Wednesday, March 20, 2013

ASURANSI SYARIAH


TAKAFUL
( ASURANSI SYARIAH )


I.              Pendahuluan
Salah satu aspek ajaran Islam yang belakangan ini mendapat perhatian dan pengkajian cukup intens di kalangan akademis dan praktisi Muslim adalah ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mayoritas umat Islam tergolong berekonomi menengah ke bawah, sementara itu ajaran Islam tentang ekonomi dinilai dapat memberikan perspektif luas dan solusi alternatif. Jika ajaran ini dipahami dan diaplikasikan secara profesional, maka akan bermuara pada terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi bagi semua. Selain itu fundamental ekonomi yang kuat juga merupakan faktor utama bagi peningkatan kualitas hidup dan sumber daya manusia Muslim di Indonesia.
Konsep ekonomi Syariah di Indonesia memang belum terlalu lama mewacana dan beroperasi. Kini konsep tersebut sedang dalam proses eksperimentasi dan revitalisasi. Proses ini memang sarat dengan “taruhan” masa depan umat Islam. Sebagai perbandingan, pada awal didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990-an, banyak kalangan meragukan kemungkinan bank ini dapat bertahan di tengah persaingan ketat dengan bank-bank konvensional. Namun, fakta yang ada berbicara lain, sementara bank-bank konvensional collapse akibat berbagai skandal (seperti BLBI) dan kekurangan CAR (rasio kecukupan modal), lalu banyak yang kemudian harus dimerger, BMI tetap survive dan tegar. Konsep bank Syariah, yang lebih banyak disemangati oleh nilai-nilai dan etika bisnis dalam Islam, mulai banyak dilirik oleh banyak pihak. Tidaklah mengherankan jika kemudian bank-bank konvensional pun membuka dan menawarkan produk layanan perbankan berdasarkan Syariah, seperti Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Demikian pula keberadaan asuransi Islam atau asuransi Syariah di Indonesia diniscayakan dapat memberikan prospek yang cerah bagi perekonomian umat Islam di Indonesia.
Kontroversi di kalangan ulama Islam mengenai hukum asuransi akan dijelaskan, begitu juga tujuan asuransi, macam-macam asuransi dan sejarah.

II.            Pembahasan
Pengertian asuransi:
Asuransi dalam bahasa Indonesia  berasal dari bahasa Inggris insurance atau berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda digunakan istilah insurance dan assurance dengan pengertian yang kurang lebih sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi kerugian, sedangkan istilah assurance digunakan untuk asuransi jiwa.[1]  Kata ini lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata pertanggungan. Dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan ta’min dan dhaman yang secara etimologis kedua kata terakhir berarti memberi rasa aman, memberi rasa perlindungan, dan memberi jaminan[2].
Asuransi juga didefinisikan sebagai akad (perjanjian) yang salah satu dari kedua belah pihak yang berakad berjanji, yaitu penanggung akan menerima premi dengan membayarkan sejumlah uang yang telah disepakati kepada pihak lain yaitu tertanggung sebagai kompensasi dari kerugian, keelakaan, musibah yang menimpanya, dengan nilai tanggungan tertentu sesuai dengan kesepakatan[3].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), asuransi adalah pertanggungan atau perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberi iuran, pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran itu, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuat.[4]
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, asuransi adalah persetujuan di mana pihak yang menanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang ditanggung sebagai akibat suatu peristiwa yang belum terang akan terjadinya.[5]
Musthafa Al-Zarqa mendefinisikan asuransi sebagai sistem perikatan yang didasarkan atas negosiasi, tujuannya adalah kerja sama untuk mengganti kerugian melalui lembaga tertentu yang melangsungkan transaksinya secara artistik berdasarkan prinsip-prinsip.
Menurut Faishal Al-Mawlawi asuransi adalah akad antara dua pihak yang salah satunya mengharuskan membayar kepada pihak kedua sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang dideritanya disebabkan oleh suatu peristiwa sesuai dengan transaksi.[6]
Dari beberapa definisi tersebut dia atas, dapat dipahami bahwa asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang bertransaksi dan terikat oleh suatu akad dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara di angsur. Kedua, pihak menanggung yang akan berjanji membayar sejumlah uang atau mengganti kepada pihak tertanggung sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum terjadi, dan jenis peristiwa itu disepakati oleh kedua belah pihak.
Jika dikaitkan dengan Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan moral, maka asuransi Islam didefinisikan sebagai akad atau perjanjian kesepakatan bersama antara sekumpulan orang untuk saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka, yang operasionalisasinya dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Dalam hal ini ada dua konsep dasar yang dalam perusahaan asuransi Islam yaitu: al-takaful (saling memberi perlindungan) dan al-Mudharabah (konsep bagi hasil). Dari sini dapat dipahami bahwa perusahaan asuransi Islam dapat digambarkan sebagai syarikat perongsian untung rugi antara perusahaan dengan nasabahnya, yang mana kedua belah pihak bersepakat untuk saling menjamin (dalam bentuk finansial) atas kematian, kecelakaan, kebakaran, kehilangan atau kerusakan harta benda yang mungkin menimpa salah satu nasabahnya.[7]

