
[5] Majalah Mingguan Tempo, edisi 8-14 Januari 2001
[6]Majalah mingguan Forum Keadilan No. 44, 11 Februari 2001
[7] Muhammad Jamaludin, S. Psi (Psikolog Polda Sulut). 1998. Membantu Anak Tumbuh Menjadi Dewasa (makalah).
[8] Koentjaraningkrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974)
[9] Dr. Muhammad al-zuhaili, Menciptakan Remaja Dambaan Allah, (Bandung, PT Mizan Pustaka 2004).
[10] Muhammad Nur Abdul Hafizh. 1997. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung: Al­ Bayan.
[11] Majalah Tempo, Loc. Cit.
[12] Dr. Kuntowijiyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jokjakarta : Pustaka Pelajar : 1994).
[13] Majalah mingguan Forum Keadilan. Op-Cit.
[14] Muhammad Jamaludin, S. Psi, Op. Cit.

No comments:

Post a Comment