Thursday, March 21, 2013

TEORI-TEORI PEMUNGUTAN PAJAK


TEORI-TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

I.              Pendahuluan
Berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli fisuf tentang asal mula negara dan kedaulatan, baik teori yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau pada akhirnya berkesimpulan bahwa jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani Kuno serta zaman Fir’aun di Mesir, telah ada suatu wadah yang menguasai dan memerintah penduduk.
Le Contract Social atau perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Rousseau adalah teori yang menjawab pertanyaan mengapa penduduk atau rakyat harus patuh pada pemerintah negaranya. Dalam teori ini Rousseau memfiksikan bahwa penduduk di zaman dahulu yang hidupnya di dalam gua-gua atau di atas pohon dan bukit serta terpisah dalam kelompok-kelompok kecil, akan merasa lebih kuat apabila mereka bersatu, baik dalam menghadapi musuh, binatang buas maupun bencana alam. McConnell dan Brue mengemukakan fungsi pemerintah di bidang ekonomi (the economic functions of government). Salah satu fungsi[1] tersebut ada kaitannya dengan perpajakan yakni redistributing income and wealth, dimana pajak khususnya penerapan tarif pajak yang progresif akan dapat mewujudkan fungsi ini.
Ada berbagai sumber Penghasilan suatu negara, antara lain:
1.    Kekayaan alam
2.    Laba Perusahaan Negara
3.    Royalti
4.    Retribusi
5.    Kontribusi
6.    Bea
7.    Cukai
8.    Denda
9.    Pajak

Negara yang dikaruniai hasil alam yang melimpah, selain hasilnya untuk kebutuhan negerinya sendiri, juga dapat menjual hasil alam tersebut ke negara lain. Hasil penjulan itu dapat merupakan penghasian atau pendapatan negaranya.
Negara dapat membentuk perusahaan dalam bentuk Perusahaan Negara, yang di Indonesia dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Laba dari BUMN dapat merupakan penghasilan negara. BUMN didirikan dengan UU No. 9 tahun 1969, Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, dimana Perusahaan Negara dibedakan menjadi:
1.    Perusahaan Jawatan (Perjan)
2.    Perusahaan Umum (Perum)
3.    Perusahaan Perseroan (Persero)

Selanjutnya negara dapat memberikan hak kepada pihak ketiga seperti swasta asing, domestik untuk mengolah dan mengusahakan alam, hutan dengan berbagai hasil kayunya, tanah dengan berbagai hasil tambangnya, serta laut dengan berbagai jenis ikannya.
Pemberian hak izin oleh pemerintah pusat maupun daerah kepada pihak swasta untuk mengusahaan alam misalnya mengusahakan hutan, menimbulkan suatu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu kepada negara, yang disebut royalti. Royalti disini adalah imbalan karena mendapat izin dari Pemda untuk mngelola hasil alam.
Dalam memberikan jasa-jasa tertentu, negara dapat melakukan pungutan yang disebut retribusi kepada penduduk tertentu yang langsung menikmati jasa yang diberikan negara, misalnya retribusi sampah, penggunaan areal parkir, dll.
Kontribusi adalah pungutan yang diakukan pemerintah kepada sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah. Dalam menyediakan fasiitas tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya. Kontribusi yang dipungut adalah untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan pemerintah.
Pemerintah berwenang untuk memungut bea pada waktu ada barang-barang yang masuk atau keluar daerah.
Pemerintah juga berwenang untuk memungut cukai pada waktu pembuatan rokok, gula, alkohol, dll.
Pemerintah berwenang untuk mengenakan denda kepada penduduk yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Misalnya denda karena melanggar rambu lalu lintas.
Yang akan menjadi perhatian dalam makalah ini adalah salah satu sumber penghasilan negara, yang sejarahnya dikenal di seluruh dunia, yakni pajak-pajak dengan segala bentuk dan jenisnya, yang telah berkembang melalui berbagai tingkat perjuangan dan tidak mustahil berlumuran keringat dan darah bagi pembayarnya, tapi penuh kenikmatan dan kemewahan bagi para pemungutnya, hal ini terjadi pada Kerajaan-kerajaan yang menganut absolut monarki, misalnya Perancis dibawah Louis XIV (1638-1715).
Sebagai suatu beban, pada mulanya eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Yang pro pada umumnya adalah penguasa seperti raja dan bangsawan, sedangkan yang kontra adalah rakyat biasa yang memikul beban pajak tersebut seperti petani, nelayan dan pedagang.

II.            Pembahasan
Makalah ini akan mengemukakan asas-asas pemungutan pajak dan alasan-alasan yang menjadi dasar bagi fiskus suatu negara sehingga menyebabkan fiskus/negara yang bersangkutan merasa punya wewenang untuk memungut pajak dari penduduk wilayahnya. Dengan kata lain apakah yang menjadi dasar bagi fiskus suatu negara sehingga fiskus tersebut beranai mengambil dengan paksa harta atau penghasilan penduduknya? Atau secara mudah dirumuskan apakah yang menjadi justifikasi dari pemungutan pajak?
 Untuk mendapatkan justifikasi pemungutan pajak maka dalam hukum pajak telah timbul beberapa teori yang termasuk dalam asas pemungutan pajak menurut falsafah hukum, yakni:
1.    Teori asuransi
2.    Teori kepentingan
3.    Teori bakti
4.    Teori gaya pikul
5.    Teori asas gaya pikul[2]
6.    Teori pembangunan

1.    Teori Asuransi
Mengapa fiskus suatu negara berhak memungut pajak dari penduduknya? Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut pajak dari penduduk, karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut teori ini, melindungi segenap rakyatnya.
Namun teori ini mempunyai kelemahan, antara lain tidak adanya imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung dalam hal ini wajib pajak menderita resiko. Sebab sebagaimana kenyataannya, negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnnya bertentangan dengan definisi pajak itu sendiri.

