Thursday, March 28, 2013

Multi Level Marketing Syariah (MLM Syariah)


Multi Level Marketing  (MLM) Islami

Semua bisnis termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori mu’amalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (Jual-beli) yang hukum asalnya dari aspek hukum jual-belinya secara prinsip boleh berdasarkan kaidah fiqih sebagaimana dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah “Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan mu’amalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarangnya.”
Persoalan bisnis MLM yang ditanyakan mengenai status hukum halal-haram maupun status syubhatnya tidak bisa dipukul rata. Menurut catatan APLI, saat ini terdapat lebih dari 200-an perusahaan yang menggunakan sistem MLM dan masing-masing memiliki karakteristik, spesifikasi, pola, sistem dan model tersendiri yang menjadi dasar secara individual perusahaan MLM itu dinilai halal atau haram.
Sejak masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 80-an, jaringan bisnis Penjualan Langsung (Direct Selling) MLM, terus marak dan subur menjamur dan bertambah merebak lagi setelah adanya badai krisis moneter dan ekonomi. Pemain yang terjun di dunia MLM yang memanfaatkan momentum dan situasi krisis untuk menawarakan solusi bisnis pemain asing maupun lokal. Hal itu menunjukkan bahwa bisnis MLM banyak diminati banyak kalangan diantaranya mengingat jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar mencapai 200 juta jiwa. Bayangkan kalau rata-rata minimal belanja perbulan Rp 10 ribu per jiwa, akan terjadi transaksi dan perputaran uang sejumlah Rp.2 trilyun perbulan.
Bisnis MLM ini dalam kajian fiqih kontemporer dapat ditinjau dari dua aspek; produk barang atau jasa yang dijual dan cara ataupun sistem penjualan dan pemasarannya (trading/marketing). Mengenai produk barang yang dijual, apakah halal atau haram tergantung kandungannya apakah terdapat unsur maupun komposisi yang diharamkan secara syariah ataukah tidak, demikian halnya jasa yang dijual. Sebagai contoh adakah di dalamnya terkandung unsur babi, khamr, bangkai, darah, pornografi dan pornoaksi, kemaksiatan, perjudian.

A.    Pengertian MLM
Secara umum ‘Multi Level Marketing' adalah suatu cara perniagaan alternatif yang berkaitan dengan pemasaran yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah ‘Upline' (tingkat atas) dan ‘Downline' (tingakt bawah), orang akan disebut ‘Upline' jika mempunyai ‘Downline'. Pokok utama dari perniagaan MLM ini digerakkan dengan sistem jaringan, ada yang bersifat ‘vertikal' atas bawah maupun ‘horizontal kiri kanan' ataupun gabungan antara keduanya.

B.     Bentuk MLM yang Haram atau syubhat
Ada beberapa bentuk sistem MLM yang jelas keharamannya atau meragukan, yaitu apabila ia menggunakan sistem berikut :
1.      Harga tinggi dari biasa. Menjual produk yang diperjualbelikan dalam sistem MLM dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga biasa, ini sangat tidak dianjurkan dalam islam, malah menurut sebagian ulama, aqad seperti ini adalah tidak sah. Menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga biasa merupakan bentuk penipuan harga kepada orang awam yang tidak mengetahui harga normal. Dalam sistem MLM harga yang sengaja dinaikkan kerana sekaligus digabungkan  dengan uang pendaftaran sebagai anggota.
2.      Target Pembelian Peribadi Sebagai Syarat Komisi. Selain dari iuran yang wajib dibayar oleh anggota, biasanya terdapat syarat yang mewajibkan anggota tersebut mencapai target pembelian tertentu sebagai syarat untuk mendapat komisi dari hasil penjualan anggota di bawahnya. Apabila ia gagal mencapai target pembelian tersebut maka keanggotaannya akan hilang atau dia tidak akan mendapatkan komisi sedikitpun walaupun orang bawahannya menjual dengan begitu banyak. Semua MLM yang menerapkan syarat seperti ini, menyebabkan sistem MLM mereka menjadi bermasalah dari sudut Shariah kerana adanya unsur kezaliman terhadap anggota dan adanya kewajiban penjualan bersyarat dengan syarat yang ditentukan sepihak dan merupakan berbentuk penindasan. Pada dasarnya, komisi yang diambil atas usaha menjual sesuatu barangan adalah adalah boleh menurut Syari’ah.
3.      Jika angota mendaftar sebagai anggota MLM dengan iuran tertentu, tetapi tidak ada satu produkpun untuk diperdagangkan, usahanya hanyalah dengan mencari anggota bawahanya (downline). Setiap kali ia mendapat anggota baru, maka diberikan beberapa persen dari pembayaran anggota baru tersebut kepadanya. Semakin banyak anggota baru maka semakin banyak jualah bonusnya. Ini adalah bentuk riba kerana memperdagangkan sejumlah uang untuk mendapat uang yang lebih banyak di kemudian hari.
4.      Terdapat juga MLM yang melakukan manipulasi dalam menjual produknya, atau memaksa pembeli untuk menggunakan produknya atau yang dijual adalah barang haram. Maka MLM tersebut jelas keharamannya.
Syeikh Salim Al-Hilali pernah mengeluarkan fatwa pengharaman terhadab MLM dengan skim piramid dalam sistem pemasarannya, dengan cara setiap anggota harus mencari angota-anggota baru dan demikian selanjutnya. Setiap anggota membayar iuran pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan angan-angan mendapat bonus, semakin banyak anggota dan memasarkan produknya maka akan semakin banyak bonus yang dijanjikan. Sebenarnya kebanyakan anggota MLM yang mengikuti cara ini adalah termotivasi bonus yang dijanjikan tersebut dengan harapan agar cepat kaya dalam waktu yang sesingkat mungkin, padahal ia sebenarnya tidak menginginkan produknya.
Selain itu perlu kiranya dicermati beberapa isu syariah pada bisinis MLM diantaranya sebagaimana yang disoroti oleh MUI DKI dalam Fiqh Indonesia Himpunan Fatwa MUI DKI Jakarta (hal: 288) adalah;
  1. Barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem MLM menggunakan harga yang jauh lebih tinggi dari harga wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagi sharing modal dalam akad syirkah (kemitraan) mengingat pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapat keuntungan estafet. Dengan demikian praktek perdagangan MLM juga mengandung unsur kesamaran atau penipuan karena terjadi kekaburan antara akad jual beli, syirkah dan mudharabah, karena pihak pembeli sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai pekerja yang memasarkan produk perusahaan kepada calon pembeli atau member baru.
  2. Jika calon anggota mendaftar ke perusahaan MLM dengan membayar uang tertentu, dengan ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point atau bonus. Dan apabila tidak bisa mencapai target tersebut maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya pun hangus. Hal ini diharamkan karena mengandung unsur gharar yang sangat jelas dan kedzaliman terhadap anggota.
  3. Jika calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada keharusan untuk membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonusnya. Ini merupakan salah satu transkasi berbasis riba karena menaruh uang diperusahaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yang lebih banyak semacam money game. Sebagaimana kasus perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan diberikan bunga dan bonus dari modalnya dengan memutarnya diantaranya pada investasi ribawi seperti deposito perbankan konvenisonal. Ini jelas hukumnya haram karena mengandung unsur riba.