Tujuan Asuransi:
Asuransi mempunyai beberapa tujuan. Secara umum asuransi bertujuan untuk mengembalikan tertanggung kepada posisi semula atau untuk menghindarkan tertanggung dari kebangkrutan, sehingga ia masih mampu berdiri, seperti sebelum menderita kerugian. Dengan kata lain, asuransi bertujuan mengalihkan atau berbagi risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh orang ain, antara penderita musibah dan perusahaan asuransi. Jadi tujuan tertanggung untuk menutup asuransi adalah untuk memperoleh rasa ketentraman dari risiko yang dihadapinya atas kegiatan usahanya atau atas harta miliknya dan untuk mendorong keberaniannya menggiatkan usaha yang lebih besar, karena risiko yang besar itu diambil alih oleh penanggung.[8]
Kalau dalam konteks Islam asuransi lebih berorientasi pada kepentingan bersama, bukan semata-mata perusahaan asuransi, karena konsep dasar yang dikembangkan adalah prinsip-prinsip kerja sama, proteksi, dan saling bertanggungjawab. Selain menerapkan konsep berbagi risiko, asuransi Islam juga bertujuan menyantuni peserta yang menderita kerugian melalui dana kelompok yang dikumpulkan. Dana yang terkumpul juga untuk diinvestasikan sesuai dengan kaidah investasi islam, dan hasilnya dibagikan kembali kepada peserta sesuai dengan prinsip mudharabah.[9]
Tujuan asuransi Islam tersebut sesuai dengan perintah ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
Artinya: “ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan taqwa, janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (QS Al-Maidah, 5:2).

