TEORI-TEORI PEMUNGUTAN PAJAK
I.
Pendahuluan
Berbagai teori yang dikemukakan oleh
para ahli fisuf tentang asal mula negara dan kedaulatan, baik teori yang
dikemukakan oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques Rousseau pada
akhirnya berkesimpulan bahwa jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani Kuno serta
zaman Fir’aun di Mesir, telah ada suatu wadah yang menguasai dan memerintah
penduduk.
Le
Contract Social atau perjanjian masyarakat yang
dikemukakan oleh Rousseau adalah teori yang menjawab pertanyaan mengapa
penduduk atau rakyat harus patuh pada pemerintah negaranya. Dalam teori ini
Rousseau memfiksikan bahwa penduduk di zaman dahulu yang hidupnya di dalam
gua-gua atau di atas pohon dan bukit serta terpisah dalam kelompok-kelompok
kecil, akan merasa lebih kuat apabila mereka bersatu, baik dalam menghadapi
musuh, binatang buas maupun bencana alam. McConnell dan Brue mengemukakan
fungsi pemerintah di bidang ekonomi (the
economic functions of government). Salah satu fungsi[1]
tersebut ada kaitannya dengan perpajakan yakni redistributing income and wealth, dimana pajak khususnya penerapan
tarif pajak yang progresif akan dapat mewujudkan fungsi ini.
Ada
berbagai sumber Penghasilan suatu negara, antara lain:
1. Kekayaan
alam
2. Laba
Perusahaan Negara
3. Royalti
4. Retribusi
5. Kontribusi
6. Bea
7. Cukai
8. Denda
9. Pajak
Negara yang dikaruniai hasil alam yang
melimpah, selain hasilnya untuk kebutuhan negerinya sendiri, juga dapat menjual
hasil alam tersebut ke negara lain. Hasil penjulan itu dapat merupakan
penghasian atau pendapatan negaranya.
Negara dapat membentuk perusahaan dalam
bentuk Perusahaan Negara, yang di Indonesia dikenal sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Laba dari BUMN dapat merupakan penghasilan negara. BUMN
didirikan dengan UU No. 9 tahun 1969, Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara,
dimana Perusahaan Negara dibedakan menjadi:
1. Perusahaan
Jawatan (Perjan)
2. Perusahaan
Umum (Perum)
3. Perusahaan
Perseroan (Persero)
Selanjutnya negara dapat memberikan hak
kepada pihak ketiga seperti swasta asing, domestik untuk mengolah dan
mengusahakan alam, hutan dengan berbagai hasil kayunya, tanah dengan berbagai
hasil tambangnya, serta laut dengan berbagai jenis ikannya.
Pemberian hak izin oleh pemerintah pusat
maupun daerah kepada pihak swasta untuk mengusahaan alam misalnya mengusahakan
hutan, menimbulkan suatu kewajiban membayar sejumlah uang tertentu kepada
negara, yang disebut royalti. Royalti disini adalah imbalan karena mendapat
izin dari Pemda untuk mngelola hasil alam.
Dalam memberikan jasa-jasa tertentu,
negara dapat melakukan pungutan yang disebut retribusi kepada penduduk tertentu
yang langsung menikmati jasa yang diberikan negara, misalnya retribusi sampah,
penggunaan areal parkir, dll.
Kontribusi adalah pungutan yang diakukan
pemerintah kepada sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang telah
disediakan oleh pemerintah. Dalam menyediakan fasiitas tersebut pemerintah
telah mengeluarkan sejumlah biaya. Kontribusi yang dipungut adalah untuk
mengganti biaya yang telah dikeluarkan pemerintah.
Pemerintah berwenang untuk memungut bea
pada waktu ada barang-barang yang masuk atau keluar daerah.
Pemerintah juga berwenang untuk memungut
cukai pada waktu pembuatan rokok, gula, alkohol, dll.
Pemerintah berwenang untuk mengenakan
denda kepada penduduk yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan
pemerintah. Misalnya denda karena melanggar rambu lalu lintas.
Yang akan menjadi perhatian dalam
makalah ini adalah salah satu sumber penghasilan negara, yang sejarahnya dikenal
di seluruh dunia, yakni pajak-pajak dengan segala bentuk dan jenisnya, yang
telah berkembang melalui berbagai tingkat perjuangan dan tidak mustahil
berlumuran keringat dan darah bagi pembayarnya, tapi penuh kenikmatan dan
kemewahan bagi para pemungutnya, hal ini terjadi pada Kerajaan-kerajaan yang
menganut absolut monarki, misalnya Perancis dibawah Louis XIV (1638-1715).
