Manageman Produksi Islami
Oleh:
Kaspul Muarif dan Abi Fadlan
I.
PENDAHULUAN
Produksi
dalam ekonomi Islam adalah setiap bentuk aktivitas yang dilakukan manusia untuk
mewujudkan manfaat atau menambahkannya dengan cara mengeksplorasi sumber-sumber
ekonomi yang disediakan allah SWT sehingga menjadi maslahat, untuk memenuhi
kebutuhan manusia.
Hal ini dapat dijelaskan dalam semua aktifitas
produksi barang dan jasa yang dilakukan seorang muslim untuk memperbaiki apa
yang dimilikinya, baik berupa sumber daya alam dan harta dan dipersiapkan untuk
bisa dimanfaatkan oleh pelakunya atau oleh umat Islam.
Firman Allah dalam QS Al-Mulk:15
“Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
Dan firman-Nya pula dalam QS
Hud:61
“Dan kepada
Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku
Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).”
II. PEMBAHASAN
1. PRINSIP-PRINSIP PRODUKSI
Prinsip-prinsp
produksi secara singkat adalah pedoman yang harus diperhatikan, ditaati, dan
dilakukan ketika akan berproduksi. Prinsip-prinsip produksi dalam Islam,
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Berproduksi dalam lingkaran halal
Prinsip
produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik individu maupun
komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati
batas. Pada dasarnya, produsen pada ekonomi konvensional tidak mengenal istilah
halal dan haram. Yang menjadi prioritas kerja mereka adalah memenuhi keinginan
pribadi dengan mengumpulkan laba, harta, dan uang. Ia tidak mementingkan apakah
yang diproduksinya itu bermanfaat atau berbahaya, baik atau buruk, etis atau
tidak etis. Adapun sikap seorang muslim sangat bertolak belakang. Ia tidak
boleh menanam apa-apa yang diharamkan, seperti poppy yang diperoleh dari buah
opium, demikian pula cannabis atau heroin. Seorang muslim tidak boleh menanam
segala jenis tumbuhan yang membahayakan manusia, seperti tembakau yang menurut
keterangan WHO, sains, dan hasil riset berbahaya bagi manusia. Selain dilarang
menanam tanaman-tanaman yang berbahaya bagi manusia, sorang muslim juga
dilarang memproduksi barang-barang haram, baik haram dikenakan maupun haram
dikoleksi. Misalnya membuat patung atau cawan dari bahan emas dan perak, dan
membuat gelang emas untuk laki-laki. Syariat juga melarang memproduksi produk
yang merusak akidah, etika, dan moral manusia, seperti produk yang berhubungan
dengan pornografi dan sadisme, baik dalam opera, film, dan musik.[1]
b. Keadilan dalam berproduksi
Sistem
ekonomi Islam telah memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai
kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau menghancurkan
masyarakat. Kitab suci Al Quran memperbolehkan kerjasama yang saling
menguntungkan dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua
pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang,
lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan
yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum. Setiap orang dinasihatkan
berhubungan secara jujur dan teratur serta menahan diri dari hubungan yang
tidak jujur sebagaimana tersebut dalam QS An Nisa’: 29
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Ayat di atas
melarang cara mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak adil dan
memperingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang
tidak adil. Jika seseorang mencari dan mendapatkan kekayaan dengan cara yang
tidak benar ia tidak hanya merusak usaha dirinya, tetapi akan menciptakan
kondisi yang tidak harmonis di pasar yang pada akhirnya akan menghancurkan
usaha orang lain.[2] Selain
itu dalam QS Ar Rahman: 9
“Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa
tiap orang Islam hendaknya jujur dalam setiap tindakan, sebagaimana timbangan
yang tepat ketika berjualan dan dalam semua kegiatan yang berkenaan dengan
orang lain. Orang Islam tidak boleh tertipu daya karena contoh kualitas yang baik,
lalu menjual barang-barang yang rendah mutunya atau mengurangi timbangan.[3]Karena
pada dasarnya perbuatan tidak adil dan salah akan merusak sistem ekonomi dan
akhirnya akan menghancurkan keseluruhan system sosial. Dengan demikian, Al
Quran menyetujui nilai-nilai yang mulia dalam persamaan hak, keadilan,
kooperasi, dan pengorbanan dalam rangka mereorganisasikan lingkungan
sosio-ekonomi masyarakat Islam.
2. FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI
Produksi
tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang memungkinkan
dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang
memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya,
serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau
usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi.[4]
Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau
macam-macam dari faktor produksi.[5]
Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai
berikut:
a. Tanah
Hal yang
dimaksud dengan istilah land atau tanah di sini bukanlah sekedar tanah untuk
ditanami atau untuk ditinggali saja, tetapi termasuk pula di dalamnya segala
sumber daya alam (natural resources). Dengan demikian, istilah tanah atau land ini maksudnya adalah segala sesuatu yang bisa
menjadi factor produksi berasal dan atau tersedia di ala mini tanpa usaha
manusia, yang antara lain meliputi:
i.
Tenaga
penumbuh yang ada di dalam tanah, baik untuk pertanian, perikanan, maupun
pertambangan.
ii.
Tenaga air, baik untuk pengairan maupun
pelayaran. Termasuk juga di sini adalah air yang dipakai sebagai bahan pokok
oleh Perusahaan Air Minum.
iii.
Ikan dan mineral, baik ikan dan mineral darat
(sungai, danau, tambak, dan sebagainya) maupun ikan dan mineral laut.
iv.
Tanah
yang di atasnya didirikan bangunan.
v.
Living
stock, seperti ternak dan binatang-binatang lain yang bukan ternak.
vi.
Dan
lain-lain, seperti bebatuan dan kayu-kayuan.
b. Tenaga kerja
Dalam ilmu
ekonomi yang dimaksud dengan istilah tenaga kerja manusia (labor) bukanlah
semata-mata kekuatan manusia untuk mencangkul, menggergaji, bertukang, dan
segala kegiatan fisik lainnya, akan tetapi lebih luas lagi yaitu human
resources (sumber daya manusia). Di dalam istilah human resources atau SDM itu
tercakuplah tidak saja tenaga fisik atau tenaga jasmani manusia tetapi juga
kemampuan mental atau kemampuan nonfisiknya, tidak saja tenaga terdidik tetapi
juga tenaga yang tidak terdidik, tidak saja tenaga yang terampil tetapi juga
yang tidak terampil. Pendek kata, di dalam istilah atau pengertian human
resources itu terkumpullah semua atribut atau kemampuan manusiawi yang dapat
disumbangkan untuk memungkinkan dilakukannya proses produksi barang dan jasa.
c. Modal
Modal
(capital) yaitu meliputi semua jenis barang yang dibuat untuk menunjang
kegiatan produksi barang-barang lain serta jasa-jasa. Termasuk ke dalam
bilangan barang-barang modal misalnya mesin-mesin, pabrik-pabrik, jalan-jalan
raya, pembangkit tenaga listrik, gudang serta semua peralatannya. Modal juga mencakup
arti uang yang tersedia di dalam perusahaan untuk membeli mesin-mesin, serta
faktor-faktor produksi lainnya.
d. Kecakapan Tata Laksana (Manajemen)
Kecakapan (skiil) yang menjadi
faktor produksi keempat ini disebut juga deangan sebutan entrepreneurship.
Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat
diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru amat menentukan. Seorang
entrepreneurship mengorganisir ketiga faktor produksi lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Ia pun menanggung resiko
untuk setiap jatuh bangun usahanya. Tidak pelak lagi bahwa faktor produksi yang
keempat ini adalah yang terpenting di antara semua faktor produksi. Memang ia
tidak bisa dilihat, tetapi setiap orang mengetahui dan merasakan bahwa ia,
entrepreneurship atau managerial skill itu, adalah amat penting peranannya
sehubungannya dengan yang dihasilkan.
Keempat
faktor produksi yang telah disebutkan di atas, adalah unsur-unsur yang harus bekerja demi terlaksananya proses
produksi. Apabila keempatnya adalah kita misalkan makhluk-makhluk yang dapat berpikir
dan merasa, keempatnya adalah tanah, tenaga manusia, modal, dan tata laksana
semuanya itu akan minta dan menuntut balas jasa atas hasil kerjanya. Kepada
faktor produksi tanah dibayarkan sewa (rent). Untuk tenaga manusia (labor)
dikenal tiga jenis pembayaran balas jasa, yaitu upah (wage), gaji (salary), dan
royalty. Untuk modal dibayarkan bunga (interest) dan deviden.
