BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
TV adalah produk tekhnologi audio visual
yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat dewasa ini. TV hadir di
tengah-tengah keluarga memberikan kontribusi yang besar terhadap kebutuhan akan
informasi, hiburan dan pendidikan. Sampai sejauh mana pengaruh tayangan
televisi terdadap perubahan perilaku pemirsanya.
Televisi adalah media komunikasi, sedangkan komunikasi
adalah suatu bisnis yang besar. Sebagai layaknya setiap bisnis, motivasi dan
kebutuhannya adalah untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk meningkatkan
kesejahteman masyarakan secara keseluruhan (Croos, 1983;).
Dr. Arif Sadiman M.Sc dalam tulisannya yang berjudul
"Pengaruh televisi pada perubahan perilaku" (jurnal teknodik
No. 7/IV/Teknodik/Oktober 1999) mengutip Laporan UNESCO, 1994 yang menyatakan
bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling
pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat tindak
kekerasan. Hasil polling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka
yang melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan di TV.
Sebenamya cukup banyak pula hasil-hasil penelitian yang
menemukan pengaruh positif dari tayangan TV. Hal ini terjadi apabila fungsi TV
didudukkan secara proporsional, di samping sebagai media hiburan juga sekaligus
membawa misi pendidikan. Apabila TV terjebak ke dalam nuansa hiburan semata,
dikhawatirkan justru sisi negatifnya yang akan menonjol.
B. Peran Televisi Dewasa ini.
Di era reformasi, kebebasan untuk berkreatvitas adalah
syah-syah saja. Bukankah berlaku adagium "tidak ada kreativitas tanpa
kebebasan?" Namun demikian sisi tanggung jawab moral untuk menyelaraskan
produk kreativitas dengan kebutuhan pembangunan watak bangsa (Nation and
Character Building) tak dapat diabaikan begitu saja. Pembangunan watak
bangsa adalah investasi non material jangka panjang yang sangat urgen demi
kelestarian dan kemajuan suatu bangsa.
Dalam kehidupan masyarakat yang masih rendah kemampuarr
berapresiasinya, pengaruh buruk tayangan media elektronik semacam TV lebih
cepat meresap ketimbang pengaruh positipnya. Tokoh-tokoh selebritis yang kerap
muncul dalam tayangan TV, tidak jarang dijadikan model gaya hidup remaja masa
kini. Mereka bukan saja mengagumi kecantikan dan ketampanan tokoh idolanya,
tetapi dijadikannya para tokoh selebritis itu sebagai tokoh identifikasi. Cara
bicara, penampilan dan cara berprilaku kaum selebritis baik ketika ia memainkan
tokoh tertentu maupun dalam kehidupan riilnya seolah menjadi sesuatu yang wajib
dijadikan kiblat kehidupan para remaja.
Paham bebas nilai atau prinsip seni untuk seni yang mulai
tumbuh pada jaman Renaissance di Eropa seolah diadopsi begitu saja. Karya-karya
semacam ini menjadi lahan subur bisnis hiburan dewasa ini. Apabila hal semacam
itu dibiarkan tanpa kendali, tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak
kalangan remaja yang terjerumus ke dalam cara hidup hedonis dan oportunis.
Memperoduksi karya seni yang berkualitas, mendidik
sekaligus menghibur memang bukan pekerjaan mudah. Untuk menghasilkan produk
sinetron yang bermutu sekaligus menghibur dibutuhkan tenaga profesional yang
memiliki komitmen tinggi sekaligus menguasai strategi pemasarannya. Sumber daya
semacam itu bukannya tidak ada di Indonesia, tetapi harus diakui memang masih
langka. Para pemilik rumah produksi sudah saatnya memberikan perhatian terhadap
masalah ini dengan cara menjadikan pembinaan tenaga seni sebagai investasi
jangka panjang. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah polotical will
dari pemerintah dalam pengembangan seni yang kondusif terhadap pembangunan
watak bangsa. Dengan adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah,
diharapkan akan memacu gairah para pekerja seni termasuk para pengusaha hiburan
untuk berkreasi melahirkan karya-karya yang berkualitas.
Penulis menyadari bahwa kehadiran sinetron dengan
tema-tema cerita gaya keluarga gedongan Kota Metropolitan turut memberikan
sumbangsih terhadap perkembangan pertelevisian di Indonesia. Namun yang perlu
diwaspadai adalah jangan sampai keuntungan jangka pendek pengorbankan
kepentingan Jangka panjang.
