Sejarah
Pemikiran
Ekonomi
Islam
Fase
pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan
dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad
ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada
umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha,
sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak
ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari turats itulah para
intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis,
dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji
pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir,
fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka
terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi
dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu.
Fase kedua
adalah berlangsung dari abad 11- 15. Pada masa ini
para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat
Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada
Al-Quran dan tradisi kenabian, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatny
a sendiri.
Fase ketiga adalah
stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual,
sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932.
Fase keempat
adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran
selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20.
Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional.
Jika pembahasan
ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada
masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan
Muslim,yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat. Sebuah jejak perjalanan
pemikiran ekonomi Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan
hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan
zaman sekarang. Memang harus diakui bahwa
pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi
Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang
berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari
“formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan
pemikiran yang sebelumnya. Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah
pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim. Tidak
sedikit karya khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di
negara-negara Barat sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah,
ekonom Barat mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi
spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Namun, meski
begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat
tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah
muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk
kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun
sistem perekonomian yang utuh dan paripurna?
Ciri-ciri Ekonomi
Islam :
Pertama
adalah ekonomi Islam berlandaskan pada tauhid (Ilahiyah).
Keduaadalahmengutamakankeadilan.
Ketiga
adalah kemanusiaan, terutama dalam berbagi kepada yang kurang mampu secara
finansial dan belum berdaya.
Keempat adalah menjunjung kebebasan, melepaskan manusia dari
beban dan rantai yang membelenggunya karena Islam menjunjung kebebasan, berarti
kreasi, inovasi dan improvisasi untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat adalah
keharusan.
Kelima adalah akhlak. Islam menghubungkan masalah mu`amalah
dengan etika, seperti kejujuran, amanah, adil, ihsan, kebajikan, silaturrahim,
dan kasih sayang. Semua itu harus tercermin dalam semua
kegiatan ekonomi, mulai dari produksi, sirkulasi dan perdagangan hingga konsumsi.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Abu Yusuf lahir pada tahun
113 H, pernah tinggal di Kufah dan di Bagdad, meninggal pada tahun 182 H.
Menurut penuturannya beliau menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan
sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Beliau juga tercatat sebagai murid dari
Ibn Abi Laila, imam Malik dan sejumlah ulama lainnya. Panggilan populernya
adalah Qadli Qudhat (hakim agung) yaitu jabatan yang disandangnya pada
masa kekuasaan khalifah Harun al-Rasyid. Perhatiannya banyak terfoks pada
keuangan umum dan peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Ia
pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan yang dinamainya Kitab
al-Kharaj.
Abu
Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab Hanafi.
Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam
kitab al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh
Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
Keunggulan karya Abu
Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode:
Pertama, menggabungkan metode
fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan metode fuqaha' (aliran al-hadis)
di Madinah.
Kedua, rumusan hukumnya sejalan
dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan
realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus rill, membuatnya
banyak menghindar dari rumusan fiqh yang asumtif.
Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode
fuqaha' aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen,
tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan
ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya.
Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode ini
menjadi tradsisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas
dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf.
Dalam
bidang ekonomi , terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun
menggunakan motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj, merupakan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh khalifah Harun al-Rasyid dan
pertanyaan-pertanyaan yang dibuat sendiri oleh Abu Yusuf. Jawaban atas semua
pertanyaan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil aqli dan naqli Abu
Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan 'ilal al-hadis.
Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat (a'mal al-sahabah)
sejauh itu relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu
menjadi pertimbangan utama.
Istilah al-kharaj dalam prespektif Abu
Yusuf mengandung dua makna:
Pertama, makna yang
berdimensi umum yaitu al-amwal al-'ammah (keuangan umum), atau sumber
pendapatan Negara seperti ganimah,
fai', al-kharaj, al-jizyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai
pengganti seperti al-kharaj seperti 'usyur al-tijarah, dan sadaqah.
Kedua, makna al-kharaj yang berdimensi khusus yaitu sewa
tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah.
Dengan demikan, istilah al-amwal sinonim dengan istilah al-kharaj
yaitu keuangan umum atau sumber pendapatan negara. Pemaknaan al-kharaj
secara sempit dan khusus, kata Dhiya' al-Din al-Ris muncul dan dipelopori oleh
fuqaha' pasca Abu Yusuf, tetapi pemunculan tersebut tidak mempengaruhi makna
dasar al-kharaj.
Abu Yusuf adalah orang
pertama kali memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-kharaj. Kitab ini, ditulis atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid,
ketika dia ingin mengatur sistem Bait al-mal, sumber pendapatan Negara dan cara pendistribusiannya,
dan untuk menghindari manifulasi, kedzaliman, serta untuk mewujudkan
kepentingan penguasa.
