Thursday, March 28, 2013

PEMBERDAYAAN HARTA WAKAF TIDAK BERGERAK


PEMBERDAYAAN HARTA WAKAF TIDAK BERGERAK

Di Indonesia, masalah penggalangan dana social masih menjadi persoalan yang sangat besar peranannya terhadap LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau CSO ( Civil Society Organosation). Karenanya ketergantungan terhada bantuan luar negeri menjadi tinggi. Di Indonesia, menunjukkan bahwa mayorita maih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang besarnya mencapai hingga 65%, sementara 35% sisanya didapat dari berbagai sumber dana dalam negeri. Hasil survey PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) di Indonesia menunjukkan pada sebelas kota di Indonesia menunjukkan tingkat rasio kemurahan hati masyarakat dalam bersedekah cukup tinggi yakni 96% untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan.
Sementara nilai perkapita pertahun mencapai Rp. 371 ribu untuk perorangan; Rp. 255 ribu untuk organisasi keagamaan; dan Rp. 233 ribu untuk organisasi selain keagamaan. Salah satu sumber dana yang potensial di Indonesia adalah dana umat, dana yang berkaitan dengan ajaran keagamaan atau berasal dari komunitas keagamaan. Potensi dana umat ini besar karena ajaran agama menjadi motivasi masyarakat untuk berdermawan. Hal tersebut terlihat dari jumlah penghimpunan ZIS, LAZ/ BAZ tahun 2001. Dompet Dhu’afa RI berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 12,5 milyar, BAZIZ DKI Jakarta sebesar Rp. 9,4 milyar, Baitulmal Muamalat sebesar Rp. 1,8 milyar ( belum termasuk himpunan dana bergulir).
Agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, tidk hanya mewajibkan penganutnya untuk membayar zakat, infak, tetapi juga menganjurkan penganutnya untuk memberi sedekah, wakaf, dan hibah sebagai infak sukarela. Tetapi sayangnya dana sukarela tersebut belum sepenuhnya dapat semuanya dikelola secara optimal terutama dana wakaf.

  1. Pemberdayaan Harta wakaf tidak Bergerak
Pemanfaatan wakaf tidak dapat dilepaskan dari bentuk harta yang diwakafkan. Menurut sejarah, pemanfaatan wakaf pada masa rasulullah masih sangat sederhana, karena karakteristik harta yang diwakafkan saat itu hamper seluruhnya berupa harta tetap seperti tanah dan bangunan. Pada masa Umayyah dan Abbasiyyah, pemanfaatan wakaf mulai berkembang seiring dengan perkembangan karakteristik wakaf saat itu. Menurut Hasan Langgulung, abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah, selain menjadi zaman kejayaan islam juga dipandang sebagai zaman keemasan wakaf.
 Pada saat itu wakaf meliputi berbagai benda, yakni masjid, mosholla, sekolahan, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, perniagaan, bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas rambut,  gudang beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur, dan lain-lain. Saat itu, harta wakaf tidak hanya dimanfaatkan untuk menyediakan layanan gratis, seperti masjid yang digunkan untuk beribadah, seklah gratis bagi yang tidak mempu, namun juga sebagai penghasil dana, seperti pusat perbelanjaan yang menghasilkan uang sewa.
Menurut catatan sejarah, wakaf dalam islam dari penghasilan yang diperoleh dari wakaf disalurkan untuk hal-hal sebagai berikut yaitu :
1.      Untuk masjid, yaitu penghasilan yang diperoleh dari wakaf digunakan untuk seluruh kegiatan masjid seperti gaji imam, guru-guru pengajar agama islam, khatib jum’at, dan lain sebagainya.
2.      Untuk pendidikan, bidang ini menempati urutan kedua dalam peneriman hasil wakaf. Dana wakaf untuk pendidikan biasanya meliputi perpustakaan, buku-buku, gaji para guru dan staf, beasiswa serta penelitian ilmiah. Salah satu contohnya  adalah Universitas Al-Azhar di kairo yang dibangun pada 972 H dengan pembiayaan hasil wakaf.
3.      Untuk orang-orang miskin, yaitu mereka yang membutuhkan, seperti yatim piatu, orang-orang dalam penjara dan lain sebagainy. Layanan kesehatan juga termasuk penerima hasil wakaf yang meliputi pembangunan rumah sakit dan biaya oara dokter, pekerja rumah sakit dan pasien. Salah satu contoh rumah sakit layanan kesehatan adalah rumah sakit anak-anak syisyli di Istambul, yang didirikan pada tahun 1898.
Kemudian seiring dengan kemunduran peradaban islam, korupsi mulai merebak hingga menyentuh harta wakaf. Keadaan ini mengundang campur tangan pihak pemerintah. Oleh karena itu, pada awal abad ke-19 masehi, pemerintah Turki Usmaniyyah membentuk kabineet khusus untuk menangani masalah wakaf, dan undang-undang yang mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf yang dikelurkan pada 29 November 1863 M. Kebijakan yang diambil pemerintahan Turki Usmaniyyah itu digunakan mengawasi dan mengembangkan harta wakaf yang ada saat itu, sehingga manfaatnya tetap dirasakan oleh masyarakat.
Pada era sekarang ini, kita melihat sebagian besar rumah ibadah, perguruan islam dan lembaga-lembaga keagamaan islam dibangun diatas tanah wakaf, dan tidak sedikit pula dana dari penghasilan wakaf disalurkan untuk kepentingan umat, seperti membantu fakir miskin, anak yatim, lembaga pendidikan dan layanan kesehatanbagi yang tidak mampu. Salah satu contohnya dana dari penghsilan wakaf dimanfaatkan untuk pendidikan ialah wakaf pondok modern gontor, di Jawa Timur dan salah satu layanan kesehatan Cuma-Cuma adalah LKC Dompet Dhu;afa yang bangunan dan operasionalnya dibiayai oleh dana ZISWAF.
Dengan demikian, wakaf dan segala manfaatnya telah menunjukan peranannya yang sangat penting dalam pembanguna masyarakat muslim sepanjang hidup. Hal tersebut tidak terlepas dari inti ajaran yang terkandung dalam wakaf itu sendiri, yakni semakin banyak manfaat harta wakaf dinikmati orang, maka semakin besar pula pahala yang mengalir kepada pihak yang berwakaf (wakif).[1]