Sebagai suatu beban, pada mulanya
eksistensi pajak menimbulkan pro dan kontra. Yang pro pada umumnya adalah
penguasa seperti raja dan bangsawan, sedangkan yang kontra adalah rakyat biasa
yang memikul beban pajak tersebut seperti petani, nelayan dan pedagang.
II.
Pembahasan
Makalah ini akan mengemukakan asas-asas
pemungutan pajak dan alasan-alasan yang menjadi dasar bagi fiskus suatu negara
sehingga menyebabkan fiskus/negara yang bersangkutan merasa punya wewenang
untuk memungut pajak dari penduduk wilayahnya. Dengan kata lain apakah yang
menjadi dasar bagi fiskus suatu negara sehingga fiskus tersebut beranai
mengambil dengan paksa harta atau penghasilan penduduknya? Atau secara mudah
dirumuskan apakah yang menjadi justifikasi dari pemungutan pajak?
Untuk mendapatkan justifikasi pemungutan
pajak maka dalam hukum pajak telah timbul beberapa teori yang termasuk dalam
asas pemungutan pajak menurut falsafah hukum, yakni:
1. Teori
asuransi
2. Teori
kepentingan
3. Teori
bakti
4. Teori
gaya pikul
5. Teori
asas gaya pikul[2]
6. Teori
pembangunan
1.
Teori
Asuransi
Mengapa fiskus suatu negara berhak
memungut pajak dari penduduknya? Menurut teori asuransi, fiskus berhak memungut
pajak dari penduduk, karena negara dianggap identik dengan perusahaan asuransi
dan wajib pajak adalah tertanggung yang wajib membayar premi dalam hal ini
pajak. Negara yang berhak memungut pajak itu, menurut teori ini, melindungi
segenap rakyatnya.
Namun teori ini mempunyai kelemahan,
antara lain tidak adanya imbalan yang akan diberikan negara jika tertanggung
dalam hal ini wajib pajak menderita resiko. Sebab sebagaimana kenyataannya,
negara tidak pernah memberi uang santunan kepada wajib pajak yang tertimpa
musibah. Lagi pula kalau ada imbalan dalam pajak, maka hal itu sebenarnnya
bertentangan dengan definisi pajak itu sendiri.
2.
Teori
Kepentingan
Para penganut teori ini mengatakan,
bahwa negara berhak memungut pajak dari penduduknya, karena penduduk negara
tersebut mempunyai kepentingan kepada negara. Makin besar kepentingan penduduk
kepada negara, maka makin besar pula perlindungan negara kepadanya.
Sama dengan teori asuransi, teori ini
mempunyai kelemahan antara lain tentang fungsi negara untuk melindungi segenap
rakyatnya. Negara tidak boleh memilih-milih dalam melindungi penduduknya. Jika
misalnya di suatu RT terjadi kebakaran, apakah hanya mereka yang sudah bayar
pajak yang dibantu dan diselamatkan oleh petugas mobil kebakaran?
Disamping itu jika ditinjau dari unsur
definisi pajak, maka adanya hubungan langsung atau kontra prestasi (dalam hal
ini kepentingan waji pajak) telah menggugurkan eksistensi pajak itu sendiri.
3.
Teori
Bakti
Teori ini boleh dikatakan sama dengan
teori kedaulatan negara pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Penduduk harus
tunduk atau patuh kepada negara, karena negara sebagai suatu lembaga atau
organisasi sudah eksis, sudah ada dalam kenyataannya. Teori bakti mengajarkan,
bahwa penduduk adalah bagian dari suatu negara, penduduk terikat pada
keberadaan negara, karenannya penduduk wajib membayar pajak, wajib berbakti
kepada negara.
Penganut teori bakti menganjurkan untuk
membayar pajak kepada negara dengan tidak bertanya-tanya lagi apa yang menjadi
dasar bagi negara untu memungut pajak. Karena organisasi atau lembaga yakni
negara telah ada sebagai suatu kenyataan, maka penduduknya wajib secara mutlak
membayar pajak, wajib berbakti kepada negara.
4.
Teori
Gaya Pikul
Teori gaya pikul sebenarnya tidak
memberikan jawaban atas justifikasi pemungutan pajak. Teori ini hanya
mengusulkan supaya dalam memungut pajak, pemerintah harus memperhatikan daya
pikul dari wajib pajak. Jadi wajib pajak membayar pajak sesuai dengan daya
pikulnya.
