PEMBERDAYAAN HARTA WAKAF TIDAK BERGERAK
Di
Indonesia, masalah penggalangan dana social masih menjadi persoalan yang sangat
besar peranannya terhadap LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau CSO ( Civil
Society Organosation). Karenanya ketergantungan terhada bantuan luar
negeri menjadi tinggi. Di Indonesia, menunjukkan bahwa mayorita maih
mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang besarnya mencapai hingga 65%,
sementara 35% sisanya didapat dari berbagai sumber dana dalam negeri. Hasil
survey PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) di Indonesia
menunjukkan pada sebelas kota di Indonesia menunjukkan tingkat rasio kemurahan
hati masyarakat dalam bersedekah cukup tinggi yakni 96% untuk perorangan, 84%
untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan.
Sementara nilai perkapita pertahun mencapai Rp. 371
ribu untuk perorangan; Rp. 255 ribu untuk organisasi keagamaan; dan Rp. 233
ribu untuk organisasi selain keagamaan. Salah satu sumber dana yang potensial
di Indonesia
adalah dana umat, dana yang berkaitan dengan ajaran keagamaan atau berasal dari
komunitas keagamaan. Potensi dana
umat ini besar karena ajaran agama menjadi motivasi masyarakat untuk
berdermawan. Hal tersebut terlihat dari jumlah penghimpunan ZIS, LAZ/ BAZ tahun
2001. Dompet Dhu’afa RI berhasil menghimpun dana ZIS sebesar Rp. 12,5 milyar,
BAZIZ DKI Jakarta sebesar Rp. 9,4 milyar, Baitulmal Muamalat sebesar Rp. 1,8
milyar ( belum termasuk himpunan dana bergulir).
Agama Islam
yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, tidk hanya mewajibkan
penganutnya untuk membayar zakat, infak, tetapi juga menganjurkan penganutnya
untuk memberi sedekah, wakaf, dan hibah sebagai infak sukarela. Tetapi
sayangnya dana sukarela tersebut belum sepenuhnya dapat semuanya dikelola
secara optimal terutama dana wakaf.
- Pemberdayaan Harta wakaf tidak Bergerak
Pemanfaatan
wakaf tidak dapat dilepaskan dari bentuk harta yang diwakafkan. Menurut
sejarah, pemanfaatan wakaf pada masa rasulullah masih sangat sederhana, karena
karakteristik harta yang diwakafkan saat itu hamper seluruhnya berupa harta
tetap seperti tanah dan bangunan. Pada masa Umayyah dan Abbasiyyah, pemanfaatan
wakaf mulai berkembang seiring dengan perkembangan karakteristik wakaf saat
itu. Menurut Hasan Langgulung, abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah, selain menjadi
zaman kejayaan islam juga dipandang sebagai zaman keemasan wakaf.
Pada saat itu wakaf meliputi berbagai benda,
yakni masjid, mosholla, sekolahan, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik
roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, perniagaan, bazaar, pasar, tempat
pemandian, tempat pemangkas rambut,
gudang beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur, dan lain-lain. Saat
itu, harta wakaf tidak hanya dimanfaatkan untuk menyediakan layanan gratis,
seperti masjid yang digunkan untuk beribadah, seklah gratis bagi yang tidak
mempu, namun juga sebagai penghasil dana, seperti pusat perbelanjaan yang
menghasilkan uang sewa.
Menurut
catatan sejarah, wakaf dalam islam dari penghasilan yang diperoleh dari wakaf
disalurkan untuk hal-hal sebagai berikut yaitu :
1. Untuk masjid, yaitu penghasilan yang
diperoleh dari wakaf digunakan untuk seluruh kegiatan masjid seperti gaji imam,
guru-guru pengajar agama islam, khatib jum’at, dan lain sebagainya.
2. Untuk pendidikan, bidang ini menempati
urutan kedua dalam peneriman hasil wakaf. Dana wakaf untuk pendidikan biasanya
meliputi perpustakaan, buku-buku, gaji para guru dan staf, beasiswa serta
penelitian ilmiah. Salah satu contohnya
adalah Universitas Al-Azhar di kairo yang dibangun pada 972 H dengan
pembiayaan hasil wakaf.
3. Untuk orang-orang miskin, yaitu mereka
yang membutuhkan, seperti yatim piatu, orang-orang dalam penjara dan lain
sebagainy. Layanan kesehatan juga termasuk penerima hasil wakaf yang meliputi
pembangunan rumah sakit dan biaya oara dokter, pekerja rumah sakit dan pasien.
Salah satu contoh rumah sakit layanan kesehatan adalah rumah sakit anak-anak
syisyli di Istambul, yang didirikan pada tahun 1898.
Kemudian
seiring dengan kemunduran peradaban islam, korupsi mulai merebak hingga
menyentuh harta wakaf. Keadaan ini mengundang campur tangan pihak pemerintah.