2.    Teori Kepentingan
Para penganut teori ini mengatakan, bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika misalnya di suatu RT terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran?
Disamping itu jika ditinjau dari unsur definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontra prestasi (dalam hal ini kepentingan waji pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.

3.    Teori Bakti
Teori ini boleh dikatakan sama dengan teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Penduduk harus tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataannya. Teori bakti mengajarkan, bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara, penduduk terikat pada keberadaan negara, karenannya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
Penganut teori bakti menganjurkan untuk membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi dasar bagi negara untu memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.

4.    Teori Gaya Pikul
Teori gaya pikul sebenarnya tidak memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya mengusulkan supaya dalam memungut pajak, pemerintah harus memperhatikan daya pikul dari wajib pajak. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya.
Ajaran teori ini ternyata masih dapat bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum dikenakan tarif pajak.
Jumlah yang dikeluarkan itu disebut penghasilan tidak kena pajak, kebutuhan minimum kehidupan atau pendapatan bebas pajak.

5.    Teori Asas Gaya Beli
Menurut teori ini justifikasi pemungutan pajak terletak pada efek atau akibat pemungutan pajak. Di hampir seluruh negara pemungutan pajak membawa efek atau akibat yang positif. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk membiayai pengeluaran umum negara. Karena efeknya baik, maka pemungutan pajak adalah juga bersifat baik.

6.    Teori Pembangunan
Teori –teori yang disebutkan di atas berusaha memberi justifikasi kepada pemerintah unutk memungut pajak. Untuk Indonesia justifikasi yang paling tepat adalah pembangunan, pajak dipungut untuk pembangunan. Dalam kata pembangunan terkandung pengertian tentang masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, yang jika dirinci lebih lanjut akan meliputi semua bidang dan aspek kehidupan seperti ekonomi, hukum, pendidikan sosial budaya dst. Karena dana yang dipungut yang berasal dari pajak dipergunakan untuk pembangunan yang membuat rakyat menjadi lebih adil, lebih makmur dan lebih sejahtera, maka di sinilah letak justifikasinya. Pajak dipergunakan untuk pembangunan, sehingga dapatlah dikatakan adanya suatu teori pembangunan disamping teori gaya beli dan teori lainnya yang disebut di atas.
Selain teori-teori yang telah dikemukakan di atas, masih ada teori dalam perumusan atau nama lain yang memberi pembenaran secara filosofis terhadap pemungutan pajak yakni exchange atau contracti atau reciprocity theory dan organic theory.
Exchange atau contract atau reciprocity theory mengajarkan bahwa pajak adalah semata-mata suatu jumlah tertentu yang diberikan penduduk kepada pemerintah untuk mengganti jasa pemerintah yang bertugas antara lain melindungi penduduk.
Organic theory mengajarkan bahwa penduduk secara bersama-sama mempunyai kewajiban secara alamiah untuk menunjang negara dengan cara membayar pajak. Ajaran ini juga mengakui adanya timbal balik antara pemerintah dan penduduk, melainkan penduduk dalam arti bersama-sama.
Selain asas pemungutan pajak menurut falsafah hukum, masih ada tiga asa pemungutan pajak yakni:
Asas Yuridis
Asas ini mengemukakan supaya pemngutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Untuk Indonesia hal ini sesuai dengan delapan kata yang tercantum dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyia: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Walaupun sampai dengan awal tahun 2003 naskah UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, akan tetapi rumusan pasal, Pasal 23 ayat 2 dan penjelasannya tidaklha berubah.
Sampai dengan akhir tahun 2002, terdapat sembilan undang-undang perpajakan sebagai undang-undang organik dari pasal 23 UUD 1945. Dalam GBHN 1988 pernah disebutkan bahwa: “Semua jenis pungutan dan pajak harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan” dan bahwa, “Pungutan yang tidak berdasarkan undang-undang harus dicegah untuk menghindari ekonomi biaya tinggi dan memberatkan masyarakat banyak”. Amanat ini sebenarnya merupakan penekanan dari pasal 23 Uud1945.
Asas Ekonomis
Asas ini menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai menghalang-halangi prodksi dan perekonomian rakyat.
Asas Finansial
Asas ini menekankan supaya biaya-biaya yang dikeluarkna untuk memungut pajak haruslahh jauh lebih rendah daripada jumlah pajak yang terpungut.    



III.           Kesimpulan
Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani merumuskan pajak ialah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[3]
Untuk mendapatkan justifikasi pemungutan pajak maka dalam hukum pajak timbul beberapa teori-teori pemungutan pajak menurut falsafah hukum yakni: teori asuransi, kepentingan, bakti, gaya pikul, asas gaya beli, dan pembangunan. Dimana teori-teori tersebut menjadi justifikasi dalam pemungutan pajak.



[1] Nurmantu Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta, 2005,
[2] R Santoso Brotodiharjo
[3] R. Santoso Brotodiharjo

No comments:

Post a Comment