Macam-Macam Asuransi:
Asuransi kerugian: berkaitan dengan risiko-risiko selain terdapat pada jiwa, seperti asuransi kecelakaan, kebakaran, kecurian, huru-hara, bencana alam, dsb. Singkatnya pertanggungan dalam asuransi ini adalah benda, barang atau materi yang dapat dinilai dengan uang.
Asuransi jiwa: asuransi dimana yang dipertanggungkan adalah kerugian-kerugian ekonomi atau keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa atau karena usia lanjut.
Asuransi sosial: yang bertujuan menjamin anggota keluarga, jika kepala keluarga meninggal atau bertujuan menabung yang kelak hasilnya akan diambil setelah orang itu tidak ada atau berusia lanjut.[10]
Asuransi komersial: asuransi yang berorientasi kepada perolehan keuntungan finansial yang meliputi asuransi angkatan laut yang memberi proteksi kapal,tongkang dan alat-alat pengangkut yang berlayar melalui laut beserta muatannya. Asuransi angkutan udara yang memberi proteksi kepada pesawat udara beserta muatannya. Asuransi angkatan darat. Asuransi antariksa yang memberi proteksi kepada peluncuran satelit, asuransi kebakaran, kecelakaan diri, jiwa, kredit, keuangan, dsb.[11]
Asuransi sosial: pada umumnya bergerak di bidang kesehatan dan asuransi tenaga kerja. Asuransi kesehatan memberikan proteksi kesehatan kepada para nasabah, sedangkan asuransi tenaga kerja memberi proteksi keselamatan kerja dan jaminan hari tua kepada para nasabahnya.
Asuransi kerugian: asuransi yang jaminannya didasarkan atas kemungkinan kerugian maksimal yang diderita oleh tertanggung, bila risiko yang tidak diduga atau tidak diketahui sebelumnya, benar-benar terjadi. Asuransi ini meliputi asuransi pengangkutan ( laut, sungai, pedalaman, darat, dan udara), asuransi kebakaran dan asuransi varia (aneka) seperti asuransi kendaraan bermotor, pengiriman uang, penyimpanan uang, asuransi kehilangan dsb.
Asuransi sejumlah uang: asuransi yang jaminannya dinyatakan dalam sejumlah uang ( bukan berdasarkan kerugian yang mungkin diderita ). Asuransi ini meliputi asuransi jiwa, kecelakaan diri, tenaga kerja, dll.

Sejarah Singkat Asuransi Islam:
Pada abad pertengahan asuransi kebakaran mulai dikenal. Sekitar abad ke 13 dan 14 asuransi pengangkutan laut mulai berdiri dan berkembang. Tampaknya perhubungan melalui laut yang menghubungkan berbagai belahan dunia saat itu mengalami perkembangan pesat dan merupakan salah satu pendorong bagi perkembangan asuransi laut, sehingga menjadi hal yang biasa di Eropa Barat.[12] Memang jaminan atas bahaya laut yang dialami dalam pelayaran terasa sangat dibutuhkan sejak masa kruistochten, yaitu pengiriman tentara Kristen dari berbagai negara Eropa Barat ke Palestina untuk merebut kota Jerussalem dari tangan tentara Islam (Perang Salib, 1096-1291 M).[13]
Pada abad ke 16 M, asuransi laut mengalami perkembangan sangat pesat. Kapal-kapal dagang yang mengangkut berbagai komoditas banyak diasuransikan. Ide pengasuransian ini muncul karena kapal-kapal saat mengahadapi berbagai ancaman dan bahaya. Para pemilik komoditas kemudian sepakat untuk saling bekerjasama dalam membayar asuransi (biaya penjaminan) terhadap keselamatan kapal-kapal mereka. Sejak itulah kemudian berdiri beberapa perusahaan asuransi.[14]
Dibandingkan dengan sejumlah negara bahkan negara yang mayoritas penduduknya non muslim keberadaan asuransi Islam (takaful) di Indonesia tergolong terlambat. Di Luxemburg, Genewa dan Bahamas misalnya, asuransi takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang mayoritas penduduknyya Muslim, keberadaannya jauh lebih lama, seperti di Sudan (1979), Arab Saudi (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984), dan Brunei Darussalam (1992).[15]
Menarik digaris bawahi bahwa tujuan utama perusahaan asuransi dewasa ini adalah keuntungan. Adapun ide tolong-menolong hanyalah sekadar untuk memberi kepuasan terhadap orang lain. Karena itu, berdirinya perusahaan asuransi syariah dipandang dapat memberikan angin segar bagi perekonomian umat Islam agar terbebas dari unsur riba dan gharar.
Asuransi Islam di Indonesia diresmikan dan mulai beroperasi pada masa Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan B.J Habibie sebagai Ketua Umum ICMI tahun 1995. Media masa dan kalangan praktisi asuransi saat itu berkomentar bahwa telah lahir bayi raksasa asuransi syariah. Namun, tidak sedikit pula yang pesimis dan skeptis terhadap keberadaan asuransi ini. Hingga tahun 2002 kinerja asuransi syariah memang belum mampu membuktikannya sebagai bayi raksasa. Ia hanyalah bayi biasa yang lahir dan tumbuh sehat.[16]

