PENDAHULUAN
Wakaf
bukan merupakan hal asing bagi insan akademis dan masyarakat awam. Perkembangan
kajian ilmu tentang wakaf senantiasa berlangsung seiring berkembangnya zaman.
Berbagai pandangan dan ide pun muncul mewarnai perdebatan hokum wakaf di negeri
ini juga di dunia pada umumnya.
Dalam
makalah ini kami mengupas mengenai wakaf tersebut di atas. Mengenai landasan
hukumnya berikuit produk-produk hokum Negara yang mengatur tentangnya. Dalam
kajian kami juga mengupad bagaiana penggunaan tanah wakaf itu dapat dialihkan
dengan cara yang prosedural.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Wakaf
menurut bahasa Arab berarti “Al-Habsu” yang berasal dari kata kerja
“habasa-yahbisu-habsan”, mejauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan.
Kemudian kata ini berkembang menjadi
“habbasa” yang berarti mewakafkan harta karena Allah SWT.
Kata
wakaf sendiri berasal dari kata kerja “waqafa-yaqifu-waqfan” yang berarti
berdiri atau berhenti.sedangkan wakaf menurut istilah syara’ yaitu menahan
harta benda yang mungkin bisa diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakkan bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.
Berbagai
rumusan definisi ini dapat kita temukan dalam beberapa literatur lain seperti yang dikutip oleh Abdurrahman,SH dari
dfinisi Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad, Maula Muhammad Ali serta
Naziruddin Rahmat.
Sedangkan pengertian wakaf menurut pa yang
dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah
miliki adalah :
“Perbuatan hukum sesorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
seklama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran Islam”.
Dari rumusan pengertian di
atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai
benda walaupun berbagai riwayat /hadits menceritakan masalah wakaf ini adalah
mengenai tanah, tetapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh
saja asal bendanya tidak tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.
Menurut fiqh Islam yang berkembang dalam kalangan ahkus
sunnah, dikatakan “sah kita mewakafkan binatang”. Demikian juga pendapat Ahmad
dan menurut satu riwayat, juga Imam Malik.
Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam dimanapun
juga. Di Indonesia, lembaga ini telah menjadi penunjang utama perkembangan
masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga
keagamaan lainnya dibangun diatas tanah wakaf.
B. Dasar Hukum Wakaf
Menurut Syafi’I, Malik dan Ahmad, wakaf it adalah suatu ibadat yang disyaria’atkan . Hal ini disimpulkan dari pengertian-pengertian umum ayat al-Quran maupun hadits yang secara khusus menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah SAW.
1.
Wakaf dalam Al-Quran
Diantara dalil-dalil yang dijadikan sandaran hokum
wakaf ialah:
a.
surat
Al-Hajj ayat 77
”wahai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu dan
sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia”
b.
surat
An-Nahl ayat 97
“barangsiapa berbuat kebaikan, laki-laki atau permpuan dan ia
beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka
amalkan”.
c.
surat
Ali Imran ayat 92
“kamu sekali-kali
tidak sampai kepada kebaktian, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai”.
2.
Wakaf dalam hadits
Selain dari ayat-ayat yang
mendorong manusia berbuat baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan
atau menyedekahkan hartanya tersebut di atas, menurut hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Harairah, seorang manusia yang meninggal
dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya kecualai pahala tiga amalan
yaitu:
a. Pahala amalan shodaqah jariyah (shodaqah yang amalannya tetap mengalir
yang diberikannya selama ia masih hidup.
b. Pahala ilmu yang bermanfaat
(bagi orang lain) yang diajarkannya selama hayatnya.
c. Doa anak (amal) sholeh yakni
anaknya membalas guna orang tuanya dan mendoakan ayah ibunya kendatipun orang
tuanya it telah tiada.
Para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan
(pahala) shodaqah jariyah dalam hadits it adalah (pahala) wakaf yang
diberikannya dikala seseorang masih hidup.
Selain itu terdapat pula hadits mengenai
mewakafkan harta syrikat dan barang bergerak:
“Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata “Umar pernah
berkata kepada Nabi SAW bahwa seratus bagia yang menjadi milikku di Khaibar it
adalah harta yang belum pernah say peroleh yang sungguh lebih ku kagumi selain
harta it, lalu sungguh aku berkehendak untuk menyedekahkan (mewakafkan)nya.
Kemudian Nabi SAW menjawab “Tuhanlah pokoknya dan mewakafkan buah (hasilnya)”.
(H.R. An-Nasai).
Atas hadits tersebut Syarih Rahimullah
berkata “bahwa perkataan seratus bagian …” dan seterusnya itu, oleh mushanif
(Ibn Taimiyah) hadits ini dijadikan dalil atas sahnya mewakafkan harta syirkah.
Sedangkan Bukhari menetapkan sahnya mewakafkan harta syirkah it dengan hadits
Anas tentang kisah pembangunan masjid (Nabawi).
3.
PP No. 28 Tahun 1977
Peraturan Pemerintah
tersebut berbigara tentang perwakafan tanah milik, didalamnya memuat
istilah-istilah dalam perwakafan, syarat, fungsi dan lain sebagainya tentang
wakaf secara umum.
C.
Unsur Beserta Syarat Wakaf
Ada empat unsur yang harus dipenuhi sebagai
rukun dalam melaksanakan wakaf yakni:
1.
