Hukum Keluarga
A.
Pendahulua
Terbentuknya
suatu keluarga itu karena adanya
perkawinan. Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga
dalam arti sempit artinya yaitu sepasang suami istri dan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan
bahwa suami istri merupakan suatu keluarga.
Sedangkan
definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber pada
pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi
karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting karena
ada sangkut paut nya dengan hubungan
anak dan orang tua, hukum waris, perwalian dan pengampuan.
B. Pengertian hukum keluarga
Istilah
hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris).[1]
Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri,
sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat
dekat.[2]
Ali affandi mengatakan bahwa hukum
keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan[3],
keadaan tak hadir).[4]
Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga,
yaitu:
a.
Van Apeldoorn
Hukum
keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga
b.
C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian
peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan
c.
R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan
d.
Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah
yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan
e.
Djaja S. Meliala
Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan
yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan keluarga kerena
terjadinya perkawinan
f.
Sudarsono
Hukum
kekeluargaan adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum
mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan[5]
Ada dua pokok
kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affiandi, yaitu
mengatur hubungan hukum yang berkaitan:
1.
Keluarga sedarah dan
2.
Perkawinan
Pertalian keluarga karena turunan disebut keluarga sedarah,artinya sanak saudara
yang senenek moyang. Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak
yang disebut matrinial dan ada yang
ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral.
Pertalian keluarga karena perkawinan
disebut keluarga semenda, artinya
sanak saudara yang terjadi karena adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari
sanak saudara suami dan sanak saudara istri. Sedangkan pertalian keluarga
karena adat disebut keluarga adat,
artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat, misalnya saudara angkat.[6]
C. Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah sumber hukum yang
berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat.
Sedangkan sumber hukum tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan berikut ini
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2.
Peraturan
Perkawinan Campuran (Regelijk op de
Gemengdehuwelijk),Stb.1898 Nomor 158
3.
Ordonasi
perkawinan Indonesia, Kristen, Jawa, Minahasa, dan Ambon, Stb.1933 Nomor 74
4.
UU
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama Islam)
5. UU
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
6. PP
Nomor 9 tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7.
PP
Nomor 10 Tahun 1983 jo.PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Selain itu yang 7 ini yang
menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini hanya berlaku
bagi orang-orang yang beragama Islam saja.[7]
D.
Asas-Asas
Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor
1 tahun 1974 dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga,
yaitu:
a. Asas
monogamy,[8]
asas ini mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
b. Asas
konsensual,[9]
yakni asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila
terdapat persetujuan atau consensus antara calon suami-istri yang akan
melangsungkan perkawinan.
c.
Asas
persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan
harta benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
d. Asas proporsional,yaitu suatu asas
dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan masyarakat.( Pasal
31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
e. Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu
asas yang menegaskan bahwa dalam tiap perwalian hanya terdapat seorang wali. Pengecualian
dari asas ini adalah
1. Jika
perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup lebih lama maka
kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta[10]
2.
Jika
sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari anak di
bawah umur di luar Indonesia[11]
f. Asas
prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya.( Pasal 7 UU No.1
Tahun 1974)
g. Asas
monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang mengandung makna bahwa seorang
suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah
mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat[12]
h. Asas perkawinan agama, asas yang
mengandung makna suatu perkawinan hanya sah apabila dilaksanakan sesuai dengan
hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.( Pasal
31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
i. Asas
perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan
sipil), perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.[13]
E.
Ruang
Lingkup Hukum Keluarga
Setelah kita mengetahui apa pengertian hukum keluarga maka
dapat kita ketahui bahwa apa-apa saja ruang lingkup dalam hukum keluarga. Ruang linkup dalam hukum keluarga itu meliputi:
perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua,
pengampuan, dan perwalian. Namun di dalam bagian hukum keluarga hanya
difokuskan pada kajian perkawinan, perceraian, dan harta benda dalam
perkawinan.
F.
Hak
dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga
Sebagai suatu hubungan
hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Yang dimaksud
“hak” ialah sesuatu yang merupakan milik
atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan
“kewajiban” ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau
istri untuk memenuhi hak dan dari pihak yang lain.[14]
Hak dan kewajiban dalam
hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Hak
dan kewajiban antara suami istri
b.
Hak
dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya
c.
Hak
dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala oarng tuanya telah mengalami
proses penuaan[15]
Hak dan kewajiban antara
suami istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan
antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
1.
Hak
dan kewajiban antara suami istri adalah sebagai berikut:
a)
Suami
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat[16]
b)
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat[17]
c)
Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum( Pasal 31 ayat 2)
d)
Suami adalah kepala keluarga
dan istri ibu rumah tangga.( Pasal 31 ayat 3)
e)
Suami
istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,yang ditentukan bersama.( Pasal
31 ayat 4 dan Pasal 32 ayat 1)
f)
Suami istri wajib saling
mencintai , hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin yang satu
dengan yang lain.( Pasal 33)
g)
Suami wajib melindungi istrinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.(Pasal 34 ayat 1)
h)
Istri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.( Pasal
31 ayat 2)
i)
Jika
suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan ( Pasal 31 ayat 3) [18]
Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam dalam UU
perkawinan pada dasarnya mengandung persamaan dengan hak dan kewajiban yang
diatur dalam Hukum Islam.
