Friday, August 16, 2013

Makalah Usul Fiqh : Istishab

Istishab

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar bekakang
Dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-quran dan As-sunah  para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menetapkan suatu hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Diantaranya : Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari sekian banyak metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya oleh ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para ulama banyak mengemukakan kedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum yang tidak ada nasnya dalam alquran maupun hadist.
1.2. Batasan Masalah
                   Dari uraian singkat tersebut diatas jelas bahwa terdapat banyak cara atau metode yang digunakan para mujtahid untuk berijtihad di antaranya yaitu, Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Namun dalam hal ini fokus pembahasan hanya sekitar Istishab.
1.3. Rumusan Masalah
                   Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari permasalahan Istishab yaitu :
-   Apa pengertian Istishab ?
-   Bagaimana kehujjahan Istishab ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Istishhab
            Istishhab menurut bahasa berasdal dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai. Namun sebagian buku ushul menyatakan Istishhab menurut bahasa sebagai berikut :
1.       Ilmu ushul fiqih oleh Bapak Prof. Dr. H. Rahmat Syafi’i, M.A “Mengakui adanya hubungan perkawinan”
2.       Ushul fiqih oleh Bapak Prof. Mohammad Abu Zahra “ Persahabatan dan kelanggenan persahabatan”[1]
3.       Ilmu ushul fiqih oleh syekh Abu wahab Khallaf “ Pengakuan adanya perhubungan[2]
         Sedangkan menurut istilah Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya.
Dari pengertian diatas, mungkin susah dipahami, sehingga memerlukan contoh yang kongkrit, seorang mahasiswa misalnya menyandang predikat mahasiswa apabila dia diketahui memasuki bangku kuliah, predikat tetap melekat padanya berdasrkan istishab sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan status, untuk mendapatkan predikat mahasiswa tersebut, tidak perlu ditetapkan setiap tahun atau setiap bulan.
Istishab merupakan salah satu hal yang menjadi peredebatan para ulama, didalam pemberlakuan menjadi sumber hukum dalam mengistimbatkan hukum. Memang secara akal sehat dengan mudah dapat mendukung penggunaan Istishab, sebagai contoh : “ Apabila si Fulan jelas menjadi suami resmi dari seorang perempuan, maka dengan sendirinya berarti antara kedua orang terjalin ikatan perkawinan, sampai terjadi perceraian, Istishhab bisa diterima sebagai sumber hukum dilihat dari segi syara’ yaitu ternyata berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada dalil yang lain mengubahnya. Anggur memabukka, berdasarkan ketetapan dan syara’ adalah minuman haram kecuali apabilah telah berubah sifatnya, yakni iskar, baik dicampuran atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dengan Istishab ulama banyak menetapkan kaeadah ushul, yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan sesuatu hukum. Adapun macam-macam istishab diklasifikasikan memenjadi dua macam yaitu :
pertama, istishab yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal, sebab Allah menciptakan segala sesuatu dibumi ini agar dapat diambil mamfaatnya oleh manusia. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqih yang dibangun oleh ulama :
ﻻﺼﻝﻓﻰﻻﺸﻴﻻﺒﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.[3]
Dan ini juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qu’an dalam surah Al-baqarah
ﻫﻭﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﻔﻰﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌ
­Arinya : “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..”(al-baqarah :29)
Kedua, Istishab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu, kemudian ragu –ragu apakah wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi belum batal, dengan dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah yang dibangun oleh ulama yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya : Sesuatu yang meyakinkan tidak hilan karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain menberikan tanggapan yang berbeda pula mengenai macam-macam istishab, mereka ada yang membagi istishab kedalam tiga macam, namun hal ini tidak menjadi persoalan karena semua macam-macam istishab tersebut yang diungkapkan oleh para ulam memiliki makna yang sama.
2.2. Kehujjahan Al-Istishhab
                                            Mengenai kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan Al-quran surah Al-barah ayat 29.
                                            Ulama yang menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a.       Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau dalil dari Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya
b.      Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab bukankah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuyk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c.       Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
                   Sedangkan argument ulama yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab tidak masuk dalil syari.
                               Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul figih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
                               Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru yang sebelumnya belum ada.[4]
                  
BAB II
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
              Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya.
              Istishhab ada  dua macam yaitu : pertama, istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal,sesuai dengan kaedah ushul.
ﻻﺼﻝﻓﻰﻻﺸﻴﻻﺒﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.
Kedua, Istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya
             Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
DAFTAR PUSTAKA
~ Abu Zahra Muhammad ,Prof.,2002, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus,
~ Khallaf,Abdul Wahhab ,Prof.994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama,
~ Mubarok, Jain, 2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press,
~ Rahmat,Jalaluddin, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan,


[1] Prof. Muhammad Abu Zahra,2002, Ushul Fiqh, Cet VII, Jakarta, Pustaka Firdaus,
[2] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Cet I Semarang, Dina Utama,
[3] Jain Mubarok, 2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Cet I, Yogyakarta, UII Press,
[4] Jalaluddin Rahmat, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, cet III, Bandung, Mizan

No comments:

Post a Comment