TENAGA KERJA DAN UPAH SERTA
KAITANNYA DENGAN PENGANGGURAN
(Kajian Ekonomi Makro Islam)
PENDAHULUAN
”Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.......” (QS.
Ath-Thalak,6)
Jika kita lihat sepintas potongan ayat diatas maka kita
akan berpandangan bahwa jika ada seseorang yang melakukan pekerjaan (jasa) buat
kita –dalam ayat di atas disebutkan membantu menyusui anak- maka kita
berkewajiban untuk memberikan upah kepada orang yang telah membantu kita tersebut. Hal ini
tentunya menunjukan adanya hubungan timbal balik antara pekerja dengan para
pengusaha, dimana seorang pekerja melakukan sesuatu yang dimintai oleh
pengusaha sedangkan pengusaha sendiri memberikan upah bagi para pekerja.
Tetapi dalam perjalanannya, sering kali kita melihat dan
mendengar akan adanya pemerasan yang dilakukan oleh para pengusaha dalam
menggunakan tenaga para pekerja, mereka (pekerja) sering mendapatkan perlakuan
yang tidak sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan yakni gaji yang terlalu
rendah, dengan alasan-alasan seperti itulah maka disinilah peran pemerintah
untuk menyeimbangkan gejala-gejala perekonomian yang terjadi (sebagaimana yang
kita tahu bahwa pemerintah dalam ekonomi makro bertugas untuk melakukan
kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengatur dan mengawasi lajunya roda
perekonomian agar tetap berjalan dengan semestinya), salah satu bukti yang riil
dalam negara kita adalah dengan adanya kebijaksan pemerintah mengenai Upah
Minimum Regional (UMR).
A.
Etika kerja dan penetapan upah
Bekerja merupakan inti dari kegiatan
ekonomi, tanpa adanya aktivitas kerja, maka roda kegiatan ekonomi tidak akan
pernah berjalan. Berdasarkan atas urgensi kerja bagi kegiatan ekonomi, Islam
mempunyai beberapa etika yang mengatur antara hubungan pekerja dan pengusaha,
pekerja dan pengusaha dengan lingkungan sekitar (negara), ataupun kriteria
pekerjaan yang diperbolehkan oleh syari’ah. Bekerja merupakn kewajiban bagi
setiap individu dan masyarakat, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan dan bergantung
kepada pihak lain demi tegaknya sebuah kehidupan masyarakat. Bekerja merupakan fardlu kifayah, jika bekerja itu dapat
mendorong kegiatan ekonomi yang dapat menghadirkan barang dan jasa yang sangat
dibutuhkan masyarakat. Selain itu, terdapat beberapa nilai syari’ah ataupun
konsep dasar dalam bekerja, yaitu : kesungguhan dan kejujuran (Siddiq), keadilan, kepercayaan (Amanah) dan keikhlasan.
Negara yang merupakan unsur terpenting
dalam menjalankan roda perekonomian suatu bangsa, mempunyai peranan untuk
mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan ekonomi tersebut. Akan tetapi, peran
yang dijalankan oleh negara tidak berhubungan dengan intervensi atas kebebasan
individu untuk memilih jenis pekerjaan yang diminati serta penetapan upah
pekerja, adapun peran negara negara tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Menyediakan lapangan pekerjaan
dengan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong para
investor untuk melakukan investasi dalam kegiatan ekonomi demi tercapainya
kemashlahatan bersama.
b.
Mengawasi jalannya kegiatan
ekonomi, hubungan karyawan dengan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi
proses produksi, serta menetukan tingkat upah dan waktu pembayaran.
c.
Mempunyai wewenang terhadap pihak
tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat krusial bagi kehidupan
masyarakat atau pun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial
ekonomi masyarakat.[1]
Menurut ibnu Taimiyah : ketika
masyarakat sangat membutuhkan pertanian, tekstil maupan kontruksi bangunan,
maka negara mempunyai wewenang untuk memaksa pihak tertentu untuk
merealisasikannya. Akan tetapi, ketika adanya penolakan terhadap pekerjaan
tersebut, tentunya tetap ada konpensasi. Tidak dimungkinkan bagi mereka untuk
menerima tambahan atas kompensasi yang seharusnya mereka dapatkan, dan
dimungkinkan bagi masyarakat untuk menuntut mereka, dengan memberikan sesuatu
yang bukan haknya.[2]
Penjelasan Ibnu Taimiyah tersebut,
merupakan penegasan terhadap eksistensi karyawan berhak mendapatkan upah atas
segala sesuatu yang telah dilakukan, dalam hal ini pemberian upah kepada para
karyawan atas jerih payah dan usaha yang
dilakukan merupakan kewajiban dalam syari’ah. Ketentuan tersebut untuk
menghapus sistem feodalisme yang mengeksploitasi pikiran dan tenaga karyawan.