Adapun kewajiban khusus suami kepada istri yang di
Instruksi oleh Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam:
a.
Suami
adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai
hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri
bersama
b.
Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga dengan kemampuannya
c.
Suami
wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa
d.
Sesuai
dengan penghasilan suami menanggung:
1.
Nafkah,
kiswah dan tempat kediaman bagi si istri
2.
Biaya
rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
3. Biaya
pendidikan bagi si anak
e.
Kewajiban suami terhadap
istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku
sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya
f.
Istri dapat membebaskan
suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas
g.
Kewajiban suami sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) gugur apabila istri nusyuz[19]
Selain
itu , suami juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan tempat kediaman untuk
istri dan anak-anaknya. Di dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa:
1.
Suami
wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri
yang masih iddah
2.
Tempat
kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat
3.
Tempat
kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak
lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat tinggal juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur
alat-alat rumah tangga
4.
Suami
wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan
rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya
Adapun suami yang beristri
lebih dari 1 orang, juga di atur dalam Kompilasi Hukum Islam
1.
Suami
yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal
dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar
kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan
2.
Dalam
hal para istri ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat
kediaman
Di dalam Kompilasi Hukum
Islam juga dijelaskan beberapa kewajiban bagi istri yang dianggap nusyuz[20]
a.
Istri
dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
b.
Selama
istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya
c.
Kewajiban
suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz
d.
Ketentuan
ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah
Adapun dalam bukunya Lili
Rasjidi juga membagi hak dan kewajiban suami istri dalam dua kategori,ada
kewajiban umum antara suami istri dan ada pula kewajiban khusus baik suami
maupun istri. Menurutnya, kewajiban umum di antara keduanya adalah:
a.
Kedua
pihak hendaknya saling hormat-menghormati, sopan santun dan penuh pengertian
b.
Memelihara
kepercayaan dan tidak membuka rahasia masing-masing walaupun pada saat ada
kericuhan
c.
Masing-masing
harus sabar atas kekurangan dan kelemahan yang ada pada tiap-tiap manusia,
sehingga tidak cepat-cepat marah, akan tetapi menunggu dengan tenang untuk
menunjukkan kesalahan-kesalahan hingga dapat diakhiri dengan kebijaksanaan dan
pertimbangan
d.
Jangan
cemburu tanpa alasan, juga tidak mendengar hasutan orang, segala sesuatu
periksa terlebih dahulu
e.
Menjauhi
bibit-bibit percekcokan sehingga tidak terjadi perselisihan- perselisihan yang
tidak diinginkan, dan jika terjadi juga perselisihan, hadapilah dengan keadaan
tenang
f.
Rela
berkorban untuk kepentingan suami istri dan saling menghormati keluarga
masing-masing
g.
Akhirnya
kedua belah pihak harus berusaha menjadikan rumah tangganya sebagai muara yang
aman dan pelabuhan yang damai, tempat peristirahatan yang teduh untuk seluruh
anggota keluarga, baik pada waktu suka maupun dalam keadaan duka, bersendikan
tawakal dan iman kepada Allah swt dan syukur atas nikmatnya[21]
Sedangkan yang termasuk
dalam kategori Kewajiban khusus bagi istri kepada suaminya adalah
a.
Membantu
suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga
b.
Hormat
dan patuh kepada suami dalam batas-batas tidak menyimpang dri ajaran agama
c.
Meyenangkan
dan berbakti kepada suami dengan tulus ikhlas, sedapat-dapatnya selalu bermuka
jernih dan manis
d.
Menerima
dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang
diberikan suami dengan kekuatan dan kemampunnya, hormat, cermat, dan bijaksana
e. Tidak mempersulit dan memberatkan suami
akan tetapi bersifat ridha dan syukur. Istri utama ialah yang dapat mengetahui
kemauan suami sebelum dikatakan suami, jika terlihat tanda-tanda suami dalam
kesusahan
f.
Memelihara
diri serta menjaga kehormatan dan harta benda suami, baik dihadapan atau
dibelakangnya
g.
Memupuk
rasa kasih saying dan tidak bertingkah laku yang dapat mendorong suami dapat
berbuat salah
h. Memelihara dan mendidik anak sebagai
amanah Allah dan nikmatnya yang tak
ternilai
i.
Mengatur
dan mengurus rumah tangga dan menjadikannya rumah tangga islam yang bahagia
dunia dan akhirat[22]
J. Istri adalah ibu rumah tangga (Pasal 79 ayat
1 Kompilasi Hukum Islam)
Adapun kewajiban khusus
suami kepada istri menurut Lili Rasjidi, sebagai berikut:
a.
Jadilah seorang suami yang baik
membimbing dan memimpin keluarga lahir batin
b.
Memberi nafkah keluarga menurut
kemampuan
c.
Hormat
dan sopan santun, apa lagi istri dalam keadaan kesulitan
d.