Ingatlah! Nation and Character Building jauh lebih urgen
untuk diperhatikan secara serius ketimbang kepentingan bisnis hiburan yang
hanya menguntungkan sekelompok orang. Keterpurukan bangsa Indonesia dewasa ini
bukan semata-mata karena faktor ekonomi atau faktor politik, tetapi rapuhnya
kepribadian juga turut memberi andil di dalamnya.
Menanggapi situasi pertelevisian yang kurang kondusif
bagi pendidikan nilai, keluhan dan kecaman kepada produk media audio visual tersebut
adalah tindakan yang kurang bijaksana. Yang penting untuk segera dilakukan
yaitu perlunya upaya untuk saling mendekatkan visi antara pelaku bisnis
hiburan, pengelola televisi disatu pihak dan pelaku pendidikan di pihak lain.
Tindakan konfrontatif sama sekali tidak produktif. Melarang anak-anak dan para
remaja untuk tidak menonton acara TV adalah perbuatan naif. Tindakan seperti
itu, tergolong anti kemajuan dan mustahil dilakukan pada era globalisasi dewasa
ini.
Sebaliknya membiarkan anak-anak atau para remaja untuk
melahap bayangan yang kontra produktif dengan pendidikan nilai berarti
memporak-porandakan pendidikan nilai itu sendiri. Tindakan yang tepat adalah
tindakan proaktif bukan tindakan reaktif. Hal-hal di bawah ini adalah
manifestasi dari tindakan yang proaktif dalam menyikapi era pertelevisian[1] :
1. Berpikirlah positif terhadap
kehadiran TV (sebagai media audio visual) yang notabene berfungsi di samping
sebagai media hiburan, juga diharapkan hadir sebagai media pendidikan.
Optimalkan kehadiran TV sebagai sumber belajar secara selektif tanpa harus
meninggalkan unsur hiburannya.
2. TV yang dinilai sudah cukup
banyak menampilkan unsur pendidikan dalam tayangannya perlu lebih diberdayakan.
Setiap stasiun TV harus segera dibebaskan untuk menayangkan iklan dalam
batas-batas yang dapat ditolerir. Hal ini penting untuk segera diwujudkan agar
TV memiliki sumber dana yang memadai dalam rangka menunjang kreativitas sumber
daya manusia yang dimilikinya. Sajian acara bernuansa pendidikan yang dikemas
dalam hiburan yang menarik perlu banyak diproduksi. Dengan demikian
kecenderungan bertambah banyaknya pemirsa TV Negri yang berpaling ke TV Swasta
dapat dicegah. Di masa-masa yang akan datang TV diharapkan mampu bersaing
secara sehat dengan TV swasta. TV Negri juga dituntut mampu menjadi pelopor
dalam memproduk tayangan yang berkualitas sekaligus menghibur dan layak jual
(marketable).
3. Pihak pengelola Televisi
Swasta hendaknya menyadari betui keberadaan televisi yang dikelolanya sebagai
televisi independen (Independent Television) yang dituntut menyuguhkan
tayangan secara. proporsional. Kecenderungan menempatkan diri sebagai televisi
komersial (Commercial television Broadcast) harus segera dibenahi
karena jelas-jelas merampas hak pemirsa untuk mendapatkan tayangan yang sehat
dan mendidik.
4. Ajaklah anak-anak dan para
remaja untuk mendiskusikan acara-acara tertentu yang digemari mereka tetapi
berpotensi membawa dampak negatif. Diskusi-diskusi semacam itu bermanfaat untuk
meningkatkan daya apresiasinya. Para guru dalam jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah dapat mengangkat isu-isu aktual yang berkaitan dengan tayangan TV
dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini sangat efektif dilakukan apabila
dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai
seperti PPKN dan Pendidikan Agama. Penggunan metoda yang relevan (seperti
diskusi, pemecahan masalah dan VCT) akan mampu menumbuhkan daya nalar siswa dan
membentuk filter diri dalam respon pengaruh eksternal dari tayangan TV.
5. Penulis memandang penting
diadakannya temu dialog antara kalangan pendidikan (kalau perlu melibatkan
siswa ) dengan pengelola TV dan pekerja seni (produser, sutradara, penulis
cerita, para aktor dan aktris, dan lain-lain)
6. Visi penulis adalah, marilah
kita ciptakan wajah pendidikan yang toleran terhadap perkembangan seni hiburan.