Al-Kharaj dan visi strategisnya disamping memuat konsep terhadap kebijakan sumber pendapatan Negara, juga
mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan
menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat
kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema
sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk
mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip
perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons
of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang
menentang pengendalian dan penetapan harga (tas’ir).
Dapat dipastikan, bahwa
konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam al-kharaj karya
Abu Yusuf, dan juga belum dikenal di dunia Barat sampai beberapa abad pasca Abu
Yusuf. Kegiatan prekonomian, kata Abu Yusuf merupakan fenomena yang selalu
berubah-ubah (zawahir tsanawiyah) dan bersumber dari aktivitas
kolektif masyarakat muslim.
Faktor-faktor yang
mempercepat kegiatan perekonomian tidak sama dari segi tingkat kepentingan dan
kekuatannya:
Pertama, mewujudkan undang-undang
tertinggi yang dengannya dapat memerintah dengan pertolongan Tuhan.
Kedua, usaha untuk memenuhi
kebutuhan material dan keinginan-keinginan lainnya.
Ketiga, inisiatif atau keinginan
penguasa.
Oleh karena itu, kata Abu
Yusuf, fenomena prekonomian tidak selalu berhubungan secara langsung dengan
sebab akibat (undang-undang tentang prekonomian). Hubungan biasanya bersifat
tidak langsung karena melalui kehendak tertinggi, atau kehendak wakil
Tuhan di permukaan bumi dalam bentuk masyarakat muslim, penguasa atau lainnya.
Para khalifah Tuhan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan berkaitan
dengan sejumlah fenomena-fenomena preekonomian seperti perbaikan tanah dan
lain-lain.
Sumber ekonomi, menurut Abu Yusuf
berada pada dua tingkatan:
Pertama meliputi unsur-unsur alam
(antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan melakukan produksi
secara mandiri.
Kedua tenaga kerja. Tingkatan
yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti perbaikan dan
pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
Sebetulnya produksi dalam
pengertian membuat barang baku (setengah jadi) menjadi produk final melalui
kerja, tidak banyak menarik perhatian Abu Yusuf termasuk pada proses permulaan
seperti ihya' al-mawaat.
Al-musytarakat al-diniyah (komunitas yang menganut agama samawi dan agama ardhi, dan musytarakat
al-mudun atau komunitas masyarakat perkotaan dan pedesaan atau komunitas
masyarakat dagang, menurut Abu Yusuf menjadi elemen dalam prekonomian.
Komunitas jenis pertama terbentuk dari unsur agama, dan komunitas jenis kedua
membentuk pusat kekuasaan pemimpin. Kedua jenis komunitas tersebut
mempersatukan, atau minimalnya mempererat hubungan antara semua unsur atau
elemen prekonomian tersebut.
Abu Yusuf tidak banyak
menyentuh persoalan fakir miskin (fuqora') dan tidak memunculkan konsep
kelas sosial. Diskripsi masyarakat yang dibuat Abu Yusuf, mencerminkan bahwa
hubungan produksi dari satu sisi merupakan hubungan antara umat Islam dengan
kaum zimmi dalam Dar al-Islam atau hubungan umat Islam dengan komunitas
non muslim dalam Dar al-harb. Dalam hubungan model pertama pendapatan
bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model
kedua, pendapatan bersumber dari al-ganimah ytang sebagiannya
didistribusikan untuk Bait al-mal. Selain itu, pemerintah juga menarik
bea cukai dari pedagang kafir harbi atas barang dagangan mereka yang
masuk ke negara Islam. Adapun umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
sebagai bentuk solidaritas sosial mereka sesama muslim yang membutuhkan.
Konsep perdagangan luar
negeri, diperkenalkan oleh Abu Yusuf secara inplisit dengan istilah tabadul.
Walaupun sistem pasar nyaris dilupakannya. Abu Yusuf juga membuat model
distribusi dan alokasi penerimaan ganimah bagi pasukan perang dan
seluruh umat Islam.
Kekuasaan menurut Abu Yusuf
terdiri dari tiga unsur yaitu: Pertama umat Islam, Kedua pemimpin
(imam), Ketiga lembaga-lembaga negara atau pemerintahan antara lain al-jaisy,
al-dawawin. Mereka dibebani dengan misi ekonomi yang paling fundamental
seperti menetapkan jizyah, membagi ganimah, menetapkan gaji dan
tunjangan, memberikan tanah pinjaman, membuat sistem irigasi dan memperbaiki
tanah.
