Saturday, August 17, 2013

Makalah Hukum Perdata : Hukum Perkawinan


Hukum Perkawinan
Pendahuluan
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di dalam islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.
A.    Pengertian Perkawinan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Sebagai ikatan lahir, perkawinanmerupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. ikatan lahir batin ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang laian atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni upacara akad nikah bagi yang Beragama islam.
Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. dalam tahap permulaan, iktan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan.
Selanjutnya, dalam hidup bersamam ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.[2]
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 itu tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.[3]
Selanjutnya, dalam pengertian perkawinan itu juga dinyatak dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”.[4]
UU No.1 tahun 1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial.aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administrative, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil.[5]
Sajuti Thalib, SH dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia mengatakan: “Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
Dr. Anwar Haryono SH, dalam bukunya Hukum Islam juga mengatakan: “pernikahan adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.[6]
Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.[7]
B.     Syarat-Syarat dan Momentum Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern.
Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern meliputi: 
1)      Persetujuan kedua belah pihak; 
2)      Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; 
3)      Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan
      atau camat atau bupati; 
4)      Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin; 
5)      Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang
      putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi: 
1)      Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk; 
2)      Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:
     a.       Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
           orang tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu; 
     b.      Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan.
      Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil, dan (2) syarat formil.
Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan initi atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:
1.   Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
a.       Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW);
b.      Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata);
c.   Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH Perdata);
d.      Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);
e.       Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak ynag belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata).
2.      Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi:
a.       Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dank arena perkawinan;
b.      Larangan kawin karena zina;
c.       Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
      Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan.[8] Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum  perkawinan dilangsungkan adalah:
a.        Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975).
b.     Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada Undang-Undang yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai.[9]
C.    Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Dilihat dari tujuan perkawinan, maka perkawinan itu : 
a.       Berlangsung seumur hidup 
b.      Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir. 
c.       Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka.[10]
D.    Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu perkawinan antara calon pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk malangsungkan perkawinan.
Tujuan pencegahan hukum perkawinan adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan Pencegahan perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini, yaitu:
1)      Pasal 13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974;
2)      Pasal 59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata;
3)      Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975;
4)      Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sedangkan pembatalan Perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 99 BW.
Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah:
a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b.      Saudara;
c.       Wali nikah;
d.      Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan;
e.       Ayah kandung;
f.       Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;
g.      Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.[11]
Tata cara pencegahan perkawinan dikemukakan berikut ini:
1) Orang yang berwenang untuk melakukan pencegahan itu harus mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke pengadilan di wilayah hukum tempat akan dilangsungkannya perkawinan (Pasal 17 Nomor 1 Tahub 1974).
2)   Orang tersebut harus memberitahukan kepada pegawai pencatat nikah. Pegawai pencatat nikah inilah yang akan memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan tersebut.
3)  Apabila hakim telah menerima permohonan itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pengadilan memutuskan permohonan percegahan tersebut. Putusan itu berisi menolak atau menerima permohonan pencegahan tersebut.
4)  Dengan adanya putusan ini, maka Pegawai Pencatat Nikah dapat melangsungkan perkawinan tersebut.[12]
       Pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) Perkawinan batal, dan (2) Perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan batal adalah suatu perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada. Perkawinan batal apabila:
1)  Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i;
2)   Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istrinya tersebut pernak menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
3)      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawina menurut Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu;
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.     Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
c.    Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
d.      Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
         Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami-istri, namun salah satu pihak dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.       Suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.      Perempuan yang masih dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri orang lain;
c.       Perempuan yang dikawini masih dalam iddah dari suami;
d.      Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang ditatapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974;
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa walu atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.       Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[13]
            Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan yang meliputi wilayah tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawina dilangsungkan. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Batalnya perkawina tidak akan memutuskan hunungan hukum antara anak denga orang tuanya.[14]
E.     Larangan Perkawinan
Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 UU Nomor 1 Tahun 1974. Ada larangan perkawinan antara laki dan wanita, yaitu: 
1)      Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas; 
2)      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang
      dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 
3)      Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri; 
4)      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
      sususan; 
5)      Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
      seseorang suami beristri lebih dari seorang; 
6)      Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin; 
7)      Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain; 
8)      Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua
      kalinya, mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
      agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
      Di dalam KUH Perdata juga diatur tentang larangan perkawinan antara calon pasangan suami istri. Larangan untuk kawin diatur didalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUH Perdata. Ada tiga larangan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu:
a)     Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan;
b)     Larangan kawin karena zina;
c)    Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
      Di dalam KUH Perdata tidak mengenal larangan kawin bagi orang sesusuan maupun karena agama. Karena dalam konsep KUH Perdata,, perkawinan itu hanya dipandang dari hubungan keperdataan saja dan tidak mempunyai hubungan dengan agama, maupun konsep lainnya.[15]
F.     Perjanjian Kawin
      Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries. Tujuannya adalah:
a.       Keabsahan perkawinan
b.      Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawina itu untuk seumur hidup.
c.       Demi kepastian hukum
d.      Alat bukti yang sah
e.       Mencegah adanya penyelundupan hukum
Perjanjian kawin juga diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah seperti berikut:
1)      Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
2)  Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk perjanjian lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3)  Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan; pemisahan harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
4) Kewenangan masing-masing pihak untuk melakukan pembebasan atas hipotek atau hak tanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
         Momentum mulai berlakunya perjanjian perkawinan adalah terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan. Sejak saat itu perjanjian kawin itu mengikat para pihak dan pihak ketiga.[16]
G.    Akibat Perkawinan
Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga akibat perkawinan, yaitu: 
1.      Adanya hubungan suami-istri 
2.      Hubungan orang tua dengan anak 
3.      Masalah harta kekayaan
Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban suami-istri menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 
1.    Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
     dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 1974) 
2.  Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
    rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974) 
3. Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
   1974) 
4. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
   1974) 
5.  Suami-istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin
    yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU Nomor 1 Tahun 1974) 
6.  Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai
    dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974) 
7.   Istri wajib mengatur utusan rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
    1974).
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
1)      Suami adalah kepala rumah tangga;
2)      Suami harus membantu istri;
3)      Suami harus mengurus harta bawaan istri;
4)      Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik;
5)      Suami tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan istri.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sebagai berikut: 
1.      Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang
      tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU
      nomor 1 Tahun1974) 
2.      Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1)
      UU Nomor 1 Tahun 1974) 
3.      Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU
      Nomor 1 Tahun 1974) 
4.      Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kuasa orang
      tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974) 
5.     Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan 
      hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974) 
6.      Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
      dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
      kecuali kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan antara harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
Harta warisan itu berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan antara suami-istri putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama itu dibagi sama rata antara suami-istri.[17]
H.    Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 
1)      Kematian salah satu pihak; 
2)      Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru; 
3)      Adanya putusan hakim; 
4)      Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
         Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah satu pihak baik suami maupun istri meninggal dunia.
         Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal, yaitu: 
a.    Talak, atau 
b.   Berdasarkan gugatan perceraian.
         Talak adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.
Talak dibagi menjadi lima macam, yaitu: 
1.      Talak raj’I, yaitu talak satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah; 
2.      Talak bain shughraa, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
      suaminya meskipun dalam iddah; 
3.      Talak bain khubraa, yaitu talak yang terjadi untuk kedua kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan
      tidak dapat dinikahkan lagi, kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan
      orang lain kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa ‘iddahnya; 
4.      Talak suny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci
      dan tidak dicampuri dalam waktu suci itu; 
5.      Talak bad’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan
      suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 118 sampai dengan pasal 122 Inpres
      Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam).[18] 
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 Ayat 1). Maksud pasal ini adalah untuk mempersulit perceraian, mengingat tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[19]
I.       Akibat Putusnya Perkawinan
         Bila perkawinan putus karena perceraian, bekas suami-istri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata untuk kepentingan anaknya.[20]
         Bila terjadi perselisihan mengenai anak-anak tersebut, pengadilan memberikan keputusan ikut bersama siapa anak-anak itu (Pasal 1 ayat 1).
         Meskipun anak-anak itu ikut bersama ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).
         Pengadilan dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya (Pasal 41 ayat 3).
         Kemudian mengenai harta bersama akibat putusya perkawinan, sebagaimana telah diterangkan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 37 menyerahkan pengaturannya kepada masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[21]