Sebaliknya penulis juga mengajak kalangan pekerja seni hiburan (utamanya yang
ditayangkan lewat TV semacam sinetron) untuk lebih memiliki tanggung jawab
sosial. Rumah, rumah produksi hendaknya tidak sekedar profit oriented
tetapi juga perlu peduli terhadap unsur pendidikannya (educative oriented),
Insya Allah bisa.
BAB II
PERMASALAHAN
Masa depan perfileman di Indonesia
sebetulnya cukup prospektif apabila mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
baik dari para pekerja seni, masyarakat maupun pemerintah. Sejauh mana TV
mempengaruhi anak (Remaja) dalam perkembangannya dewasa ini? Sebagai ilustrasi,
Dunia pertelevisian dewsa ini dijadikan ajang bisnis para insvestor asing,
adakah dengan masuknya para insvestor asing tersebut dalam dunia pertelivisian
Indonesia berdampak pada berkembangnya mode di Negara kita yang notabene
terispiorasi oleh dunia barat?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Remaja dan Permasalahannya
Remaja yang notabene
berpenampilan “cuek”, “semau gue”, “tidak peduli orang lain”, ‘gampang
tersinggung’ dan seolah-olah dunia adalah milik mereka, orang lain hanya
ngontrak atau kost saja. Sedikit
dari kita yang membayangkan sosok yang alim, manis, sopan, cerdas dan kreatif[2]. Semuanya karena sebagian besar remaja
memiliki ciri-ciri :
- Mengutamakan egonya
- Perasa
- Lebih menyukai yang kongkrit
- Cenderung keras kepala/menentang
- Kurang rnampu mengendalikan
- Sedang mencari identitas diri
- Cenderung agresif
- Rasa harga diri yang tinggi/kuat
- Menang sendiri
- Merasa paling hebat/sok ja goan
- Rasa setia kelompok yang tinggi
- Hidup selalu dengan kolompoknya
- Cenderung berpakaian aneh-aneh/mudah terpengaruh pekembangan mode
- Cepat terpenganuh pada kebudayaan baru
- Berkhayal
- Ingin bebas
- Cenderung melanggar tata tertib
Disisi lain remaja dalam pergaulan dan kehidupan
mereka memiliki berbagai macam persoalan adapun remaja yang memiliki
permasalahan dikategorikan dalam dua kategori :
- Remaja yang sedang memiliki/menghadapi masalah dalam dirinya. Misalnya gagal dalarn studi, tidak diterima dalam kelompoknya, masalah dengan orang tua dan lain-lain.
- Remaja yang menimbulkan masalah atau mengganggu orang lain. Artinya mereka berperilaku menyimpang atau yang lebih dikenal dengan kenakalan remaja.
Kemudian kembali kepada permasalahan awal, yang
menyebabkan terjadinya permasalahan yang timbul dikalangan remaja dapat
kita cermati, adapun yang biasa jadi
titik awal terjadinya permasalahan di
kalangan remaja adalah sebagai berikut[3] :
- Keluarga ( terutama bapak dan ibu) gagal melaksanakan perannya sebagai pembentuk kepribadian yang utama dan pertama, melalui pemberian kasih sayang, rasa aman dan kehangatan.
- Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak sehat. Banyak sekali remaja yang menarik diri dari keluarganya, karena ketidaktahuan orang tua bagaimana cara mendengar cerita anak tanpa memberikan penilaian, kritik atau nasihat. (Lihat buklet 2)
- Cara mengasuh dan mandidik yang kurang tepat. Diantaranya :
- Sangat melindungi atau memanjakan anak bahkan ketika anak berbuat salah
- Hanya memberikan kepuasan materi/lahiriah
- Sangat menguasai anak (otoriter) dan memperlakukan anak dengan keras
- Orang tua materialistik/cinta harta berlebihan sehingga mengabaikkan nilai-nilai agama..Keadaan ini menyebabkan remaja menyandarkan kegundahan hatinya pada orang yang kurang bertanggung jawab. Remaja ini akan menjadi remaja yang hedonis (hidup hura-hura, yang panting senang dan menghalalkan segala cara). Contoh kasus remaja putri yang menjadi pelacur, karena kosong rohani dan tidak memiliki moral.
- Pengaruh merusak dari luar rumah ditambah dengan hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, menyebabkan remaja menjadi berperan ganda. Ada sebagian orang tua yang tidak tahu atau tidak mau tahu kalau anak gadisnya telah menjadi penjaja seks (baik yang gratis, murahan maupun yang tarif tinggi).