Membantu
istridalam tugas sehari-hari terutama dalam hal memelihara dan mendidik
anak-anak
e.
Sabar
akan kekurangan-kekurangan istri dan berrusaha menambah dan memperbaiki serta
mempertinggikan kecerdasan
f.
Memberi
kebebasan untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan ajaran agama, tidak
mempersulit dan menyiksa pikiran, apa lagi mendorongnya untuk berbuat salah
g.
Penuh
pengertian, disiplin dan berwibawa berdasarkan kasih saying dan cinta kasih
h.
Berusaha
dan membantu istri untuk menciptakan suasana yang damai dan kerukunan keluarga,
demi kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat
i.
Hormat
terhadap dan sopan keluarga istri
j.
Dapat mengatasi keadaan dan mencari
penyelesaian yang bijaksana jika terjadi perselisihan
k.
Sabar,
jujur dan memelihara kepercayaan serta dapat menyenangkan istri dengan cara
yang halal
Adapun Hak dan kewajiban antara
orang tua dengan anak diatur dalamPasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU No. 1
Tahun 1974.
Hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut:
1.
Orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban oarng tua berlaku sampai anat itu
kawin atau dapat berdiri sendiri
2.
Anak
wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
3.
Anak
wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua
4.
Anak
yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah
kekuasaan orang tua( Pasal 47 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974)
Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum dan belum
pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan
5.
Orang
tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak
menghendakinya
Hak dan kewajiban yang ke
tiga dalam keluarga,yakni Alimentasi. Antara orang tua dengan anak terdapat
kewajiban,alimentasi yaitu kewajiban timbal balik antara orang tua dengan anak
seperti yang ditentukan dalam pasal 45 dan 46 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal KUH
Per. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya
yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-masing, demikian sebaliknya
anak yang telah dewasa wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuannya.[24]
KESIMPULAN
Setelah dijelaskan hukum keluarga berasal dari terjemahan
kata familierecht (belanda) atau law of familie (inggris). Istilah
keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan
dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat. Dan
adapun hukum kekeluargaan menurut hukum perdata adalah aturan yang mengatur
mengenai keluarga,yang mana di dalam keluarga tersebut banyak mengatur masalah
perkawinan, hubungan dan hak serta kewajiban suami istri dalam sebuah rumah
tangga, keturunan, perwalian, pengampuan.
Dan Adapun sumber hukum dalam hukum keluarga tersebut ada
dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Ruang
lingkup dalam hukum keluarga itu meliputi: perkawinan, perceraian, harta benda
dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian. Namun di
dalam bagian hukum keluarga hanya difokuskan pada kajian perkawinan,
perceraian, dan harta benda dalam perkawinan.
Lihat Juga:
DAFTAR
PUSTAKA
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa
Hukum Indonesia, Cet. III, PT Alumni, Bandung, 2005
Komariah,Hukum
Perdata,(UMM: Universitas Muhammadiyah Malang Press,Malang 2008)
Rasjidi lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia
dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982)
Salim, Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008),\
Syahrani,riduan,seluk
beluk asas-asas hukum perdata,(Banjarmasin:P.T. Alumni:2006
Zulfa Djoko Basuki,Kompilasi
Bidang Hukum Kekeluargaan, ( Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM RI, 2009)
[2]
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia,
Cet. III, (PT Alumni, Bandung,
2005)
[3] Perpindahan wali dari wali yang satu ke
wali yang lain
[4] Salim, Op. Cit,.
[5] Zulfa Djoko
Basuki,Kompilasi Bidang Hukum
Kekeluargaan,( Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM
RI, Jakarta:2009)
[6]
Hilman Hadi Kusuma, Op Cit,
[7] Salim, Op. Cit.
[8] Pasal 27 BW dan pasal 3
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[9] Pasal 28 KUHPerdata dan
pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
[10] Pasal 351 KUHPerdata
[12] Pasal 3 ayat (2) jo
Pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1974
[13] Zulfa Djoko Basuki, Op. Cit.
[14] Riduan Syahrani,seluk beluk asas-asas hukum perdata,(Banjarmasin:P.T. Alumni:2006)
[15] Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),op cit ,
[16] Pasal 30 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
[17] Pasal 31 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Lembaran, Negara
RI Tahun 1974 No. 1
[19] Ibid,
[20] Nusyuz : istri
yang durhaka kepada suami
[21] Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia
dan Indonesia,(Bandung:Alumni,1982)
[22] Ibid,
[23] Ibid,
[24] Komariah,Hukum Perdata,(UMM: Universitas
Muhammadiyah Malang Press,Malang 2008),
keren bgd mas bro..maksh
ReplyDeleteSemoga Bermanfaat..
ReplyDeletesumpah ndro... bener2 bermanfaat
ReplyDeleteijin copy
ReplyDeleteJadi fungsi belajar hukum keluarga itu adalah
ReplyDeleteKebetulan di Univ saya ada prodi HKI (Hukum Keluarga Islam) yang membahas mengenai syariah keluarga bagaimana, yang kepo kuy kunjungi https://walisongo.ac.id/
ReplyDelete