Friday, April 18, 2014

TENAGA KERJA DAN UPAH SERTA KAITANNYA DENGAN PENGANGGURAN


TENAGA KERJA DAN UPAH SERTA KAITANNYA DENGAN PENGANGGURAN
(Kajian Ekonomi Makro Islam)

PENDAHULUAN

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.......” (QS. Ath-Thalak,6)
Jika kita lihat sepintas potongan ayat diatas maka kita akan berpandangan bahwa jika ada seseorang yang melakukan pekerjaan (jasa) buat kita –dalam ayat di atas disebutkan membantu menyusui anak- maka kita berkewajiban untuk memberikan upah kepada orang yang  telah membantu kita tersebut. Hal ini tentunya menunjukan adanya hubungan timbal balik antara pekerja dengan para pengusaha, dimana seorang pekerja melakukan sesuatu yang dimintai oleh pengusaha sedangkan pengusaha sendiri memberikan upah bagi para pekerja.
Tetapi dalam perjalanannya, sering kali kita melihat dan mendengar akan adanya pemerasan yang dilakukan oleh para pengusaha dalam menggunakan tenaga para pekerja, mereka (pekerja) sering mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan yakni gaji yang terlalu rendah, dengan alasan-alasan seperti itulah maka disinilah peran pemerintah untuk menyeimbangkan gejala-gejala perekonomian yang terjadi (sebagaimana yang kita tahu bahwa pemerintah dalam ekonomi makro bertugas untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mengatur dan mengawasi lajunya roda perekonomian agar tetap berjalan dengan semestinya), salah satu bukti yang riil dalam negara kita adalah dengan adanya kebijaksan pemerintah mengenai Upah Minimum Regional (UMR).
 
A.    Etika kerja dan penetapan upah
Bekerja merupakan inti dari kegiatan ekonomi, tanpa adanya aktivitas kerja, maka roda kegiatan ekonomi tidak akan pernah berjalan. Berdasarkan atas urgensi kerja bagi kegiatan ekonomi, Islam mempunyai beberapa etika yang mengatur antara hubungan pekerja dan pengusaha, pekerja dan pengusaha dengan lingkungan sekitar (negara), ataupun kriteria pekerjaan yang diperbolehkan oleh syari’ah. Bekerja merupakn kewajiban bagi setiap individu dan masyarakat, tidak ada alasan untuk bermalas-malasan dan bergantung kepada pihak lain demi tegaknya sebuah kehidupan masyarakat. Bekerja merupakan fardlu kifayah, jika bekerja itu dapat mendorong kegiatan ekonomi yang dapat menghadirkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat. Selain itu, terdapat beberapa nilai syari’ah ataupun konsep dasar dalam bekerja, yaitu : kesungguhan dan kejujuran (Siddiq), keadilan, kepercayaan (Amanah) dan keikhlasan.
Negara yang merupakan unsur terpenting dalam menjalankan roda perekonomian suatu bangsa, mempunyai peranan untuk mengatur dan mengawasi jalannya kegiatan ekonomi tersebut. Akan tetapi, peran yang dijalankan oleh negara tidak berhubungan dengan intervensi atas kebebasan individu untuk memilih jenis pekerjaan yang diminati serta penetapan upah pekerja, adapun peran negara negara tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Menyediakan lapangan pekerjaan dengan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong para investor untuk melakukan investasi dalam kegiatan ekonomi demi tercapainya kemashlahatan bersama.
b.      Mengawasi jalannya kegiatan ekonomi, hubungan karyawan dengan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi proses produksi, serta menetukan tingkat upah dan waktu pembayaran.
c.       Mempunyai wewenang terhadap pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat krusial bagi kehidupan masyarakat atau pun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat.[1]
Menurut ibnu Taimiyah : ketika masyarakat sangat membutuhkan pertanian, tekstil maupan kontruksi bangunan, maka negara mempunyai wewenang untuk memaksa pihak tertentu untuk merealisasikannya. Akan tetapi, ketika adanya penolakan terhadap pekerjaan tersebut, tentunya tetap ada konpensasi. Tidak dimungkinkan bagi mereka untuk menerima tambahan atas kompensasi yang seharusnya mereka dapatkan, dan dimungkinkan bagi masyarakat untuk menuntut mereka, dengan memberikan sesuatu yang bukan haknya.[2]
Penjelasan Ibnu Taimiyah tersebut, merupakan penegasan terhadap eksistensi karyawan berhak mendapatkan upah atas segala sesuatu yang telah dilakukan, dalam hal ini pemberian upah kepada para karyawan atas jerih payah dan usaha  yang dilakukan merupakan kewajiban dalam syari’ah. Ketentuan tersebut untuk menghapus sistem feodalisme yang mengeksploitasi pikiran dan tenaga karyawan. Kendatipun tidak ada ketentuan yang baku terhadap jenis upah dan mekanisme pembayarannya, tetapi proses pengupahannya tetap berdasarkan prinsip keadilan. Penetuan kadar dan jumlah upah yang harus diberikan kepada karyawan tidak hanya berdasrkan kekuatan pasar yang terkadang merugikan salah satu pihak. Upah yang diberikan kepada karyawan harus mencapai “had al kifayah”(batas kecukupan), yakni mengcover kebutuhan diri dan keluarga.proses pembayaran upah tersebut harus utuh tanpa adanya unsur penundaan yang disengaja.
Rasulullah SAW bersabda : “berikanlah upah kepada para pekerja, sebelum kering keringatnya” (ibnu Majah dan Thabari, jilid I)
Hubungan yang terjadi antara pengusaha dan karyawan merupakn hubungan kerja (kontrak). Pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi terhadap kesepakatan yang ada. Pemerintah hanya memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengatur kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dapat dilaksanakan ketika adanya tindak ekploitasi terhadap pembeli dan konsumen. Pemerintah bisa melakukan penegasan (pemaksaan) terhadap pengusaha dan karyawan untuk melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dalam kondisi tersebut, intervensi pemerintah merupakan suatu kewajiban dalam mencegah eksploitasi maupun kriminalitas ekonomi. Dalam hal ini ibnu Taimiyah berpendapat “pemerintah mempunyai hak intervensi dalam kegiatan ekonomi, khususnya dalam melakukan ijbar terhadap pihak yang terkait dalam melakukan kegiatan produksi guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Atas usaha yang telah dilakukan, pihak terkait berhak mendapatkan kompensasi. Upah yang diberikan pemerintah harus setimpal, dan begitu juga sebaliknya. Usaha yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan bentuk penentuan kerja.[3]