Sebagian
orang tua lain tidak tahu kalau anak lelakinya telah terbiasa melakukan
hubungan seks sebelum nikah, menjadi pembunuh, pencurl atau preman. Mereka
hanya tahu anaknya adalah anak manis di rumah. Anak yang wajib untuk taat dan
patuh tanpa penjelasan[4].
B. Pengaruh Televisi
terhadap Pembentukan Mental Remaja
Kemudian yang menjadi masalah,
mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan di TV? Tak bisa
dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam memperebutkan
kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula dengan pengiklanan
suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang dilemparkan ke pemirsa
harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin memperhatikan
iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar
porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil
contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai cara
dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero)
selalu menarik perhatian[5].
Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini
tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi
berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur,
peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut
penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai
pernah dilakukan Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap
1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 - 17 tahun[6].
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat
survai itu. Ia mencari hubungan
statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan
masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan).
Centerwall kemudian
menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang dewasa pelaku
pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada si pelaku
sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan yang
terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-anak,
beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada
tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti
yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Menurut psikolog dari
Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi
terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu agresi. "Orang
belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman
atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."[7]
Tapi, perlu kita pertanyakan
“benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di
layar kaca saja?”. "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat
agresif sejak lahir," ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup.
Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang
mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak. Ada
yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu
yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi suguhan
sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar juga
mendukung.
Sedangkan Ron Solby
dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak
kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama,
dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak
korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain;
ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap
kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak
untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
BUKAN hal aneh,
melihat anak-anak kecil mondar-mandir ke warung di sekitar rumah mereka. Namun,
cobalah perhatikan lebih jeli, ada hal berbeda yang dibeli anak-anak sekarang.
Dulu, anak-anak hanya jajan permen, kue atau kerupuk. Kini, selain makanan
kecil, mereka mencari kemasan sachet berisi jel, sejenis minyak rambut untuk
membentuk tatanan rambut.
Dengan jel seharga
Rp 500,00 per sachet, mereka bergaya rapi laiknya remaja puber. Hari ini rambut
dibelah tengah, besok belah pinggir, lusa giliran jambul bertengger di kepala
mereka.
"Jel rambut
termasuk barang laris dan paling dicari anak-anak tetangga kami," tutur
Ny. Yuti (36), pemilik sebuah warung di Perumahan Bumi Asri Mekar Rahayu Kopo,
Kabupaten Bandung. Karena laris itulah, Yuti tidak pernah lupa menyediakan alat
kecantikan para pria tersebut.
Zaman yang berubah,
mudah sekali dilihat lewat penampilan anak-anak usia sekolah dasar di berbagai
kesempatan. Seorang ibu berkerut menyaksikan gadis-gadis cilik usia kelas 5
atau 6 sekolah dasar tampil dengan dandanan wanita dewasa. Memakai sepatu hak
tinggi, dengan syal di leher mereka. Mereka pun ber-ha ha hi hi dengan
temannya yang juga berpenampilan sama di sebuah lembaga bimbingan belajar.[8]
Rupanya, bukan
hanya remaja dan dewasa saja yang sangat sadar akan penampilannya. Anak-anak
usia sekolah dasar pun kini membenahi penampilan mereka. Salon, kini bukan lagi
hanya milik remaja putri. Anak SD, putra dan putri sudah menjadikan salon
sebagai rumah kecantikan mereka. Awal bulan lalu, misalnya serombongan anak
lelaki usia sekolah dasar datang ke sebuah salon di bilangan Margahayu.
"Ada cat rambut?" tanya seorang anak yang tampaknya merupakan
pimpinan rombongan.
Kalau kita perhatikan Anak Berpenampilan
Dewasa Efek Pergeseran Nilai dan Budaya yang
terdapat dalam televisi, BUKAN
hal aneh, melihat anak-anak kecil mondar-mandir ke warung di sekitar rumah
mereka. Namun, cobalah perhatikan lebih jeli, ada hal berbeda yang dibeli
anak-anak sekarang. Dulu, anak-anak hanya jajan permen, kue atau kerupuk. Kini,
selain makanan kecil, mereka mencari kemasan sachet berisi jel, sejenis
minyak rambut untuk membentuk tatanan rambut.
Dengan jel seharga Rp 500,00
per sachet, mereka bergaya rapi laiknya remaja puber. Hari ini rambut dibelah
tengah, besok belah pinggir, lusa giliran jambul bertengger di kepala mereka.