Oleh karena itu, pada awal abad ke-19 masehi, pemerintah Turki Usmaniyyah
membentuk kabineet khusus untuk menangani masalah wakaf, dan undang-undang yang
mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf yang dikelurkan pada 29 November 1863
M. Kebijakan yang diambil pemerintahan Turki Usmaniyyah itu digunakan mengawasi
dan mengembangkan harta wakaf yang ada saat itu, sehingga manfaatnya tetap
dirasakan oleh masyarakat.
Pada era sekarang ini, kita melihat sebagian besar
rumah ibadah, perguruan islam dan lembaga-lembaga keagamaan islam dibangun
diatas tanah wakaf, dan tidak sedikit pula dana dari penghasilan wakaf
disalurkan untuk kepentingan umat, seperti membantu fakir miskin, anak yatim,
lembaga pendidikan dan layanan kesehatanbagi yang tidak mampu. Salah satu
contohnya dana dari penghsilan wakaf dimanfaatkan untuk pendidikan ialah wakaf
pondok modern gontor, di Jawa Timur dan salah satu layanan kesehatan Cuma-Cuma
adalah LKC Dompet Dhu;afa yang bangunan dan operasionalnya dibiayai oleh dana
ZISWAF.
Dengan
demikian, wakaf dan segala manfaatnya telah menunjukan peranannya yang sangat
penting dalam pembanguna masyarakat muslim sepanjang hidup. Hal tersebut tidak
terlepas dari inti ajaran yang terkandung dalam wakaf itu sendiri, yakni
semakin banyak manfaat harta wakaf dinikmati orang, maka semakin besar pula
pahala yang mengalir kepada pihak yang berwakaf (wakif).[1]
- Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
Institusi atau lembaga pengelola wakaf
pengertiannya berkaitan langsung dan tidak dipisahkan dari upaya-upaya
produktif dari aset wakaf. Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu
sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil
yang akan dinikmati oleh mawquf ‘alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat
dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak
wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi hukum fikih, pengembangan harta
wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pengelolanya (nadzir).
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams
al-Dien Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini dijelaskan tugas nadzir sebagai
berikut: “kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun, mempersewakan,
mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan hasilnya itu kepada
pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya.”
Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh
Manshur bin Yunus al-Bahuty (hal. 504-505) dijelaskan: “tugas nadzir wakaf
adalah memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya, menanami
lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan hasil yang maksimal seperti
hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan.”[2]
Dalam UU No 41 Tahun 2004 Dijelaskan
Tentang Pengelolaan dan
Pengembangan Harta Benda Wakaf yaitu dalam pasal-pasal berikut :[3]
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf oleh nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dilaksanakan sesuai
dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka
digunakan lembaga penjamin syariah.
Pasal 44
(1)
Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf,
Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas
dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
(2)
Izin sebagaimana ayat (1) hanya dapat diberikan apabila
harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan
yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1)
Dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti
dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan :
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku untuk Nazhirorganisasi atau Nazhir badan hokum;
c.
atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir
atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
(2)
Pemberhentian
dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
baan wakaf Indonesia.
(3)
Pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena
pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan
peruntukan hartabenda wakaf yang ditetapkan dan tujuan sert fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud
dalam pasal 42, pasal 43, pasal 44, dan pasal 45 diatur dengan peraturan
pemerintah. [4]
- Manajemen Dana Wakaf Produktif[5]
Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu Wakaf
Mutlaq dan Wakaf Muqayyad.Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana
wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya tanpa batas.
Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif mensyaratkan agar harta yang
diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada
pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa melakukan upaya-upaya
produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara historis, cara
yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fikih, adalah
dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya
bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak,
seperti lahan pertanian dan bangunan).
Ada beberapa bentuk penyewaan yang
terdapat dalam konsep fikih:
1. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan
kemaslahatan harta wakaf, para ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan
mempersewakan harta wakaf, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal.
2. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd
al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal
untuk membangun bangunan di atas sebidang tanah wakaf. Untuk memperoleh modal,
diadakan kontrak sewa dengan seorang penyewa untuk jangka waktu lama, dengan
dua tingkat sewa menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang
memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud. Sedangkan sewa kedua merupakan
sewa bulanan dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni
rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan ada
klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya.
3. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah
wakaf untuk masa waktu yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk
mendiami tanah itu, untuk membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian
dan memberinya hak untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis,
selama ia masih mampu membayar sewa pasaran.
4. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan
dengan calon penyewa yang bersedia meminjami nadzir sejumlah dana untuk
memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang yang kemudian akan dibayar dengan
sewa harta wakaf itu sendiri.
5. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan
membelikannya kepada benda yang bisa menghasilkan, misalnya dengan memodali
pembangunan gedung yang kemudian dapat disewakan lagi.
6. Dengan melakukan kerja sama dalam
pengelolaan lahan pertanian wakaf di samping dengan mempersewakannya kepada
pihak yang punya modal, juga mungkin dengan kerjasama muzara’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
Tulus, Wakaf Tunai Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta, DepartemenAgama
RI, 2005.
.........,
Nazhir Profesional dan Amanah, Jakarta, Departemen Agama RI, 2005.
www.bpkp.go.id/arsip/41-04.pdf/29-03-2010
No comments:
Post a Comment