Ajaran teori ini ternyata masih dapat
bertahan sampai sekarang, yakni seorang wajib pajak tidak akan dikenakan pajak
penghasilan atas seluruh penghasilan kotornya. Suatu jumlah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan hidupnya haruslah dikeluarkan terlebih dahulu sebelum
dikenakan tarif pajak.
Jumlah yang dikeluarkan itu disebut
penghasilan tidak kena pajak, kebutuhan minimum kehidupan atau pendapatan bebas
pajak.
5.
Teori
Asas Gaya Beli
Menurut teori ini justifikasi pemungutan
pajak terletak pada efek atau akibat pemungutan pajak. Di hampir seluruh negara
pemungutan pajak membawa efek atau akibat yang positif. Misalnya tersedianya
dana yang cukup untuk membiayai pengeluaran umum negara. Karena efeknya baik,
maka pemungutan pajak adalah juga bersifat baik.
6.
Teori
Pembangunan
Teori –teori yang disebutkan di atas
berusaha memberi justifikasi kepada pemerintah unutk memungut pajak. Untuk
Indonesia justifikasi yang paling tepat adalah pembangunan, pajak dipungut
untuk pembangunan. Dalam kata pembangunan terkandung pengertian tentang
masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, yang jika dirinci lebih
lanjut akan meliputi semua bidang dan aspek kehidupan seperti ekonomi, hukum,
pendidikan sosial budaya dst. Karena dana yang dipungut yang berasal dari pajak
dipergunakan untuk pembangunan yang membuat rakyat menjadi lebih adil, lebih
makmur dan lebih sejahtera, maka di sinilah letak justifikasinya. Pajak
dipergunakan untuk pembangunan, sehingga dapatlah dikatakan adanya suatu teori
pembangunan disamping teori gaya beli dan teori lainnya yang disebut di atas.
Selain teori-teori yang telah
dikemukakan di atas, masih ada teori dalam perumusan atau nama lain yang
memberi pembenaran secara filosofis terhadap pemungutan pajak yakni exchange atau contracti atau reciprocity
theory dan organic theory.
Exchange
atau contract atau
reciprocity theory mengajarkan bahwa
pajak adalah semata-mata suatu jumlah tertentu yang diberikan penduduk kepada
pemerintah untuk mengganti jasa pemerintah yang bertugas antara lain melindungi
penduduk.
Organic
theory mengajarkan bahwa penduduk secara bersama-sama
mempunyai kewajiban secara alamiah untuk menunjang negara dengan cara membayar
pajak. Ajaran ini juga mengakui adanya timbal balik antara pemerintah dan
penduduk, melainkan penduduk dalam arti bersama-sama.
Selain asas pemungutan pajak menurut falsafah
hukum, masih ada tiga asa pemungutan pajak yakni:
Asas ini mengemukakan supaya pemngutan
pajak harus didasarkan pada undang-undang. Untuk Indonesia hal ini sesuai
dengan delapan kata yang tercantum dalam pasal 23 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyia:
“Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Walaupun sampai dengan awal tahun 2003
naskah UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, akan tetapi rumusan
pasal, Pasal 23 ayat 2 dan penjelasannya tidaklha berubah.
Sampai dengan akhir tahun 2002, terdapat
sembilan undang-undang perpajakan sebagai undang-undang organik dari pasal 23
UUD 1945. Dalam GBHN 1988 pernah disebutkan bahwa: “Semua jenis pungutan dan
pajak harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan” dan bahwa, “Pungutan
yang tidak berdasarkan undang-undang harus dicegah untuk menghindari ekonomi
biaya tinggi dan memberatkan masyarakat banyak”. Amanat ini sebenarnya
merupakan penekanan dari pasal 23 Uud1945.
Asas Ekonomis
Asas ini menekankan supaya pemungutan
pajak jangan sampai menghalang-halangi prodksi dan perekonomian rakyat.
Asas Finansial
Asas ini menekankan supaya biaya-biaya
yang dikeluarkna untuk memungut pajak haruslahh jauh lebih rendah daripada
jumlah pajak yang terpungut.
III.
Kesimpulan
Menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani
merumuskan pajak ialah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[3]
Untuk mendapatkan justifikasi pemungutan
pajak maka dalam hukum pajak timbul beberapa teori-teori pemungutan pajak
menurut falsafah hukum yakni: teori asuransi, kepentingan, bakti, gaya pikul,
asas gaya beli, dan pembangunan. Dimana teori-teori tersebut menjadi
justifikasi dalam pemungutan pajak.
No comments:
Post a Comment