 B.     Antara upah dan permintaan tenaga kerja
  Pihak pengguna tenaga kerja adalah pemakai jasa atau keahlian seorang tenaga pekerja. Besar kecilnya permintaan akan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah riil yang harus ditaggung oleh pengguna tenaga kerja. Apabila upah riil yang harus ditanggung pengguna tenaga kerja relatif tinggi, maka permintaan akan tenaga kerja menurun. Sebaliknya, apabila upah riil yang harus ditanggung relatif murah, permintaan akan tenaga kerja meningkat.
 Apabila tingkat upah nominal diasumsikan konstan, pergerakan harga akan berdampak pada tingkat upah riil yang diterima pekerja. Apabila terjadi kenaikan harga secara umum, tingkat upah riil akan turun, demikian pula sebaliknya. Pada gambar dibawah ini menggambarkan permintaan akan tenaga kerja dengan memperhitungkan tingkat upah riil yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja dengan memperhitungkan tingkat upah riil yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja yang sudah memperhitungkan upah riil dapat menghindarkan resiko terjadinya khayalan uang (money illusion)
Gambar (b) menunjukan permintaan akan uang yang didasarkan atas nilai nominal yang dibayarkan kepada tenaga kerja. Dalam hal ini, seorang pengguna tenaga kerja dapat melakukan kekeliruan dalam menghitung upah riil yang harus dibayarkan jika parameter yang digunakan didasarkan pad nilai nominal upah, bukan nilai riil upah. Artinya pengguna jasa dapat terkena resiko money illusion.[4]
C.    Antara tenaga kerja dan tingkat pengangguran

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa semakin tinggi angka upah yang diberikan kepada para pekerja maka semakin kecil permintaan terhadap tenaga kerja, hal ini tentunya akan berakibat pada tingkat pengangguran yang terjadi.
Pengangguran dalam suatu negara adalah perbedaan diantara tingkat angkatan kerja dengan pengguna tenaga kerja yang sebenarnya. Yang dimaksudkan dengan angkatan tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu. Untuk menentukan angkatan kerja diperlukan dua informasi, yaitu (1) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun, dan (2) jumlah penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun dan tidak ingin bekerja (contohnya adalah pelajar, Mahasiswa, ibu rumah tangga). Jumlah penduduk dalam golongan (1) dinamakan Penduduk usia kerja, dan penduduk dalam golongan (2) dinamakan Bukan angkatan kerja. Dengan demikian angkatan kerja dalam suatu periode tertentu dapat dihitung dengan mengurangi jumlah penduduk dalam (1) dari jumlah penduduk dalm (2). perbandingan diantara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja (dinyatakan dalam persen) dinamakan tingkat partisipasi angkatan kerja,[5] dengan perhitungan sebagai berikut :
 