Hukum Asuransi Menurut Ulama:
Ada 4 ulama Islam yang mempunyai pendapat berbeda mengenai hal ini. Pertama, ada ulama yang membolehkan secara mutlak melakukan asuransi. Jadi, asuransi hukumnya mubah. Ulama-ulama tersebut adalah Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Muhammad Al-Bahy, Muhammad Yusuf Musa, Abd Al-Wahab Khalaf, Abd Al-Rahman Isa, dan Muhammad Nezzatullah Shiddiqi.
Kedua, ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu mengharamkan secara mutlak melakukan suransi. Jadi, hukumnya haram. Ulama-ulama tersebtu adalah Isa Abduh, Sayyid Sabiq, Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Bakhit Ala-Mu’thi dan Yusuf Al-Qardhawi.
Ketiga, pendapat yang membedakan beberapa kategori asuransi, sehngga ada asuransi yang dipandang haram dan ada pula yang dipandang boleh. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah ibn Zaid Ali Mahmud dan Muhammad Abu Zahrah.
Keempat, kelompok ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi termasuk syubhat (samar-samar) karena tidak ada dalil-dalil agama yang secara jelas mengharamkan atau yang menhalalkan asuransi. Karena itu, sikap yang diambil adalah ihtiyath (berhati-hati) dalam berhubungan dengan asuransi.[17] 
Argumentasi yang dijadikan dasar bahwa asuransi itu boleh adalah:
1.    Dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak didapati nash yang secara tegas melarang asuransi.
2.    Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak: penanggung dan tertanggung.
3.    Asuransi dinilai menguntungkan kedua belah pihak.
4.    Asuransi merupakan akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
5.    Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyyah (semacam koperasi, usaha bersama) yang didasarkan atas prinsip-prinsip saling tolong-menolong.[18]

Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat asuransi itu haram:
1.    Asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam permainan judi. Singkatnya asuransi adalah perjanjian pertaruhan yang penuh spekulasi.
2.    Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian (jahalah dan gharar), karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah tertentu itu akan diberikan kepada pihak tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan memperoleh seluruhnya, tetapi mungkin juga tidak akan memperolehnya sama sekali.
3.    Asuransi mengandung riba. Karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya lebih besar dari premi yang dibayarkannya kepada perusahaan.
4.    Asuransi merupakan suatu usaha yang dirancang untuk meremehkan iradat Allah Swt.
Argumentasi ulama yang menyebut asuransi itu ada yang boleh dan ada yang haram:
Muhammad Abu Zahrah misalnya membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersil. Abdullah ibn Zaid membolehkan asuransi kecelakaan dan mengharamkan jiwa. Alasannya hampir sama dengan kelompok pertama dan kedua di atas, hanya saja ia mencari titik temu di antara keduanya.[19]
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Islam menolak asuransi? Jawabannya adalah bahwa asuransi termasuk persoalan muamalah yang sama sekali baru dan karena itu hukumnya harus dikembalikan pada kaidah ushul fiqih sbb:
Artinya: “Hukum asal dalam perikatan dan muamalah adalah sah, sampai adanya dalil yang menyatakan bahwa tindakan itu adalah batal”.
Dengan demikian, hukum asuransi menurut fiqih Islam pada dasarnya adalah mubah (boleh), kecuali jika terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam, seperti riba, gharar, spekulasi dan kecurangan atau ketidak adilan.

III.           Kesimpulan
Asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang bertransaksi dan terikat oleh suatu akad dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara di angsur. Kedua, pihak menanggung yang akan berjanji membayar sejumlah uang atau mengganti kepada pihak tertanggung sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum terjadi, dan jenis peristiwa itu disepakati oleh kedua belah pihak.
Jika dikaitkan dengan Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan moral, maka asuransi Islam didefinisikan sebagai akad atau perjanjian kesepakatan bersama antara sekumpulan orang untuk saling menjamin antara satu dengan lainnya dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka, yang operasionalisasinya dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Dalam hal ini ada dua konsep dasar yang dalam perusahaan asuransi Islam yaitu: al-takaful (saling memberi perlindungan) dan al-Mudharabah (konsep bagi hasil). Dari sini dapat dipahami bahwa perusahaan asuransi Islam dapat digambarkan sebagai syarikat perongsian untung rugi antara perusahaan dengan nasabahnya, yang mana kedua belah pihak bersepakat untuk saling menjamin (dalam bentuk finansial) atas kematian, kecelakaan, kebakaran, kehilangan atau kerusakan harta benda yang mungkin menimpa salah satu nasabahnya.
Ada juga beberapa ulama yang memfatwakan bahwa asuransi itu mubah, ada juga yang mengharamkannya, dan ada juga yang mubah dan yang haram.

Daftar Pustaka
Abdurrahman Yahya, Hukum Asuransi Menurut Islam, Bogor: Al-Azhar Press, Cet. I, 2008.
Abu Al-Fadhl Hani ibn Fathi Ali Hadidu, Al-Ta’min: Anwa’uhu Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al-Ahama, 1997).
Ali Yafie, Asuransi dalam Syariat Islam, Makalah Diskusi dalam Forum “Kajian Agama Majelis Sunday”, Jakarta 31 Juli 1994.
Faishal Al-Mawlawi, ­Nizham Al-Ta’min, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1984).
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet, I.
Hans Wehr, Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, (Beirut: Maktabah Lubhnan, 1980), Cet. III.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246
Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi dalam Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
Muhammad Syakir Sula, “Kinerja Asuransi Tahun 2002”, dalam www.modalonline.com. Selasa, 14 Januari 2003.
Nabih Ghattas, Mu’jam Mushthalahat Al-Iqtishad wa Al-Mal wa Idarat Al-A’mal, ( Beirut: Maktabah Lubnan, 1985), cet, II.
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992), Cet, I.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. ( Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
 Wahab Abdul Muhbib, Asuransi Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Konrad Adenauer Stiftung, Cet. I, 2003.


[1] Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992).
[2] Hans Wehr, Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah, (Beirut: Maktabah Lubhnan, 1980), Cet. III.
[3] Nabih Ghattas, Mu’jam Mushthalahat Al-Iqtishad wa Al-Mal wa Idarat Al-A’mal, ( Beirut: Maktabah Lubnan, 1985), cet, II.
[4] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. ( Jakarta: Balai Pustaka, 1986).
[5] Lihat, Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Pasal 246.
[6] Faishal Al-Mawlawi, ­Nizham Al-Ta’min, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1984).
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi dalam Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).
[8] Radiks Purba, Op. Cit.
[9] Bey Sapta Utama, Loc. Cit.
[10] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet, I.
[11] Ibid
[12] Ali Yafie, Asuransi dalam Syariat Islam, Makalah Diskusi dalam Forum “Kajian Agama Majelis Sunday”, Jakarta 31 Juli 1994.
[13] Radiks Purba, Op, Cit.
[14] Abu Al-Fadhl Hani ibn Fathi Ali Hadidu, Al-Ta’min: Anwa’uhu Al-Mu’ashirah, (Damaskus: Dar Al-Ahama, 1997).
[15] www.pesantren.net., Loc. Cit.
[16] Muhammad Syakir Sula, “Kinerja Asuransi Tahun 2002”, dalam www.modalonline.com. Selasa, 14 Januari 2003.
[17] Warkum Sumitro, Op. Cit.
[18] Mushthafa Ahmad Al-Zarqa, Op. Cit.
[19] Fathurrahman Djamil, Op. Cit.

No comments:

Post a Comment