3. KONSEP HAK MILIK DALAM ISLAM
Hak milik
merupakan setiap individu manusiawi, fitrah yang melekat dalam setiap individu
yang tidak bisa dihilangkan karena telah menjadi kebutuhan jiwa dalam
kehidupan.[6]
Al Quran memandang harta dengan pandangan yang realitis. Dinyatakan harta itu
pandangan hidup dan kecintaan terhadap harta sebagai tabiat manusia. Firman
Allah dalam QS Al Kahfi: 46
“Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Dan dalam QS Al Adiyat: 8
“Dan Sesungguhnya dia (manusia)
sangat bakhil karena cintanya kepada harta.”
Hak milik adalah amanat, pemilik
yang sebenarnya adalah Allah SWT
sendiri. Hak manusia untuk memanfaatkan barang-barang di dunia adalah dalam
kedudukannya sebagai khalifah dan pengemban amanat Allah.[7]Hal
ini sesuai dengan QS Al Baqarah: 284
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam
hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”
Menurut Mustafa Husin
al-Siba’I, Allah telah menjadikan harta sebagai perantara untuk memperoleh
kebaikan. Oleh sebab itu, harta digunakan untuk kebaikan atau utuk kepentingan
masyarakat.[8] Muhammad
al Mubarak menyebutkan ada tiga hal sebab dari pemilikan, sebab-sebab pemilikan
itu meliputi:
i.
Pemilikan
dari hasil usaha individual. Hal ini yang dibenarkan secara syara’ seperti
usaha bertani, berdagang, berburu, dan lain-lain.
ii.
Pemilikan
tanpa diusahakan yang ditetapkan syara’, seperti hak atas nafkah, warisan, dan
zakat.
iii.
Pertukaran
pemilikan seperti menukarkan uang dengan pakaian.
Taqiyuddin al- Nabhani
menyebutkan sebab pemilikan adalah sebagai berikut:
i.
Bekerja
ii.
Warisan
iii.
Kebutuhan
akan harta menyambung hidup
iv.
Pemberian
harta negar pada rakyat
v.
Harta
yang diperoleh tanpa konpensasi harta
atau tenaga, contohnya hadiah (hibah), mahar, barang temuan (luqatah), dan
santunan.
Selain membahas tentang pemilikan
harta, diatur juga tentang memperoleh harta. Ahmad al-Syarbasi menyebutkan ada
lima syarat pemilikan yang dibenarkan system ekonomi islam.
i.
Diperoleh
dengan cara yang dibenarkan oleh syara’
ii.
Barang
tersebut halal dan baik
iii.
Dimanfaatkan
tidak dengan cara yang berlebihan dan menyimpang
iv.
Menunaikan hak Allah atas barang tersebut berupa zakat
dan perbutan baik lainnya yang memberikan manfaat bagi kemaslahatan umum
v.
Tidak
dimanfaatkan dengan tujuan yang memberikan mudharat kepada pihak lain, baik
perorangan, kelompok, dan umum.
Syarat-syarat ini berlaku umum
untuk tiap jenis hak milik, namun syarat-syarat seperti yang dijelaskan al
Syarbasi ini dimaksudkan untuk hak milik individual.
Dari beberapa
literatur yang membahas tentang hal milik, ada dua kategori hak milik. Kategori pertama, membagi
hak milik menurut sifat umum dan khusus pemilikannya. Hak milik umum ialah
pemilikan oleh umum dan manfaatnya untuk seluruh individu. Pemanfaatan hak
milik umum dilakukan dan diatur oleh Negara, karena Negara sebagai penanggung
jawab atas keberadaan distribusi dan pemanfaatannya. Pengelolaan hak milik umum
ini bisa dilakukan oleh pihak swasta, namun harus mendapatkan izin negara
selaku penanggung jawab. Hak milik umum ditetapkan berdasarkan atas manfaat
umum, sebab pemilikan atau penguasaan oleh sekelompok orang bisa berdampak
negatif. Dalam hak milik umum ini,
negara bertindak sebagai caretaker atau pemegang amanat publik.
Pandangan yang lain menyebutkan hak milik umum adalah hak milik negara.
Pandangan ini menybut fasilitas umum
seperti, jalan, air sungai dan laut, bahan tambang, tanah, dan lain-lain
adalah millik negara. Pandangan ini berlaku umum di kalangan para ahli dan
pemikir Islam. Oleh Ibnu Taymiyah, hak milik seperti ini adalah hak milik
sosial. Menurutnya, hak milik negara itu meliputi zakat, waqaf, harta rampasan
perang, pajak, dan denda.[9]Hak
milik negara atau sumber kekayaan untuk penyelenggaraan tugas atau kewajiban
negara seperti, penyelenggaraan pendidikan dan penegakkan keadilan.
