TAKAFUL
( ASURANSI SYARIAH )
I.
Pendahuluan
Salah satu aspek ajaran Islam yang
belakangan ini mendapat perhatian dan pengkajian cukup intens di kalangan
akademis dan praktisi Muslim adalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa mayoritas umat Islam tergolong berekonomi menengah ke bawah, sementara
itu ajaran Islam tentang ekonomi dinilai dapat memberikan perspektif luas dan
solusi alternatif. Jika ajaran ini dipahami dan diaplikasikan secara
profesional, maka akan bermuara pada terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi
bagi semua. Selain itu fundamental ekonomi yang kuat juga merupakan faktor
utama bagi peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia Muslim di
Indonesia.
Konsep ekonomi Syariah di Indonesia
memang belum terlalu lama mewacana dan beroperasi. Kini konsep tersebut sedang
dalam proses eksperimentasi dan revitalisasi. Proses ini memang sarat dengan
“taruhan” masa depan umat Islam. Sebagai perbandingan, pada awal didirikannya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990-an, banyak kalangan meragukan
kemungkinan bank ini dapat bertahan di tengah persaingan ketat dengan bank-bank
konvensional. Namun, fakta yang ada berbicara lain, sementara bank-bank
konvensional collapse akibat berbagai
skandal (seperti BLBI) dan kekurangan CAR (rasio kecukupan modal), lalu banyak
yang kemudian harus dimerger, BMI tetap survive
dan tegar. Konsep bank Syariah, yang lebih banyak disemangati oleh
nilai-nilai dan etika bisnis dalam Islam, mulai banyak dilirik oleh banyak
pihak. Tidaklah mengherankan jika kemudian bank-bank konvensional pun membuka
dan menawarkan produk layanan perbankan berdasarkan Syariah, seperti Syariah
Mandiri dan BNI Syariah. Demikian pula keberadaan asuransi Islam atau asuransi
Syariah di Indonesia diniscayakan dapat memberikan prospek yang cerah bagi
perekonomian umat Islam di Indonesia.
Kontroversi di kalangan ulama Islam
mengenai hukum asuransi akan dijelaskan, begitu juga tujuan asuransi,
macam-macam asuransi dan sejarah.
II.
Pembahasan
Pengertian asuransi:
Asuransi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris insurance atau berasal dari bahasa
Belanda, assurantie. Dalam hukum
Belanda digunakan istilah insurance dan
assurance dengan pengertian yang
kurang lebih sama. Istilah insurance digunakan
untuk asuransi kerugian, sedangkan istilah assurance
digunakan untuk asuransi jiwa.[1] Kata ini lalu diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan kata pertanggungan. Dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan ta’min dan dhaman yang secara etimologis kedua kata terakhir berarti memberi
rasa aman, memberi rasa perlindungan, dan memberi jaminan[2].
Asuransi juga didefinisikan sebagai akad
(perjanjian) yang salah satu dari kedua belah pihak yang berakad berjanji,
yaitu penanggung akan menerima premi dengan membayarkan sejumlah uang yang
telah disepakati kepada pihak lain yaitu tertanggung sebagai kompensasi dari
kerugian, keelakaan, musibah yang menimpanya, dengan nilai tanggungan tertentu
sesuai dengan kesepakatan[3].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KKBI), asuransi adalah pertanggungan atau perjanjian antara dua pihak, pihak
yang satu berkewajiban memberi iuran, pihak yang lain berkewajiban memberikan
jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran itu, apabila terjadi sesuatu yang
menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian
yang dibuat.[4]
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, asuransi adalah persetujuan di mana pihak yang menanggung berjanji
terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian
yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung sebagai akibat suatu
peristiwa yang belum terang akan terjadinya.[5]
Musthafa Al-Zarqa mendefinisikan
asuransi sebagai sistem perikatan yang didasarkan atas negosiasi, tujuannya
adalah kerja sama untuk mengganti kerugian melalui lembaga tertentu yang melangsungkan
transaksinya secara artistik berdasarkan prinsip-prinsip.