KESIMPULAN
   Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1).
   Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.
   Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
   Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
   Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam, yaitu: Kematian salah satu pihak, tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru, adanya putusan hakim, Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).

Lihat Juga:
Hak Paten
Hukum Perorangan
Hukum Perkawinan
Jenis-jenis Perjanjian 
Hukum Jaminan
Hukum Keluarga
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang
Perikatan Yang Timbul Karena Undang-undang 



DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo, sudikno. 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.
Komariah, 2002. Hukum Perdata. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Saleh, K. Wantjik, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syahrani, Riduan. 2006. Seluk-Beluk Asas-asas Hukum Perdata, Banjarmasin: PT. Alumni.

[1] Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002) [2] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976) 
[3]Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin; PT. Alumni, 2006) 
[4] Ibid, 
[5] Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika, 2002) 
[6] Riduan Syahrani, Loc. Cit. 
[7] Komariah, Hukum Perdata, Loc. Cit. 
[8] Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit. 
[9] Komariah, Hukum Perdata, Op. Cit. 
[10] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. 
[11] Ibid. 
[12] Ibid, 
[13] Ibid. 
[14] Ibid, 
[15] Ibid. 
[16] Ibid. 
[17] Ibid. 
[18] Ibid, 
[19] Komariah, Loc. Cit. 
[20] Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban perceraian kedua
       orang tuanya. Selanjutnya dapat dilihat dalam PAsal 8 pp No. 10/1983 untuk pegawai negeri sipil. 
[21] Riduan Syahrani, Loc. Cit.

1 comment: