Negara,
Kelompok Etnis dan Konflik Sosial
Disusun oleh :
Ani Rahayu
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia adalah sebuah bangsa besar secara geografis dan kependudukan. Secara
geografis Indonesia terbentang dari ujung barat ke ujung timur, dari Sabang
hingga ke Merauke. Masing-masing wilayah tersebut memiliki variasi suku, etnis,
bahasa serta budaya. Masing-masing varian tersebut membentuk kelompok-kelompok,
misal kelompok suku, kelompok etnis yang kesemuanya itu merupakan detail-detail
dari kelompok sosial. Manusia sebagai makhluk sosial berinteraksi dengan
sesamanya membentuk kerjasama-kerjasama atau simbiosis. Adanya kelompok sosial
tersebut merupakan suatu hal yang lumrah yang berangkat dari atau yang
dihasilkan oleh pola interaksi sosial.
Di
negara kita ini, keberadaan kelompok-kelompok etnis tumbuh subur dan
berkemabang demikian rupa. Sebut saja, oraganisasi-organiasasi yang berlebelkan
daerah asal yang merupakan perwujudan dari pengelompokan etnis di suatu
wilayah. Misal: Ikatan Keluarga Bone juga Ikatan Keluarga Makassar perwujudan
dari kelompok etnis bugis, dan masih banyak lagi lainnya, diantaranya
perwujudan kelompok etnis melayu dan tionghoa.
Selain
menghasilkan kelompok sosial yang salah satu diantaranya adalah kelompok etnis
(detail yang kita bahas dalam makalah ini), interaksi sosial juga adakalanya
menghasilkan konflik. Timbulnya konflik bermula dari adanya interaksi sosial.
Jenis konflik berbeda-beda, sesuai dengan penyebab yang berbeda pula misalnya
konflik karena ketegangan sosial atau kecemburuan sosial yakni etnis tertentu
dalam banyak hal lebih unggul dari etnis lainnya.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam
membicarakan negara serta komponen yang masuk di dalamnya, tentu tidak lepas
dari pembicaraan masalah sosial karena manusia sebagai komponen dasar negara
adalah zoon politicon. Berbicara
tentang masalah sosial tentu saja banyk sekali materi yang dapat diangkat untuk kemudian dibahas lebih lanjut. Namun
dalam makalah ini, saya saya hanya membatasi permasalahan seputar tema pokok “Negara, Kelompok Etnis dan Kelompok Sosial”,
berangkat dari pertanyaan-pertanyaan berikut di bawah ini:
- Bagaimana konsep dasar tentang negara yang meliputi apa hakekat negara?, bagaimana mula terbentuknya?
- Selama ini kita sering mendengar istilah etnis. Apa sebenarnya etnis ini ?
- Setelah cukup sering mendengar istilah etnis, kita juga tidak jarang mendengar isu-isu konflik sosial yang sekitar 2 tahun lalu santer terdengar di berbagai wilayah Indonesia, yang menurut informasi burung melibatkan kelompok-kelompok etnis lokal terkait. Bagaimana bisa terjadi konflik? Mengapa melibatkan kelompok etnis?
- Sejauh mana peranan kelompok etnis dalam terjadinya konflik ?
- Ada keterkaitan apa dengan negara, kelompok etnis dan konflik sosial ?
BAB III
PEMBAHASAN
A. KONSEPSI DASAR
Sebelum
membahas lebih jauh mengenai negara,
kelompok etnis dan konflik sosial bijak kiranya bagi kita untuk mengetahui
terlebih dahulu tentang pengertian dan segala konsep dasar lainnya berkenaan
dengan negara, kelompok etnis dan konflik
sosial.
1.
Konsep Dasar Tentang Negara
Kata “negara” yang akrab di telinga kita saat ini,
perlu diketahui bahwa ia berasal dari kata
staat, state, etat diambil dari bahasa latin statusm yang berarti keadan yang tegak[1].