C.    MLM Yang Halal/ MLM Syari’ah
IFANCA telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan dibenarkan oleh agama. Dalam edarannya IFANCA mengingatkan umat Islam untuk meneliti dahulu kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung ataupun menggunakannya yaitu dengan mengkaji aspek:
  1. Marketing Plan-nya, apakah ada unssur skema piramida atau tidak. Kalau ada unsur piamida yaitu distributor yang lebih duluan masuk selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor belakangan sehingga merugikan down line dibawahnya, maka hukumnya haram.
  2. Apakah perusahaan MLM, memiliki track record positif dan baik ataukah tiba-tiba muncul dan misterius, apalagi yang banyak kontriversinya.
  3. Apakah produknya mengandung zat-zat haram ataukah tidak, dan apakah produknya memiliki jaminan untuk dikembalikan atau tidak.
  4. Apabila perusahaan lebih menekankan aspek targeting penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting ataupun hanya sebagai kedok atau kamuflase, apalagi uang pendaftarannya cukup besar nilainya, maka patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.
  5. Apakah perusahaan MLM menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja ataukah tidak demikian.

Selain kriteria penilaian di atas perlu diperhatikan pula hal-hal berikut:
  1. Transparansi penjualan dan pembagian bonus serta komisis penjualan, disamping pembukuan yang menyangkut perpajakan dan perkembangan networking atau jaringan dan level, melalui laporan otomatis secara periodik.
  2. Penegasan niat dan tujuan bisnis MLM sebagai sarana penjualan langsung produk barang ataupun jasa yang bermanfaat, dan bukan permainan uang (money game).
  3. Meyakinkan kehalalan produk yang menjadi objek transaksi riil (underlying transaction) dan tidak mendorong kepada kehidupan boros, hedonis, dan membahayakan eksistensi produk domestik terutama MLM produk asing.
  4. Tidak adanya excessive mark up (ghubn fakhisy) atas harga produk yang dijeluabelikan di atas covering biaya promosi dan marketing konvensional.
  5. Harga barang dan bonus (komisi) penjualan diketahui secara jelas sejak awal dan dipastikan kebenarannya saat transaksi.
  6. Tidak adanya eksploitasi pada jenjang manapun antar distributor aataupun antara produsen dan distributor, terutama dalam pembagian bonus yang merupakan cerminan hasil usaha masing-masing anggota.
Untuk lebih memudahkan dalam mengetahui status kehalalan atau kesyariahan perusahaan MLM, dapat diketahui bahwa perusahaan yang telah terdaftar sebagai MLM syariah dan mendapatkan sertifikat bisnis syariah dari Dewan Syariah Nasional MUI sekaligus mendapatkan jaminan kesesuaian syariah dalam produk dan kegiatan operasional bisnisnya dari MUI yang diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah.


DAFTAR BACAAN

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1988)

2 comments:

  1. Replies
    1. artikelnya bagus kak, jangan lupa mampir ke saya ya tentang kumpulan ilmu
      http://indonugraha.blogspot.co.id/

      Delete