Menurut Faishal Al-Mawlawi asuransi
adalah akad antara dua pihak yang salah satunya mengharuskan membayar kepada
pihak kedua sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang dideritanya disebabkan
oleh suatu peristiwa sesuai dengan transaksi.[6]
Dari beberapa definisi tersebut dia
atas, dapat dipahami bahwa asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang
bertransaksi dan terikat oleh suatu akad dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji
akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara di
angsur. Kedua, pihak menanggung yang
akan berjanji membayar sejumlah uang atau mengganti kepada pihak tertanggung
sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum terjadi, dan jenis peristiwa itu
disepakati oleh kedua belah pihak.
Jika dikaitkan dengan Islam sebagai
agama yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan moral, maka asuransi Islam
didefinisikan sebagai akad atau perjanjian kesepakatan bersama antara
sekumpulan orang untuk saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka, yang
operasionalisasinya dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Dalam hal ini ada
dua konsep dasar yang dalam perusahaan asuransi Islam yaitu: al-takaful (saling memberi perlindungan)
dan al-Mudharabah (konsep bagi
hasil). Dari sini dapat dipahami bahwa perusahaan asuransi Islam dapat
digambarkan sebagai syarikat perongsian untung rugi antara perusahaan dengan
nasabahnya, yang mana kedua belah pihak bersepakat untuk saling menjamin (dalam
bentuk finansial) atas kematian, kecelakaan, kebakaran, kehilangan atau
kerusakan harta benda yang mungkin menimpa salah satu nasabahnya.[7]
Tujuan Asuransi:
Asuransi mempunyai beberapa tujuan.
Secara umum asuransi bertujuan untuk mengembalikan tertanggung kepada posisi
semula atau untuk menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan, sehingga ia
masih mampu berdiri, seperti sebelum menderita kerugian. Dengan kata lain,
asuransi bertujuan mengalihkan atau berbagi risiko yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh orang ain, antara penderita
musibah dan perusahaan asuransi. Jadi tujuan tertanggung untuk menutup asuransi
adalah untuk memperoleh rasa ketentraman dari risiko yang dihadapinya atas
kegiatan usahanya atau atas harta miliknya dan untuk mendorong keberaniannya
menggiatkan usaha yang lebih besar, karena risiko yang besar itu diambil alih
oleh penanggung.[8]
Kalau dalam konteks Islam asuransi lebih
berorientasi pada kepentingan bersama, bukan semata-mata perusahaan asuransi,
karena konsep dasar yang dikembangkan adalah prinsip-prinsip kerja sama,
proteksi, dan saling bertanggungjawab. Selain menerapkan konsep berbagi risiko,
asuransi Islam juga bertujuan menyantuni peserta yang menderita kerugian
melalui dana kelompok yang dikumpulkan. Dana yang terkumpul juga untuk
diinvestasikan sesuai dengan kaidah investasi islam, dan hasilnya dibagikan
kembali kepada peserta sesuai dengan prinsip mudharabah.[9]
Tujuan asuransi Islam tersebut sesuai
dengan perintah ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
Artinya:
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan taqwa, janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran...” (QS Al-Maidah, 5:2).
Macam-Macam Asuransi:
Asuransi
kerugian: berkaitan dengan risiko-risiko selain
terdapat pada jiwa, seperti asuransi kecelakaan, kebakaran, kecurian,
huru-hara, bencana alam, dsb. Singkatnya pertanggungan dalam asuransi ini
adalah benda, barang atau materi yang dapat dinilai dengan uang.
Asuransi
jiwa: asuransi dimana yang dipertanggungkan adalah
kerugian-kerugian ekonomi atau keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa atau
karena usia lanjut.