Sedangkan secara terminologi negara ialah organisasi tertinggi diantara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam
daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Negara ini sekurang-kurangnya harus
memenuhi 4 unsur mendasar (syarat) sehingga ia dapat di sebut sebagai negara,
yaitu : adanya rakyat, adanya wilayah, adanya pemerintahan dan adanya kedaulatan.
Negara yang telah terbentuk, maka seiring perkembangannya ia akan masuk dalam
salah satu dari 2 bentuk negara dalam konsep dan teori modern saat ini yaitu
1) Negara kesatuan yang terbagi atas sistem
sentralisasi dan desentralisasi.
2) Negara serikat atau federasi.
Menurut saya, bentuk pemerintahan suatu
negara, pada hakekatnya tak lepas dari tinjauan kerakyatan (karakteristik
rakyat serta keanekaragamannya). Hal inilah yang kemudian akan saya bahas lebih
lanjut dalam makalah ini.
2. Konsep Dasar Tentang Etnis
Pada dasarnya rakyat yang menghuni
suatu negara tidaklah homogen melainkan heterogen, keadaan seperti ini dalam
sosiologi disebut diferensiasi yaitu pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam golongan-golongan atau atau kelompok secara horizontal[2]. Perwujudannya adalah penggolongan
penduduk atas dasar perbedaan dalam hal-hal yang tidak menujukkan tingkat,
seperti profesi, klan, etnis, agama, jenis kelamin dan sebagainya. Satu hal
yang menarik bagi saya untuk dibahas dari sekian perwujudan diferensiasi ini
ialah mengenai etnis. Manusia gemar berkelompok secara etnis dan membentuk
suatu kekuatan dalam negara di berbagai bidang, diantaranya etnis melayu, etnis
tionghoa dan sebagainya.
3. Konsep Dasar Tentang Konflik
Apabila suatu keadaan tidak lagi
tentram, terdapat pertentangan, menimbulkan keresahan, kegelisahan sosial
(social unrest). Dapat dipastikan bahwa sedang terjadi apa yang disebut dengan
konflik. Dalam ilmu sosiologi, konflik sosial yaitu keadaan masyarakat yang
dilanda pertentangan akibat hubungan yang tidak serasi antara tindakan, norma
dan nilai sosial dalam interaksi sosial. Di atas, saya katakan bahwa sifat rakyat
suatu negara adalah heterogen. Keadaan yang heterogen ini berpeluang
menimbulkan konflik,bila satu sama lain penduduk kurang bijak menyikapinya.
Suatu
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang masing-masing mempunyai sejumlah
kepentingan-kepentingan. Tabrakan kepentingan selalu bisa terjadi yang dapat
menimbulkan perselisihan dan pertikaian, sehingga mengakibatkan gangguan
terhadap keamanan umumnya dan ketertiban masyarakat khususnya. Perkembangan
sosial ekonomi, kepadatan penduduk yang sangat tinggi di daerah-daerah tertentu
dan sangat rendah di daerah-daerah lainnya mengandung pula permasalahan yang
relatif permanen yang juga bisa menyulut terjadinya konflik. Jadi, penyebab
konflik beraneka ragam meliputi banyak hal.
B. KEBERADAAN KELOMPOK ETNIS DALAM
NEGARA
Agar
dapat berdiri kokoh dalam berbagai bidang percaturan, percaturan perekonomian,
percaturan kebudayaan, percaturan politik dan sebagainya, maka dibentuklah
kelompok-kelompok oleh rakyat suatu negara di negara yang bersangkutan. Kelompok adalah sejumlah orang yang
mempunyai hubungan satu dengan yang lain serta mempunyai struktur. Struktur
adalah susunan intern yang memungkinkan kontinuitas (kelanjutan hidup) dan
pelaksanaan fingsi.
Adakalanya
kelompok itu dibentuk demi mempertahankan keberadaan dirinya (eksistensi) yang
memang telah kuat dalam arti telah dikenal, telah menguasai sektor-sektor
penting kehidupan dalam negara dan kelompok lainnya melakukan pengelompokan
agar ia dikenal karena sebelumnya, secara kualitas ia minoritas. Maksud minoritas
di sini ialah kelompok ini senantiasa berada pada level bawah bidang kehidupan.