Melengkapi uraian tentang hal
milik umum ini, maka akan dikemukakan beberapa landasan hukum hak milik umum, yaitu QS Al Baqarah: 29
“Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Dan QS. Al A’Raf: 10
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan.
Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Rasulullah saw pada sebuah
peperangan pernah bersabda kepada seorang sahabat: “Dari seorang sahabat
Rasulluah saw, dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “ Semua orang berserikat
dalam tiga hal, yaitu dalam hal (pemanfaatan atau pemilikan) rumput, air, dan
api.” (HR. Ahmad).
Hadits tersebut mengandung arti
bahwa air, rumput, dan api tidak boleh dimonopoli oleh seseorang atau
sekelompok orang. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan dibenarkan untuk
memiliki barang-barang ini. Air, rumput, dan api diartikan sebagai barang yang
dapat mewakili barang-barang lain. Karenanya, pembatasan pemilikan tidak hanya
berlaku atas barang-barang ini, tetapi juga berlaku untuk barang-barang lain
yang sejenis atau yang menurut pandangan tertentu memiliki kualifikasi yang
sama. Berdasarkan hadist ini dapat dipahami bahwa tidak ada monopoli individu
terhadap barang-barang seperti rumput, air, dan api, sebab barang tersebut
adalah barang kebutuhan pokok di masa Rasulullah saw.
Hak milik khusus adalah
pemilikan atas sesuatu oleh seseorang dan sekelompok orang secara bersama-sama.
Hak milik khusus ini meliputi hak milik individual dan kolektif. Dalam hak
milik terdapat aturan-aturan kemaslahatan umum dan aturan pemanfaatan hak milik
yang baik. Hak milik individual merupakan salah satu asas penting dalam Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam,
perolehan dan pemanfaatan hak milik harus dengan jalan ma’aruf. Di dalam harta
itu terdapat hak-hak kemasyarakatan yang harus ditunaikan. Al-Qur’an menegaskan
dalam surat Al Baqarah: 188
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.”
III. KESIMPULAN
Firman Allah dalam QS Al-Mulk:15
“Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
Sistem
ekonomi Islam telah memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai
kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau menghancurkan
masyarakat. Kitab suci Al Quran memperbolehkan kerjasama yang saling
menguntungkan dengan jujur, sederajat, dan memberikan keuntungan bagi kedua
pihak dan tidak membenarkan cara-cara yang hanya menguntungkan seseorang,
lebih-lebih yang dapat mendatangkan kerugian pada orang lain atau keuntungan
yang diperoleh ternyata merugikan kepentingan umum. Setiap orang dinasihatkan
berhubungan secara jujur dan teratur serta menahan diri dari hubungan yang
tidak jujur sebagaimana tersebut dalam QS An Nisa’: 29
Dengan
demikian maka jelaslah bahwa sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang
adil serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya pada satu individu
atau kelompok, tetapi tersebar keseluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.
A. Islahi. Konsep Ekonomi
Ibnu Taymiyah. Surabaya: Bina
Ilmu. 2002.
A.
Rahman I. Doi. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2002.
http://nitanurrachmawatiatmasari.blogspot.com
Husin
al-Siba’i, Mustafa, Kehidupan Sosial
menurut Islam Tuntutan Hidup Bermasyarakat. Bandung: Diponegoro.1996.
Kahfi,
Monzer, Ekonom Islam; Telaah Analitik
terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Masyhuri.
Ekonomi Mikro. Malang: UIN Malang Press. 2007.
Qardhawi,
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam.
Jakarta: Gema Insani Press. 1997.
Rahman,
Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam,
Jld 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Rosyidi,
Suherman, Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan
kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2006.
Sya’rawi,
M. Mutawalli, Islam di Antara Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta: Gema
Insani Press. 1996.
[2] Afzalur
Rahman. Doktrin Ekonomi Islam, Jld 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
1995.
[3] A.
Rahman I. Doi. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2002.
[4] Suherman Rosyidi. Pengantar Teori Ekonomi
Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2006.
[5] Masyhuri. Ekonomi
Mikro. Malang: UIN Malang Press. 2007.
[6] M. Mutawalli Sya’rawi. Islam di
Antara Kapitalisme dan Sosialisme. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
[7] Monzer Kahfi. Ekonom Islam; Telaah
Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1997.
[8] Mustafa
Husin al-Siba’i. Kehidupan Sosial menurut Islam Tuntutan Hidup
Bermasyarakat. Bandung: Diponegoro.1996.
No comments:
Post a Comment