Asuransi
sosial: yang bertujuan menjamin anggota keluarga,
jika kepala keluarga meninggal atau bertujuan menabung yang kelak hasilnya akan
diambil setelah orang itu tidak ada atau berusia lanjut.[10]
Asuransi
komersial: asuransi yang berorientasi kepada perolehan
keuntungan finansial yang meliputi asuransi angkatan laut yang memberi proteksi
kapal,tongkang dan alat-alat pengangkut yang berlayar melalui laut beserta
muatannya. Asuransi angkutan udara yang memberi proteksi kepada pesawat udara
beserta muatannya. Asuransi angkatan darat. Asuransi antariksa yang memberi
proteksi kepada peluncuran satelit, asuransi kebakaran, kecelakaan diri, jiwa,
kredit, keuangan, dsb.[11]
Asuransi
sosial: pada umumnya bergerak di bidang kesehatan
dan asuransi tenaga kerja. Asuransi kesehatan memberikan proteksi kesehatan
kepada para nasabah, sedangkan asuransi tenaga kerja memberi proteksi
keselamatan kerja dan jaminan hari tua kepada para nasabahnya.
Asuransi
kerugian: asuransi yang jaminannya didasarkan atas
kemungkinan kerugian maksimal yang diderita oleh tertanggung, bila risiko yang
tidak diduga atau tidak diketahui sebelumnya, benar-benar terjadi. Asuransi ini
meliputi asuransi pengangkutan ( laut, sungai, pedalaman, darat, dan udara),
asuransi kebakaran dan asuransi varia (aneka) seperti asuransi kendaraan
bermotor, pengiriman uang, penyimpanan uang, asuransi kehilangan dsb.
Asuransi sejumlah
uang: asuransi yang jaminannya dinyatakan dalam
sejumlah uang ( bukan berdasarkan kerugian yang mungkin diderita ). Asuransi
ini meliputi asuransi jiwa, kecelakaan diri, tenaga kerja, dll.
Sejarah Singkat Asuransi
Islam:
Pada abad pertengahan asuransi kebakaran
mulai dikenal. Sekitar abad ke 13 dan 14 asuransi pengangkutan laut mulai
berdiri dan berkembang. Tampaknya perhubungan melalui laut yang menghubungkan berbagai
belahan dunia saat itu mengalami perkembangan pesat dan merupakan salah satu
pendorong bagi perkembangan asuransi laut, sehingga menjadi hal yang biasa di
Eropa Barat.[12] Memang
jaminan atas bahaya laut yang dialami dalam pelayaran terasa sangat dibutuhkan
sejak masa kruistochten, yaitu pengiriman tentara Kristen dari berbagai negara
Eropa Barat ke Palestina untuk merebut kota Jerussalem dari tangan tentara
Islam (Perang Salib, 1096-1291 M).[13]
Pada abad ke 16 M, asuransi laut
mengalami perkembangan sangat pesat. Kapal-kapal dagang yang mengangkut
berbagai komoditas banyak diasuransikan. Ide pengasuransian ini muncul karena
kapal-kapal saat mengahadapi berbagai ancaman dan bahaya. Para pemilik
komoditas kemudian sepakat untuk saling bekerjasama dalam membayar asuransi
(biaya penjaminan) terhadap keselamatan kapal-kapal mereka. Sejak itulah
kemudian berdiri beberapa perusahaan asuransi.[14]
Dibandingkan dengan sejumlah negara
bahkan negara yang mayoritas penduduknya non muslim keberadaan asuransi Islam
(takaful) di Indonesia tergolong terlambat. Di Luxemburg, Genewa dan Bahamas
misalnya, asuransi takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di
negara-negara yang mayoritas penduduknyya Muslim, keberadaannya jauh lebih
lama, seperti di Sudan (1979), Arab Saudi (1979), Bahrain (1983), Malaysia
(1984), dan Brunei Darussalam (1992).[15]
Menarik digaris bawahi bahwa tujuan
utama perusahaan asuransi dewasa ini adalah keuntungan. Adapun ide
tolong-menolong hanyalah sekadar untuk memberi kepuasan terhadap orang lain.
Karena itu, berdirinya perusahaan asuransi syariah dipandang dapat memberikan
angin segar bagi perekonomian umat Islam agar terbebas dari unsur riba dan
gharar.
Asuransi Islam di Indonesia diresmikan
dan mulai beroperasi pada masa Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan B.J Habibie
sebagai Ketua Umum ICMI tahun 1995. Media masa dan kalangan praktisi asuransi
saat itu berkomentar bahwa telah lahir bayi raksasa asuransi syariah. Namun,
tidak sedikit pula yang pesimis dan skeptis terhadap keberadaan asuransi ini.