"Jel rambut termasuk barang laris dan
paling dicari anak-anak tetangga kami," tutur Ny. Yuti (36), pemilik
sebuah warung di Perumahan Bumi Asri Mekar Rahayu Kopo, Kabupaten Bandung.
Karena laris itulah, Yuti tidak pernah lupa menyediakan alat kecantikan para
pria tersebut.
Zaman yang berubah, mudah sekali dilihat
lewat penampilan anak-anak usia sekolah dasar di berbagai kesempatan. Seorang
ibu berkerut menyaksikan gadis-gadis cilik usia kelas 5 atau 6 sekolah dasar
tampil dengan dandanan wanita dewasa. Memakai sepatu hak tinggi, dengan syal di
leher mereka. Mereka pun ber-ha ha hi hi dengan temannya yang juga
berpenampilan sama di sebuah lembaga bimbingan belajar[9].
Rupanya, bukan hanya remaja dan dewasa
saja yang sangat sadar akan penampilannya. Anak-anak usia sekolah dasar pun
kini membenahi penampilan mereka. Salon, kini bukan lagi hanya milik remaja
putri. Anak SD, putra dan putri sudah menjadikan salon sebagai rumah kecantikan
mereka. Awal bulan lalu, misalnya serombongan anak lelaki usia sekolah dasar
datang ke sebuah salon di bilangan Margahayu. "Ada cat rambut?" tanya
seorang anak yang tampaknya merupakan pimpinan rombongan.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa
televisi memberikan pengaruh pada anak dari siaran-siaran yang ditayangkannya,
baik itu yang sifatnya edukatif atau yang bersifat doktrin dan Apresiatif.
C. Peran Orang Tua dalam Dunia Pertelivisian bagi Anak
Dari berbagai kemungkinan
masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak bisa diabaikan. Sikap
orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak. Maka sebaiknya orang tua
lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum menentukan batasan bagi
anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan kegiatan rumah, orang
tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan dengan rutin, artinya
Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak akan tahu ada banyak
cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi
bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang penting, anak-anak perlu punya
cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman dan mainannya, untuk membaca
cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga.
Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan melakukan berbagai hal,
baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah
mengikutsertakan anak dalam membuat batasan. Tetapkan apa, kapan, dan seberapa
banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar anak menjadikan kegiatan
menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia menonton hanya bila
perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang Anda sukai lalu
tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan. Cara ini akan
membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman itu.
Masalah jenis program yang
ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan,
adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada
acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa
yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok
untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton
anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks,
orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang
menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".[10]
Masalah
bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan
untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan
khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu.
Kapan dan berapa lama anak
boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan
waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama,
atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah
harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR.
Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak
dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main
komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering
ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak[11].
Memberikan batasan apa, kapan,
dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa
mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan
pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.
Bayangkan, bila dalam sehari
disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan diterima dalam seminggu,
sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak merasa, memang "tidak
apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa
memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton TV selama 25 - 30 jam per
minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000 orang sebagai subjek
disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif dan melihat
tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah
menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut mereka, televisi
adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atau untuk mencoba
lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel School
of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8 - 14
tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV
Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV menyatakan, nonton TV hanya
sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang mengatakan TV untuk olah
intelektual.
Masalah jenis program yang
ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu menyangkut masalah kekerasan,
adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul dalam suatu acara. Kadang ada
acara yang bagus karena memberi pesan tertentu, tetapi di dalamnya ada bahasa
yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran, rayuan - yang kurang cocok
untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi acara yang akan ditonton
anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi pertimbangan. Dalam hal seks,
orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai usia, kalau ketika sedang
menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan "saru".[12]
Masalah bahasa pun perlu
diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang sopan untuk ditiru. Orang
tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan khusus, terutama di TV
untuk mencapai efek tertentu. Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV,
semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka
bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru
sore hari.
Anak yang sudah bersekolah
harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR.
Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker - produser acara TV anak-anak
dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jam sehari, itu termasuk main
komputer dan video game. Untuk anak yang belum bersekolah atau sering
ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa sedikit lebih banyak.