Misalnya, kelompok ini umumnya bertindak sebagai buruh dalam percaturan
perekonomian (perdagangan) atau sebagai petani/pedagang kecil. Dalam kancah
perpolitikan tidak banyak dari kelompok ini yang dapat menduduki
jabatan-jabatan penting kepemerintahan. Salah satu macam kelompok yang sering
kita dengar dalam kehidupan ini diantaranya kelompok etnis.
Bila
dilihat dari sejarah panjang bangsa Indonesia, sebenarnya awal mula pengelompokan
tersebut selain didasari atas rasa kebersatuan sesamanya (etnis yang sama) juga
diperkuat dengan kebijakan pemerintahan penjajah Belanda ketika menguasai
bangsa Indonesia. Ketika itu struktur masyarakat Hindia Belanda didasarkan atas
pembagian rasial (etnis) yaitu kelompok Eropa (Belanda), dan kelompok pribumi
atau Inlander, kelompok Timur Asing
(termasuk di dalamnya orang-orang Tionghoa dan Arab juga India). Tiap kelompok diatur dengan undang-undang yang
berbeda serta mempunyai hak yang berbeda pula. Misalnya untuk maksud-maksud
hukum, orang Tionghoa dianggap “penduduk asli”, serta tunduk kepada hukum untuk
pribumi akan tetapi di samping itu, mereka juga dianggap sebagai “non pribumi”.
Contoh riil bentuk pengelompokan etnis lainnya pada masa silam seperti yang
disebutkan oleh Susanto Tirtoprodjo yaitu Budi Utomo yang dipimpin oleh dr.
Wahidin adalah sebuah organisasi sosial-politis dari golongan priyayi dan
bertujuan untuk memajukan kebudayaan dan status ekonomi suku Jawa.
Keanggotaannya terbatas pada orang Jawa dan penduduk asli di Pulau Jawa dan
Madura[3].
Kendatipun
dengan munculnya istilah/nama kelompok-kelompok itu dirasakan sebagai
ketidakadilan, karena dengan keadaan yang demikian mengakibatkan perbedaan
perlakuan atas kelompok bersangkutan. Namun harus diakui, keberadaan
kelompok-kelompok ini sangat penting dalam negara. Di negara besar seperti
Indonesia ini, dalam pengertian besar bukan hanya secara geografis yang luas
dan terpisah-pisah tetapi juga besar tingkat keanekaragaman suku bangsa,etnis dan
lain-lain. Lebih lanjut, tiap-tiap suku bangsa dan etnis tersebut memiliki
keberbedaan karakter, tentu saja bukan hal yang mudah untuk bisa mengatur
mereka (rakyat Indonesia) secara keseluruhan. Sebagaimana dosen yang ingin
secara maksimal membantu mahasiswa dalam pemahaman atas suatu ilmu maka dosen
tersebut seyogyanya mengerti karakteristik mahasiswanya. Begitupun presiden
serta jajaran pejabat tinggi kenegaraan lainnya perlu memahami terlebih dahulu
karakteristik rakyatnya sebelum memberikan pemahaman atas kebijakan-kebijakan
demi tercapai visi serta misi ke depan bangsa. Dengan keterbatasan penjangkauannya,
tidaklah mungkin seorang pejabat bisa memahami segenap rakyatnya yang beraneka.
Maka, disinilah letak usgensinya kelompok-kelompok etnis, karena tiada lain yang
bisa lebih memahami dengan baik karakter etnis tertentu selain etnis itu
sendiri. Menyampaikan maksud kepada perorangan yang memiliki kuasa atas
kelompok dirasa lebih mudah bagi seorang pemimpin, kemudian perorangan tersebut
menyampaikan kepada kelompok dengan style
dan timing yang tepat dengan
pertimbangan aspek karakter daripada harus menyampaikan langsung pada
massa/kelompokbelum tentu dapat menerima dengan baik atas informasi yang
disampaikan. Jadi, disini kelompok etnis berperan dalam efektifitas komunikasi
antara pemerintah dan rakyat.