Kendatipun tidak ada ketentuan yang baku terhadap jenis upah dan mekanisme
pembayarannya, tetapi proses pengupahannya tetap berdasarkan prinsip keadilan.
Penetuan kadar dan jumlah upah yang harus diberikan kepada karyawan tidak hanya
berdasrkan kekuatan pasar yang terkadang merugikan salah satu pihak. Upah yang
diberikan kepada karyawan harus mencapai “had
al kifayah”(batas kecukupan), yakni mengcover kebutuhan diri dan
keluarga.proses pembayaran upah tersebut harus utuh tanpa adanya unsur
penundaan yang disengaja.
Rasulullah SAW bersabda : “berikanlah
upah kepada para pekerja, sebelum kering keringatnya” (ibnu Majah dan Thabari,
jilid I)
Hubungan yang terjadi antara pengusaha
dan karyawan merupakn hubungan kerja (kontrak). Pemerintah tidak mempunyai hak
untuk melakukan intervensi terhadap kesepakatan yang ada. Pemerintah hanya
memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengatur kegiatan ekonomi. Intervensi
pemerintah dapat dilaksanakan ketika adanya tindak ekploitasi terhadap pembeli
dan konsumen. Pemerintah bisa melakukan penegasan (pemaksaan) terhadap
pengusaha dan karyawan untuk melakukan kegiatan produksi guna memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat. Dalam kondisi tersebut, intervensi pemerintah
merupakan suatu kewajiban dalam mencegah eksploitasi maupun kriminalitas
ekonomi. Dalam hal ini ibnu Taimiyah berpendapat “pemerintah mempunyai hak
intervensi dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam melakukan ijbar terhadap pihak yang terkait dalam
melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Atas
usaha yang telah dilakukan, pihak terkait berhak mendapatkan kompensasi. Upah
yang diberikan pemerintah harus setimpal, dan begitu juga sebaliknya. Usaha
yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan bentuk penentuan kerja.[3]
B.
Antara upah dan permintaan tenaga kerja
Pihak pengguna tenaga kerja adalah
pemakai jasa atau keahlian seorang tenaga pekerja. Besar kecilnya permintaan
akan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah riil yang harus ditaggung oleh
pengguna tenaga kerja. Apabila upah riil yang harus ditanggung pengguna tenaga
kerja relatif tinggi, maka permintaan akan tenaga kerja menurun. Sebaliknya,
apabila upah riil yang harus ditanggung relatif murah, permintaan akan tenaga
kerja meningkat.
Apabila tingkat upah nominal diasumsikan
konstan, pergerakan harga akan berdampak pada tingkat upah riil yang diterima
pekerja. Apabila terjadi kenaikan harga secara umum, tingkat upah riil akan
turun, demikian pula sebaliknya. Pada gambar dibawah ini menggambarkan
permintaan akan tenaga kerja dengan memperhitungkan tingkat upah riil yang
harus dibayarkan kepada tenaga kerja dengan memperhitungkan tingkat upah riil
yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja yang sudah
memperhitungkan upah riil dapat menghindarkan resiko terjadinya khayalan uang (money illusion)
Gambar (b) menunjukan permintaan akan uang
yang didasarkan atas nilai nominal yang dibayarkan kepada tenaga kerja. Dalam
hal ini, seorang pengguna tenaga kerja dapat melakukan kekeliruan dalam
menghitung upah riil yang harus dibayarkan jika parameter yang digunakan
didasarkan pad nilai nominal upah, bukan nilai riil upah. Artinya pengguna jasa
dapat terkena resiko money illusion.[4]
C. Antara tenaga kerja dan
tingkat pengangguran
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
bahwa semakin tinggi angka upah yang diberikan kepada para pekerja maka semakin
kecil permintaan terhadap tenaga kerja, hal ini tentunya akan berakibat pada
tingkat pengangguran yang terjadi.
Pengangguran dalam suatu negara adalah
perbedaan diantara tingkat angkatan kerja dengan pengguna tenaga kerja yang
sebenarnya. Yang dimaksudkan dengan angkatan
tenaga kerja adalah jumlah tenaga
kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu.
Untuk menentukan angkatan kerja diperlukan dua informasi, yaitu (1) jumlah
penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun, dan (2) jumlah penduduk yang berusia
lebih dari 10 tahun dan tidak ingin bekerja (contohnya adalah pelajar,
Mahasiswa, ibu rumah tangga). Jumlah penduduk dalam golongan (1) dinamakan Penduduk usia kerja, dan penduduk dalam
golongan (2) dinamakan Bukan angkatan
kerja. Dengan demikian angkatan kerja dalam suatu periode tertentu dapat
dihitung dengan mengurangi jumlah penduduk dalam (1) dari jumlah penduduk dalm (2).
perbandingan diantara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja (dinyatakan
dalam persen) dinamakan tingkat
partisipasi angkatan kerja,[5]
dengan perhitungan sebagai berikut :
Angkatan
Kerja
Tingkat partisipasi angkatan
kerja = -------------------
X 100 %
Pddk
usia Kerja
Jumlah
pengangguran = Angktn Kerja - Pengguna tenaga kerja yang sebenarnya
Jml
pengangguran
Tingkat
pengangguran = ---------------------- X 100%
Angkatan Kerja
Contoh : Dalam suatu daerah jumlah orang
yang tergolong sebagai penduduk usia kerja berjumlah 10.000.000 jiwa tetapi
hanya sebanyak 7.500.000 jiwa yang tergolong sebagai angkatan kerja. Diantara
angkatan kerja tersebut sebanyak 7.000.000 orang mempunyai pekerjaan, berapa
tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat penganggurannya ?
Jawab :
Diketahui :
Penduduk usia kerja = 10.000.000 jiwa
Angkatan kerja ` = 7.500.000 jiwa
Pengguna kerja sebenarnya =
7.000.000 jiwa
Maka,
7.500.000 jiwa
Tingkat
partisipasi angkatan kerja = ------------------- X 100
%
10.000.000
jiwa
= 75 %
Jumlah pengangguran = 7.500.000
– 7.000.000
=
500.000 jiwa
500.000
jiwa
Tingkat
pengguran = ---------------------- X 100%
7.500.000 jiwa
= 6,6
%
Dalam prakteknya suatu negara dianggap
sudah mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (atau kesempatan kerja
penuh) apabila dalam perekonomian tingkat penganggurannya adalah kurang dari 4
persen.[6]
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa, semakin tinggi upah riil yang diterima oleh pekerja maka
semakin kecil permintaan pengguna kerja terhadap tenaga kerja, hal in tentunya
berakibat pada makin banyaknya angka pengangguran karena penawaran akan
pekerjaan lebih sedikit dibadingkan dengan permintaan yang diajukan oleh para
pekerja.
Menganai penatapan jumlah pekerja dan berapa upah yang
harus diterima olehnya pemerintah tidak dapat menetukan secara pasti mengenai
hal tersebut, pemerintah hanya mencangkan jumlah upah minimum yang harus
diterima oleh para pekerja, adapun selain itu pemerintah berperan juga dalam
beberapa hal yang menyangkut hubungan antara pekerja dan pengguna kerja
(pengusaha)antara lain :
- Menyediakan lapangan pekerjaan dengan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong para investor untuk melakukan investasi dalam kegiatan ekonomi demi tercapainya kemashlahatan bersama.
- Mengawasi jalannya kegiatan ekonomi, hubungan karyawan dengan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi proses produksi, serta menetukan tingkat upah dan waktu pembayaran.
- Mempunyai wewenang terhadap pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat krusial bagi kehidupan masyarakat atau pun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat. Wallahu a’lam
Kritik dan sarannya sangat kami harapkan,
Sekian,,,,,
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam :
Suatu Kajian Ekonomi Makro, : IIIT Indonesia, Jakarta, 2002
Marthon,Said Sa’adalah, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi
Global, Cet. I, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004
Sadono Sukirno, Pengantar Teori
Makro Ekonomi, Ed. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Taimiyah, Ibnu, dan Syaikh al Islam Taqiyyudin Ahmad, al Hisbah Fi al Islam, Pent : Sa’ad Said
Marthon, al Musasaah al Sa’idiyyah, Riyadh, nt
[1] DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi
Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, (Jakarta: Zikrul
Hakim, 2004), hal. 50
[2] Ibnu Taimiyah, Syaikh al Islam Taqiyyudin Ahmad, al Hisbah Fi al Islam, Pent : Sa’ad Said Marthon, (Riyadh : al
Musasaah al Sa’idiyyah, nt), h. 50
[4] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta
: IIIT Indonesia, 2002), hal. 218
[5] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro
Ekonomi, Ed. III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. XIX,
hal.19
[6] Ibid,
No comments:
Post a Comment