                                    Angkatan Kerja           
Tingkat partisipasi angkatan kerja        =          -------------------   X  100 %
                                                                                    Pddk usia Kerja  

            Jumlah pengangguran = Angktn Kerja - Pengguna tenaga kerja yang sebenarnya

                                                                                    Jml pengangguran
            Tingkat pengangguran                          =          ---------------------- X 100%
                                                                                      Angkatan Kerja
 Contoh : Dalam suatu daerah jumlah orang yang tergolong sebagai penduduk usia kerja berjumlah 10.000.000 jiwa tetapi hanya sebanyak 7.500.000 jiwa yang tergolong sebagai angkatan kerja. Diantara angkatan kerja tersebut sebanyak 7.000.000 orang mempunyai pekerjaan, berapa tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat penganggurannya ?
Jawab :
Diketahui :
Penduduk usia kerja                                  =  10.000.000 jiwa
Angkatan kerja                              `           =    7.500.000 jiwa
Pengguna kerja sebenarnya                       =    7.000.000 jiwa
Maka,
7.500.000 jiwa           
Tingkat partisipasi angkatan kerja =          -------------------   X  100 %
                                                                              10.000.000 jiwa
                                                                  =          75 %
Jumlah pengangguran                               =          7.500.000 – 7.000.000
                                                                  =          500.000 jiwa
                                                                              500.000 jiwa
Tingkat pengguran                                    =          ---------------------- X 100%
                                                                              7.500.000 jiwa
                                                                  =          6,6  %
 Dalam prakteknya suatu negara dianggap sudah mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (atau kesempatan kerja penuh) apabila dalam perekonomian tingkat penganggurannya adalah kurang dari 4 persen.[6]
 PENUTUP
 Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, semakin tinggi upah riil yang diterima oleh pekerja maka semakin kecil permintaan pengguna kerja terhadap tenaga kerja, hal in tentunya berakibat pada makin banyaknya angka pengangguran karena penawaran akan pekerjaan lebih sedikit dibadingkan dengan permintaan yang diajukan oleh para pekerja.
Menganai penatapan jumlah pekerja dan berapa upah yang harus diterima olehnya pemerintah tidak dapat menetukan secara pasti mengenai hal tersebut, pemerintah hanya mencangkan jumlah upah minimum yang harus diterima oleh para pekerja, adapun selain itu pemerintah berperan juga dalam beberapa hal yang menyangkut hubungan antara pekerja dan pengguna kerja (pengusaha)antara lain :
  1. Menyediakan lapangan pekerjaan dengan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap warga, serta mendorong para investor untuk melakukan investasi dalam kegiatan ekonomi demi tercapainya kemashlahatan bersama.
  2. Mengawasi jalannya kegiatan ekonomi, hubungan karyawan dengan pengusaha, menciptakan suasana kondusif bagi proses produksi, serta menetukan tingkat upah dan waktu pembayaran.
  3. Mempunyai wewenang terhadap pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekonomi yang bersifat krusial bagi kehidupan masyarakat atau pun melarang kegiatan ekonomi yang dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat. Wallahu a’lam
 Kritik dan sarannya sangat kami harapkan, Sekian,,,,,
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, : IIIT Indonesia, Jakarta, 2002
Marthon,Said Sa’adalah, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Ed. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Taimiyah, Ibnu, dan Syaikh al Islam Taqiyyudin Ahmad, al Hisbah Fi al Islam, Pent : Sa’ad Said Marthon, al Musasaah al Sa’idiyyah, Riyadh, nt

[1] DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 50
[2] Ibnu Taimiyah, Syaikh al Islam Taqiyyudin Ahmad, al Hisbah Fi al Islam, Pent : Sa’ad Said Marthon, (Riyadh : al Musasaah al Sa’idiyyah, nt), h. 50
[3] DR, Sa’ad Marthon, Op.cit, hal.51
[4] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta : IIIT Indonesia, 2002), hal. 218
[5] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Ed. III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. XIX, hal.19
[6] Ibid,

No comments:

Post a Comment