Hingga tahun 2002 kinerja asuransi syariah memang belum mampu membuktikannya
sebagai bayi raksasa. Ia hanyalah bayi biasa yang lahir dan tumbuh sehat.[16]
Hukum Asuransi
Menurut Ulama:
Ada 4 ulama Islam yang mempunyai
pendapat berbeda mengenai hal ini. Pertama,
ada ulama yang membolehkan secara mutlak melakukan asuransi. Jadi, asuransi
hukumnya mubah. Ulama-ulama tersebut adalah Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Muhammad
Al-Bahy, Muhammad Yusuf Musa, Abd Al-Wahab Khalaf, Abd Al-Rahman Isa, dan
Muhammad Nezzatullah Shiddiqi.
Kedua,
ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu mengharamkan
secara mutlak melakukan suransi. Jadi, hukumnya haram. Ulama-ulama tersebtu
adalah Isa Abduh, Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Bakhit Ala-Mu’thi
dan Yusuf Al-Qardhawi.
Ketiga,
pendapat yang membedakan beberapa kategori asuransi,
sehngga ada asuransi yang dipandang haram dan ada pula yang dipandang boleh.
Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah ibn Zaid Ali Mahmud
dan Muhammad Abu Zahrah.
Keempat,
kelompok ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi
termasuk syubhat (samar-samar) karena
tidak ada dalil-dalil agama yang secara jelas mengharamkan atau yang
menhalalkan asuransi. Karena itu, sikap yang diambil adalah ihtiyath (berhati-hati) dalam
berhubungan dengan asuransi.[17]
Argumentasi
yang dijadikan dasar bahwa asuransi itu boleh adalah:
1. Dalam
Al-Qur’an dan Hadis tidak didapati nash yang secara tegas melarang asuransi.
2. Dalam
asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak: penanggung
dan tertanggung.
3. Asuransi
dinilai menguntungkan kedua belah pihak.
4. Asuransi
merupakan akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
5. Asuransi
termasuk syirkah ta’awuniyyah (semacam koperasi, usaha bersama) yang didasarkan
atas prinsip-prinsip saling tolong-menolong.[18]
Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang
berpendapat asuransi itu haram:
1. Asuransi
sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu
seperti halnya dalam permainan judi. Singkatnya asuransi adalah perjanjian
pertaruhan yang penuh spekulasi.
2. Asuransi
mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian (jahalah dan gharar), karena si
tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan
berapa jumlah tertentu itu akan diberikan kepada pihak tertanggung atau tidak.
Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan
memperoleh seluruhnya, tetapi mungkin juga tidak akan memperolehnya sama
sekali.
3. Asuransi
mengandung riba. Karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang
jumlahnya lebih besar dari premi yang dibayarkannya kepada perusahaan.
4. Asuransi
merupakan suatu usaha yang dirancang untuk meremehkan iradat Allah Swt.
Argumentasi ulama yang menyebut asuransi itu
ada yang boleh dan ada yang haram:
Muhammad Abu Zahrah misalnya membolehkan
asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersil.
Abdullah ibn Zaid membolehkan asuransi kecelakaan dan mengharamkan jiwa.
Alasannya hampir sama dengan kelompok pertama dan kedua di atas, hanya saja ia
mencari titik temu di antara keduanya.[19]
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Islam
menolak asuransi? Jawabannya adalah bahwa asuransi termasuk persoalan muamalah
yang sama sekali baru dan karena itu hukumnya harus dikembalikan pada kaidah
ushul fiqih sbb:
Artinya: “Hukum
asal dalam perikatan dan muamalah adalah sah, sampai adanya dalil yang
menyatakan bahwa tindakan itu adalah batal”.
Dengan demikian, hukum asuransi menurut fiqih
Islam pada dasarnya adalah mubah (boleh), kecuali jika terdapat unsur-unsur
yang dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi dan
kecurangan atau ketidak adilan.