Agaknya, setelah rezim represif Soeharto tumbang,
pemimpin yang berkuasa kemudian cenderung tak mau gegabah mengganggu terlalu
dalam kehidupan pers. Namun, di tengah menjulangnya kebebasan pers yang saat
ini berhasil dikecap masyarakat, ternyata berbagai dampak negatif dari
kebebasan itu sendiri mulai dirasakan. Industrialisasi dan komersialisasi pers
yang menumbuhkan persaingan ketat membuat sebagian media massa tergiring
berorientasi pada sebesar-besarnya profit tanpa banyak memedulikan dampaknya.[13]
Memberikan batasan apa, kapan,
dan seberapa banyak menonton acara TV juga akan mengajarkan pada anak bahwa
mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan
pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka.[14]
Kapan dan berapa lama anak
boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan
waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama,
atau justru sore hari.
Kekerasan memang sulit
dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang
harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan.
Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV,
sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara menangkap setannya
lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan pengaruh
tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan
keluarga
BAB IV
PENUTUP
SETELAH hampir tujuh tahun kebebasan dinikmati, dunia pers Indonesia
kembali dihadapkan pada posisi dilematis, antara mempertahankan ataukah
mengerem kebebasan yang dimiliki. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif
Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilangnya dengan kebebasan yang
seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang
kekhawatiran publik.
Apresiasi yang tinggi dari publik terhadap era kebebasan pers saat ini
ternyata tak membebaskan pers dari munculnya masalah baru, yakni dampak-dampak
negatif dari kebebasan dan industrialisasi pers.
Tiadanya kekhawatiran akan adanya pembredelan dan begitu mudahnya mengurus
usaha penerbitan membuat kian menjamurnya penerbitan. Jumlah penerbitan kini
semakin beragam dengan berbagai pilihan produk informasi yang nyaris lengkap,
mulai dari surat kabar nasional, majalah, hingga tabloid yang membahas aspek
khusus.
Peranan surat kabar dalam mengemban misi mendorong kerukunan antar-agama,
suku, dan kelompok pun dinilai sudah dijalankan surat kabar dengan lebih
memadai saat ini. Bahkan, tak hanya dari segi isi, perbaikan kualitas
menyangkut fisik surat kabar pun dinilai kian menarik. Kemajuan dalam bidang
grafis, komputer, dan mesin cetak menjadikan koran masa kini secara fisik lebih
variatif dan menarik.
Lihat Juga :
Daftar Pustaka
Majalah Mingguan Tempo, edisi 8-14
Januari 2001
Majalah mingguan Forum Keadilan No. 44, 11 Februari 2001
Nashih ‘Ulwan, DR.
Abdullah. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang, CV Asy Syifa, 1981.
Sa'abah, Marzuki Usman. Seks dan Kita.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Hafizh , Abdul ,Muhammad Nur, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al Bayan, 1997.
Jamaludin, Muhammad, S. Psi (Psikolog Polda Sulut), Membantu Anak Tumbuh Menjadi Dewasa (makalah). 1998
Dr. Kuntowijiyo, Dinamika Sejarah
Umat Islam Indonesia, (Jokjakarta : Pustaka Pelajar : 1994).
Dr. Muhammad al-zuhaili, Menciptakan
Remaja Dambaan Allah, (Bandung, PT Mizan Pustaka 2004).
Dr. Abu Bakar Ahmad asyyid, Kepada
Para Pendidik Muslim ( Jakarta, Gema Insani Press, 1994)
Koentjaraningkrat, Kebudayaan,
Mentalitas, Dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hal. 133
[1] DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan. 1981. Pedoman
Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang:
CV Asy Syifa.
[2]
Marzuki Usman Sa'abah. 1997. Seks dan Kita. Jakarta: Gema Insani Press.
[3]
Ibid.
[4] DR.
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Loc.Cit.
[5] Majalah Mingguan Tempo, edisi 8-14 Januari 2001
[6]Majalah mingguan Forum Keadilan
No. 44, 11 Februari 2001
[7]
Muhammad Jamaludin, S. Psi (Psikolog Polda Sulut). 1998. Membantu Anak Tumbuh Menjadi Dewasa
(makalah).
[9] Dr. Muhammad al-zuhaili, Menciptakan
Remaja Dambaan Allah, (Bandung, PT Mizan Pustaka 2004).
[10] Muhammad Nur Abdul
Hafizh. 1997. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung: Al Bayan.
[11] Majalah Tempo, Loc. Cit.
[12] Dr. Kuntowijiyo, Dinamika Sejarah Umat
Islam Indonesia, (Jokjakarta : Pustaka Pelajar : 1994).
[13] Majalah mingguan Forum Keadilan. Op-Cit.
[14]
Muhammad Jamaludin, S. Psi, Op. Cit.
No comments:
Post a Comment