C. TERJADINYA KONFLIK SOSIAL
Berdasarkan realita dalam kehidupan ini,
maka Green seorang penulis buku sosilogi bisa mengklasifikasikan konflik pada
dua jenis yaitu konflik terbuka atau terang-terangan (overt) dan konflik latien
yakni konflik yang berjalan secara tidak terang-terangan. Konflik, lumrah
terjadi sebagai alur alamiah kehidupan yang berangkat dari interaksi sosial.
Dalam proses sosial (dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik, dalam hal ini
kelompok dengan kelompok) terdapat dua kekuatan dasar yang kontradiktif satu
sama lain yaitu :
1. Kekuatan sentrifugal (mendekatkan satu
sama lain), melahirkan proses interaksi sosial koperasi (co-operation) ialah kerjasama yang dimaksudkan untuk tujuan
bersama. Ada berbagai macam cara bekerja sama, Karl Bucher membaginya dalam
tiga hal yaitu :
Koalisi (kerjasama berkawan), gesselinearbeit.
Kerjasama suplementer, arbeits haufung.
Kerjasama berdiferensiasi, arbeits verbindung.
Dalam kelompok kerjasama-kerjasama di
atas, pelaku-pelaku di dalamnya adalah
plural dalam hal etnis, suku ras, agama dan sebagainya. Jadi bisa disebut
dengan kerjasama pluralitas. Suatu hal penting bagi mereka, cukup memiliki
tujuan yang sama saja walau berbeda etnis, ras, agama dan sebagainya bukan
masalah.
Penulis bisa tambahkan bahwa
dengan menganalisa realita kehidupan ini maka penulis menemukan bentuk atau
cara kerjasama lain selain yang dikemukakan Karl Bucher yaitu kerjasama
singularitas, maksudnya keanggotannya bersifat singular, misalnya satu etnis
saja, atau satu agama saja dan sebagainya, namun dalam hal bidang kerjasama, cakupannya
lebih luas daripada cakupan bidang ketiga bentuk kerjasama di atas. Dari sini
dapat saya simpulkan bahwa pengertian kelompok etnis berbeda dengan pengertian
kelompok sosial, kelompok etnis adalah bagian dari kelompok sosial.
Pada dasarnya, kerjasama dimaksudkan
untuk mencapai keuntungan, yang dapat dirasakan tiap-tiap anggota dalam
lingkaran kerja sama tersebut. Namun seiring berkembangnya zaman. Beberapa
bentuk kerjasama tidak lagi berasaskan bentuk hidup bersama yang diliputi kasih
sayang melainkan sebaliknya, kerjasama dibentuk berasaskan untung rugi,
sehingga rentan menimbulkan konflik. Ferdinant Tonis (Jerman) mengemukakan
dalam bukunya “Gemenschaff und Gesselchaff” bahwa community, persekutuan,
paguyuban ia samakan dengan atau ia sebut sebagai gemenschaff. Dengan
gemainschaff dimaksudkan suatu perikatan manusia dengan perasaan bersatu yang
kuat, solidaritas yang tinggi serta tahan lama. Sedangkan society, masyarakat
dan pergaulan ia sebut sebagai gesselchaff yang kental dengan perhitungan
untung ruginya.
Bila berpegang pada teori Tonis, maka
bentuk kerjasama atau bentuk persatuan seperti paguyuban masyarakat Lamongan,
ikatan keluarga Bone, persatuan melayu adalah bentuk dari gesselchaff bila
dilihat dari intern kelompok. Namun, bila kita melihat dari sudut pandang
kelompok satu terhadap kelompok lain maka ia adalah gemainschaff, kelompok
etnis satu dan kelompok etnis lainnya berkompetisi dalam dunia sosial. Pada
posisi demikian, keberadaan kelompok ini berpeluang menyulut konflik.