III.
Kesimpulan
Asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang
bertransaksi dan terikat oleh suatu akad dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji
akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara di
angsur. Kedua, pihak menanggung yang
akan berjanji membayar sejumlah uang atau mengganti kepada pihak tertanggung
sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum terjadi, dan jenis peristiwa itu
disepakati oleh kedua belah pihak.
Jika dikaitkan dengan Islam sebagai agama
yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan moral, maka asuransi Islam
didefinisikan sebagai akad atau perjanjian kesepakatan bersama antara
sekumpulan orang untuk saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka, yang
operasionalisasinya dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Dalam hal ini ada
dua konsep dasar yang dalam perusahaan asuransi Islam yaitu: al-takaful (saling memberi perlindungan)
dan al-Mudharabah (konsep bagi
hasil). Dari sini dapat dipahami bahwa perusahaan asuransi Islam dapat
digambarkan sebagai syarikat perongsian untung rugi antara perusahaan dengan
nasabahnya, yang mana kedua belah pihak bersepakat untuk saling menjamin (dalam
bentuk finansial) atas kematian, kecelakaan, kebakaran, kehilangan atau
kerusakan harta benda yang mungkin menimpa salah satu nasabahnya.
Ada juga beberapa ulama yang memfatwakan
bahwa asuransi itu mubah, ada juga yang mengharamkannya, dan ada juga yang
mubah dan yang haram.
Daftar Pustaka
Abdurrahman
Yahya, Hukum Asuransi Menurut Islam, Bogor:
Al-Azhar Press, Cet. I, 2008.
Abu Al-Fadhl Hani ibn Fathi Ali
Hadidu, Al-Ta’min: Anwa’uhu
Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al-Ahama, 1997).
Ali Yafie, Asuransi dalam Syariat Islam, Makalah Diskusi dalam Forum “Kajian
Agama Majelis Sunday”, Jakarta 31 Juli 1994.
Faishal Al-Mawlawi, Nizham Al-Ta’min, (Beirut: Muassasah
Al-Risalah, 1984).
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta:
Logos, 1995), Cet, I.
Hans Wehr, Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, (Beirut: Maktabah Lubhnan, 1980),
Cet. III.
Kitab Undang-undang Hukum
Dagang Pasal 246
Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi dalam Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1996).
Muhammad Syakir Sula, “Kinerja
Asuransi Tahun 2002”, dalam www.modalonline.com.
Selasa, 14 Januari 2003.
Nabih Ghattas, Mu’jam Mushthalahat Al-Iqtishad wa Al-Mal wa
Idarat Al-A’mal, ( Beirut: Maktabah Lubnan, 1985), cet, II.
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992), Cet, I.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. ( Jakarta:
Balai Pustaka, 1986).
Wahab Abdul Muhbib, Asuransi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Hadis, Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, Cet. I, 2003.
[3] Nabih Ghattas, Mu’jam
Mushthalahat Al-Iqtishad wa Al-Mal wa Idarat Al-A’mal, ( Beirut: Maktabah
Lubnan, 1985), cet, II.
[5] Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Pasal 246.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi
dalam Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[8] Radiks Purba, Op. Cit.
[9] Bey Sapta Utama, Loc. Cit.
[10] Fathurrahman Djamil, Metode
Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet, I.
[11] Ibid
[12] Ali Yafie, Asuransi dalam
Syariat Islam, Makalah Diskusi dalam Forum “Kajian Agama Majelis Sunday”,
Jakarta 31 Juli 1994.
[13] Radiks Purba, Op, Cit.
[14] Abu Al-Fadhl Hani ibn Fathi Ali Hadidu, Al-Ta’min: Anwa’uhu Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al-Ahama, 1997).
[15] www.pesantren.net., Loc. Cit.
[16] Muhammad Syakir Sula, “Kinerja Asuransi Tahun 2002”, dalam www.modalonline.com. Selasa, 14 Januari
2003.
[17] Warkum Sumitro, Op. Cit.
[18] Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Op.
Cit.
[19] Fathurrahman Djamil, Op. Cit.
No comments:
Post a Comment