  1. Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
Institusi atau lembaga pengelola wakaf pengertiannya berkaitan langsung dan tidak dipisahkan dari upaya-upaya produktif dari aset wakaf. Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang akan dinikmati oleh mawquf ‘alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi hukum fikih, pengembangan harta wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelolanya (nadzir).
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams al-Dien Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini dijelaskan tugas nadzir sebagai berikut: “kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun, mempersewakan, mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan hasilnya itu kepada pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya.”
Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh Manshur bin Yunus al-Bahuty (hal. 504-505) dijelaskan: “tugas nadzir wakaf adalah memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya, menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan.”[2]
Dalam UU No 41 Tahun 2004 Dijelaskan Tentang Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf yaitu dalam pasal-pasal berikut :[3]
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
Pasal 43
(1)    Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2)    Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3)    Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.
Pasal 44
(1)    Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf  Indonesia.
(2)    Izin sebagaimana ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1)        Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan :
a.       meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b.      bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-        undangan yang berlaku untuk Nazhirorganisasi atau Nazhir badan hokum;
c.       atas permintaan sendiri;
d.      tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.       dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
(2)        Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh baan wakaf  Indonesia.
(3)        Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan hartabenda wakaf yang ditetapkan dan tujuan sert fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 45 diatur dengan peraturan pemerintah. [4]

  1. Manajemen Dana Wakaf Produktif[5]
Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad.Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara historis, cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fikih, adalah dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan bangunan).
Ada beberapa bentuk penyewaan yang terdapat dalam konsep fikih:
1.      Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan mempersewakan harta wakaf, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal.
2.      Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal untuk membangun bangunan di atas sebidang tanah wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud. Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya.
3.      Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu, untuk membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis, selama ia masih mampu membayar sewa pasaran.
4.      Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia meminjami nadzir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang yang kemudian akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri.
5.      Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang bisa menghasilkan, misalnya dengan memodali pembangunan gedung yang kemudian dapat disewakan lagi.
6.      Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf di samping dengan mempersewakannya kepada pihak yang punya modal, juga mungkin dengan kerjasama muzara’ah.

DAFTAR  PUSTAKA

Tulus, Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta, DepartemenAgama RI, 2005.
........., Nazhir Profesional dan Amanah, Jakarta, Departemen Agama RI, 2005.
www.bpkp.go.id/arsip/41-04.pdf/29-03-2010


[1] Tulus, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam,( Jakarta : Departemen Agama RI, 2005) hlm.61-65.
[3] www.bpkp.go.id/arsip/41-04.pdf/29-03-2010

[4] Tulus, Nazhir Profesional dan Amanah, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 2005), hlm.185-187.

No comments:

Post a Comment