Waqif
2.
Benda yang diwakafkan
3.
Penerima wakaf (mauquf ‘alaih)
4.
Lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf.
Wakif tidak selalu perorangan melainkan boleh juga
berupa badan hokum, dalam hal badan hokum ini yang yang bertindak atas namanya
ialah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia
adalah orang yang ahli berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela,
tidak karena dipaksa. Ahli berbuat baik disini maksudnya ialah orang yang
berakal (tidak gila juga tidak bodoh), tidak mubadzir (karena harta orang
mubadzir di bawah walinya) dan baligh, demikian penjelasan Moh. Zain bin Haji
Otsman sebagaimana dikutip oleh Adijani al-Alabij. Syarat tersebut di atas
berlaku juga bagi mauquf ‘alaih. Selain syarat yang sama dengan wakif,
mauquf ‘alaih harus bertempat tinggal dikecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.
Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan
beberapa syarat sebagai berikut:
1. Barang atau benda itu tidak
rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
2. Kepunyaan orang yang
berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan
seperti halnya boleh dihibahkan atau pun disewakan.
3. Bukan barang haram atau pun
najis.
Syarat-syarat umum
lainnya berkenaan denganwakaf:
1. Tujuan wakaf tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan agama Islam
2. Tidak diperkenankan
memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan.
3. Tidak mewakafkan barang yang
menjadi larangan Alah yang berakibat pula pada munculnya fitnah.
4. Kalau wakaf diberikan
melalui wasiat, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih
dari 1/3 dari jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.
D. Macam-Macam Wakaf
Macam wakaf terbagi atas dua bentuk yakni
pertama wakaf keluarga atau wakaf ahli yakni wakaf yang khusus diperuntukkan
bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun
orang lain. Kedua, wakaf umum yakni wakaf yang diperuntukkan bagi kepentigan
atau kemaslahatan umum.
E. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
Fiqh wakaf tidak banyak membicarakan
prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf secara rici. Tetapi PP No. 28 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No.
1 Tahun 1978 mengatuir petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1) PP
No. 28 tahun 1977, pihak yanmg hendak mewakafkan tanahnya di haruskan atang
dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf untukl melasanakan ikrar wakaf.
Kemudian pasal pasal 9 ayat
(5) menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, puhak yang mewakafkan tanah
diharuskan embawa serta dan menyerahkan surat-surat berikut:
1. sertifikat hak milik atau
tanda bulti pemilikan tanah lainnya.
2. surat keterangan dari Kepala
Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran
pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa.
3.
surat
keterangan pendaftaran tanah.
4. izin dari bupati atau walikota Kepala Daerah cq. Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat.
F. Pendaftaran Tanah Wakaf
Menurut
pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad dianggap telah terlaksana dengan adanya
lafadz tau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Lain halnya menurut Abi
Hanifah bahwa benda wakaf belim terlepas dari milik wakif sampai hakim
memberikan putusan yaitu mengmumkan barang wakaf tersebut.
Pendaftaran tanah wakaf diatur
oleh pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5_) PP No. 28 tahun 1977 dan bebrapa
pasal lain alam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978.
G. Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf
Pada
dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual , diwarisi dan kepada pihak lain.
Tetapi seandainya barang wakaf itu rusak, tidak diambil lagi manfaatnya, maka
boleh digunakan untuk keperluan lainnya yang serupa, dijual dan dibelikan
barang lain untuk meneruska wakaf tersebut.. hal ini didasarkan kepada
kemaslahatan. Pengecualian ini haris dengan persetujuan Menteri Agama, dengan
alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh
wakif dan karena kepentingan umum.
Persetujuan
maupun penolakan atas permohonan nadzir baik permohonan untuk mengalihkan
penggunaan tanah wakaf maupun permohonan perubahan status tanah wakaf oleh
Kepala Kanwil Agama harus tertulis. Kemudia seperti ditentukan dalam pasal 11
ayat (3) PP No. 28 tahun 1977, perubahan
status dan penggunaan tanah wakaf itu harus dilaporkan oleh nadzir kepada
Bupati atau walikota untuk diproses lebih lanjut.
PENUTUP
Landasan
hukum perwakafan selain tersebut dalam Al-Quran juga Hadits juga lebih rinci
diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Wakaf juga Peraturan
Menteri Agama.
Kepemilikan
atas barang wakaf harus memenuhi rukun wakaf yakni adanya wakif, maukuf alaih,
barang wakaf dan lafadz ikrar. Lafadz wakaf harus diikrarkan dihadapan pihak
yang berwenang.
Barang wakaf pada dasarnya tidak
boleh dipindahgunakan atau dialihkan namun bila terjadi ketidaksesuaian antara
ikrar aweal wakaf dengan keadaan barang wakaf maka alihpenggunaan tersebut
diperbolehkan demi melihat kemaslahatan yang mungkin bias dicapai. Persetujuan maupun penolakan atas pengajuan
pengalihan penggunaaan barang wakaf serta perubahan status harus dibuat secra
tertulis oleh pihak yang berwenang.
DAFTAR BACAAN
Drs. H. Adijani
Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1992
Terjemahan Nailul
Authar: Himpunan Hadits-Hadits Hukum
Departemen Agama
RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: -, 2003
H. Sulaiman
Rasyid, Fiqh Islam,
Muhammad Daud
Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI, 1988
No comments:
Post a Comment