Sebagai contoh, wilayah pemukiman di
pulau Jawa telah amat padat, sedangkan di pulau Kalimantan masih banyak lahan
luas yang dapat dijadikan tempat pemukiman serta peluang usaha pun asih terbuka
lebar. Hal ini tidak sesuai dengan
jumlah pendudukKalimantan yang sangat jauh lebih sedikit dari jumlah penduduk
Jawa, maka Pemerintah melakukan proyek pemerataan penduduk. Sebagian dari
penduduk Jawa ditransmigrasikan ke Kalimantan. Keadaan demikian ini mengancam
eksistensi penduduk lokal/etnis lokal sehingga baik disadari atau tidak
disadari telah tertanam dalam pemikiran mereka (etnis lokal) untuk sedapat
mungkin menekan kesuksesan transmigran yang selanjutnya berujung pada
pertikaian antar etnis, konflik antar etnis. Dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa penyebab terjadinya konflik karena adanya upaya mempertahankan
eksistensi etnis okal yang tidak mau dengan mudah tersaingi oleh etnis
pendatang. Awal mula terjadinya konflik pada umumnya berupa sengketa tanah. Kekuatan
sentripetal (mejauhkan atau memisahkan satu sama lain) melahirkan proses
interaksi yang disebut konflik. Konflik adakalanya berupa :
Konflik intra kelompok yaitu konflik yang muncul
dikemudian hari setelah terlebih dahulu diadakan koperasi (kerjasama), ternyata
dalam perjalanannya dalam kelompok yang
berkoperasi ini terjadi perselisihan maka terjadi konflik intra kelompok, baik
dalam yang pluralitas ataupun dalam kelompok yang singularitas.
Konflik antar kelompok yaitu perselisihan yang
muncul anatar dua kelompok berbeda atau lebih, bisa didahului dengan koperasi
antara satu dan lainnya atau tanpa didahului koperasi. Bila perselisihan
tersebut tanpa didahului koperasi ada kemungkinan dahuluny kelompok-kelompok
ini tidak ada hubungan apa pun, tidak kerjasama, tidak pula saling benci atau
dendam atau mungkin sebaliknya kelompok-kelompok ini telah memiliki rasa benci
dan dendam dari hulunya.
Di atas tadi, penulis menyebutkan masalah sengketa tanah. Sengketa tanah
ini bentuk mula konflik yang lazim kita temui di daerah-daerah pedalaman
kawasan berpenduduk minim. Sengketa selain terjadi antar etnis, juga dapat
terjadi anatara pemerintah dan kelompok etnis yang dimana kelompok etnis
berpendapat bahwa tanah mereka adalah adat, pihak pemerintah bersikera lahan
tersebut milik negara. Permasalahan lahan seringkali berjalan berlarut-larut
sehingga tidak jarang terjadi peperangan bersenjata.
Penyebab
lain selain mempertahankan eksistensi etnis lokal dalam hal wilayah adat, ialah
kecemburuan sosial. Etnis tertentu dipandang oleh etnis lainnya sebagai etnis
yang selalu dominan dalam berbagai bidanag kehidupan dan dapata dengan mudah
meraih kesuksesan. Hal seperti ini juga bisa berakibat pada konflik yang berkepanjangan.
Kelompok
etnis hanyalah satu dari bagian-bagian yang dapat memicu timbulnya konflik
sosial. Selain karena adanya faktor etnis, konflik sosial juga bisa terjadi
karena adanya lain seperti ekonomi dan agama. Walaupun sebenarnya tidaklah etis
kiranya membawa-bawa agama dalam perkara konflik. Namun sepertio itulah
kenyataan yang kita dapatkan di lapangan.
Konflik
yang telah terjadi berlarut-larut membangkitkan munculnya cara interaksi sosial
yang lain yaitu akomodasi. Akomodasi ialah suatu cara interaki sosial untuk
meredam terjadinya pertikaian yang berlangsung secara terus menerus.
Berakhirnya pertikaian diantara kelompok tersebut ditandai dengan working
relationship, yang kemudian disebut dengan akomodasi. Oleh karena itu akomodasi
dapat disebut sebagai bagian akhir dari konflik[4]. Tapi, tidak selamanya bahwa bentuk-bentuk interaksi
sosial itu selalu terjadi mengikuti aturan-aturan terurut koperasi, kompetisi
kemudian konflik dan berakhir dengan akomodasi.
BAB IV
PENUTUP
Salah
satu unsur pembentuk negara adalah rakyat. Kondisi strategis bumi Indonesia
yang terbentang dari barat ke timur, dari Sabang ke Merauke mengandung
faktor-faktor penentu budaya yang sifatnya relatif permanen, ia adalah
keanekaragaman suku bangsa, etnis, budaya, serta bahasa. Yang demikian banyak variasinya menimbulkan
karakter-karakter etnis yang berbeda pula. Manusia sebagai zoon politicon cenderung melakukan pengelompokan. Kelompok adalah sejumlah orang yang
mempunyai hubungan satu dengan yang lain serta mempunyai struktur. Struktur
adalah susunan intern yang memungkinkan kontinuitas (kelanjutan hidup) dan
pelaksanaan fungsi. Salah satu jenis penglompokan tersebut yaitu pengelompokan
berdasarkan etnis. Tiap-tiap kelompok etnis di tiap-tiap wilayah negara
menginginkan kelompoknya maju dan eksis.
Perkembangan
sosial ekonomi, kepadatan penduduk yang sangat tinggi di daerah-daerah tertentu
dan sangat rendah di daerah-daerah lainnya mengandung permasalahan yang relatif
permanen serta sukar dicari solusinya. Ketika satu kebijakan diambil oleh
pemerintah menghindari kepincangan demografi. Penduduk lokal/etnis lokal
menyatakan keberatannya. Sehingga menyulut timbulnya konflik.
Kita
tidak perlu menyesali konflik yang tengah terjadi, karena konflik sebenarnya
merupakan bagian dari alur kehidupan yang berangkat dari adanya interaksi
sosial. Yang perlu kita lakukan ialah bagaimana bisa bijak menyikapi konflik,
sehingga mencegahnya berlarut-larut, berkepanjangan. Untuk itu kita perlu
meredam ego diri, tidak perlu kiranya etnis yang berwatak keras selalu dalam
kerasnya sehingga mengalahkan yang lemah dan tidak mau mengerti, terus mengotot melawan kebijakan pemerintah.
Penduduk bangsa yang beragam seperti Indonesia ini sepatutnya mampu memahami
karakter etnis demi menghindari konflik-konflik baru.
Kendatipun
kehadiran kelompok etnis cukup berpeluang memebri andil dalam mencuatnya
koflik, tapi ia juga dapat memberikan manfaat besar dalam efisiensi komunikasi
pemerintah dengan publik.
Suatu
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang masing-masing mempunyai sejumlah
kepentingan-kepentingan. Tabrakan kepentingan selalu bisa terjadi yang dapat
menimbulkan perselisihan dan pertikaian, sehingga mengakibatkan gangguan
terhadap keamanan umumnya dan ketertiban masyarakat khususnya. Oleh karena itu,
upaya penertiban masyarakat secara terus menerus akan merupakan kewajiban kita
bersama selaku komponen penting bangsa bersama pemerintah bidang hankamnas.
Daftar Bacaan
Dede Rosyada dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani,
ICCE UIN: Jakarta.
Dra. Sri Purwanti dkk, Sosiologi 1A, Seti-Aji : Surakarta.
Dr. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Grafiti Pers
: Jakarta.
Dra. Hj.
Hidajatul Hidajah M.Si, Peta Pemikiran
Sosiologi dan Perkembangannya, Surabaya: Putra Pelajar.
[1] Dede Rosyada dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani,
ICCE UIN: Jakarta,
[2] Dra. Sri Purwanti dkk, Sosiologi 1A, Seti-Aji : Surakarta,
[3] Dr. Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Grafiti Pers
: Jakarta,
[4] Dra. Hj. Hidajatul
Hidajah M.Si, Peta Pemikiran Sosiologi
dan Perkembangannya, Surabaya: Putra Pelajar,
No comments:
Post a Comment