Adapun konsep kepemilikan
sangat luas dan fleksibel meliputi penanaman modal (istiglal) yang
memberikan hak kepada pemiliknya untuk mengambil sebagian atau semua
keuntungan, kepemilikan secara aktual, kepemilikan individu dan kepemilikan
khusus seperti barang bergerak, kepemilikan umum dan kepemilikan bersama yang
diatur oleh pemerintah, kepemilikan terhadap budak. Jenis-jenis
kepemilikan ini memiliki karakteristik yang tidak permanen.
Terdapat catatan penting dan umum, khususnya susunan kategori, yaitu agama, ekonomi dan militer. Hal ini terlihat pada konsep hubungan produksi yang fundamental, hubungan pajak tanah dan pajak diri, Unsur-unsur keagamaan dapat dilihat dari hubungan komunitas muslim dan komunitas zimmi. Unsur-unsur ekonomi terlihat bahwa pendapatan berpindah dari yang kedua (kaum zimmi) ke yang pertama (kaum muslim). Unsur-unsur militer terlihat bahwa hubungan-hubungan tersebut hasil dari perjanjian atau kesepakatan sebagai konsekuensi kemenangan dalam berperang.
Terdapat catatan penting dan umum, khususnya susunan kategori, yaitu agama, ekonomi dan militer. Hal ini terlihat pada konsep hubungan produksi yang fundamental, hubungan pajak tanah dan pajak diri, Unsur-unsur keagamaan dapat dilihat dari hubungan komunitas muslim dan komunitas zimmi. Unsur-unsur ekonomi terlihat bahwa pendapatan berpindah dari yang kedua (kaum zimmi) ke yang pertama (kaum muslim). Unsur-unsur militer terlihat bahwa hubungan-hubungan tersebut hasil dari perjanjian atau kesepakatan sebagai konsekuensi kemenangan dalam berperang.
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
Abu
Ubaid dilahirkan di Bahrah, di propinsi Khurasan (barat laut Afghanistan) pada
tahun 154 Hijriah. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid
al-Azdhi. Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi
ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir,
hadis, dan fikih. Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang
berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang
ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di
Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun
219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya (224 H).
Abu Ubaid mengarang sebuah kompendium mengenai
keuangan publik yang dapat dibandingkan dengan kitab al kharaj-nya Abu Yusuf.
Kitab al Amwal-nya sangat kaya secara historis dan juga berisi materi-materi
hukum Islam yang luas. Karyanya banyak dikutip oleh penulis-penulis Islam, dan
telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Kitab Al-Amwal dari Abu Ubayd merupakan suatu karya
yang komprehensif tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini dimulai dengan
sebuah bab singkat tentang,”hak penguasa atas subjek (individu dalam
masyarakat) dan hak subjek atas penguasa”, yang kemudian dilanjutkan dengan bab
mengenai jenis-jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan
dasar-dasar pemikirannya yang dibahas dalam kitab Allah serta Sunnah. Bab-bab
lainnya yang lebih tebal dari pembahasan bukunya Abu Yusuf membahas mengenai
pengumpulan dan pembayaran (disbursement) dari tiga jenis penerimaan yang
diidentifikasi dalam bab ke dua, yaitu: zakat (termasuk ushr), khums yaitu
seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan
tanpa pemilik dan fa’i yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya yang
tidak termasuk kedalam kategori pertama dan kedua seperti, penemuan
barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris,
dan lain-lain.
Buku ini dengan kaya melaporkan sejarah ekonomi
Islam selama dua abad pertama hijriyah, yang juga merupakan sebuah ringkasan
tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai
permasalahan ekonomi. Abu Ubaid tidak hanya sekedar melaporkan
pendapat-pendapat orang lain ini, tetapi juga selalu mengakhirinya dengan
menjalinkan masalah tersebut secara sistematis, mengungkapkan suatu preferensi
atas sebuah pendapat dari beberapa pandangan yang dilaporkan atau memberikan
pendapatnya sendiri dengan dukungan beberapa basis syari’ah tertentu atau
dengan alasan-alasan rasional. Misalnya, setelah melaporkan berbagai pendapat
tentang besarnya zakat yang seharusnya diterima oleh seorang penerima zakat
yang berhak, dia dengan keras menyatakan ketidaksetujuannya terhadap mereka
yang meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) pada pemberian zakat tersebut.
Hal yang terpenting baginya adalah keterpenuhan kebutuhan rakyat dan
terselamatkannya masyarakat dari penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang
yang berkeinginan ‘tidak terbatas’, bahkan jika hal tersebut harus dilakukan
dengan pengeluaran uang yang amat besar pada sebuah kasus tertentu.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk
pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara
kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut
sebagai “capacity to pay” dan juga memperhatikan kepentingan para penerima
Muslim. Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan
tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Abu Ubaid
berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion).
No comments:
Post a Comment