MAKALAH
IJARAH
Disusun Oleh :
Zainab Khairunnisa / 05.1202.0028
Herniyanti / 03.1202.0008
JURUSAN / PRODI
: SYARI’AH / MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SAMARINDA
PENDAHULUAN
Sebelum dijelaskan mengenai ijarah,
terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri.
Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa
ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun
dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan
Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq
menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan
terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa
dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk
benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah
adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari
ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan
dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini
dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan sewa-menyewa.
PEMBAHASAN
1. Arti Ijarah
Menurut etimologi, ijarah
adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).[1]
Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi
keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan
dan lain-lain.[2]Demikian
pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah:
عقد على المنافع بعوض
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض
معلوم.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan
mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu
dengan pengganti.”
Ada yang menterjemahkan, ijarah
sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia,
ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
Jumhur ulama fiqh
berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah
manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon
untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya,
dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun
sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan
hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka
gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[3]
2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah.
Hampir semua ulama
fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam. Namun ada sebagian yang
tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak
dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan
jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati
ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak
berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan (adat). Dan
mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat
terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari
manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada
dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi
dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai
berikut:
a. Al-Qur’an
فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن (الطلاق: 6)
Artinya:
Jika mereka menyusukan
(anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
b. As-Sunnah
اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c. Ijma’
Umat Islam pada
masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.
3. Rukun Ijarah
Menurut ulama
Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu,
yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa),
antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’,
dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah
ada empat (4), yaitu:
1.
‘Aqid
(orang yang berakad)
2.
Shighat
akad
3.
Ujrah
(upah)
4.
Manfaat[5]
a.
Manfaat
yang berharga
b.
Keadaan
manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
c.
Diketahui
kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun,
atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta
sampai ke Bogor.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad,
sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.[6]
4. Syarat-Syarat Ijarah
Sebagai sebuah transaksi umum,
ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana
yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat ijarah
adalah sebagai berikut:
a.
Al-Muta’aqidain
(kedua orang yang berakad). [7]
- Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal.
- Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh, anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.
b.
Kedua
belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
c.
Manfaat
yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak
muncul perselisihan dikemudian hari.
d.
Obyek
ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e.
Obyek
ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f.
Yang
disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g.
Objek
ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan
hewan tunggangan.
h.
Upah/sewa
dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i.
Ulama
Hanafiyah mengatakan sewa/upah itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
5. Sifat Ijarah
Para ulama fiqh
berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah
pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[8]
Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang
meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena
termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalakn akad ijarah.
6. Hukum Ijarah[9]
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan
tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih,
sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah
rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi
orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi,
jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni
harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
7. Macam-Macam Ijarah
Ijarah terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:[10]
a.
Ijarah
yang bersifat manfaat, umpamanya adalah
sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu
merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama
sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan
barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.
Ijarah
yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara
mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama
ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan,
tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain. Ijarah ini ada yang
bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang
bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan
lain-lain. Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.
8. Perbedaan Diantara Yang Akad
Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang
melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau
diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan
maupun sesudah jasa diberikan.
Apabila terjadi
perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana
disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه
اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya
harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR.
Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam Syafi’I)
Hadist tersebut
meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah. Dengan
demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.
9. Berakhirnya Akad ijarah
Para
ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
a.
Tenggang
waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
b.
Menurut
ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut
mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad
ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat,
menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu
mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c.
Objek
hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
d.
Menurut
ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang
disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah
batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad
ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh
muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk
menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu
pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh
mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau
manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda
banjir.
PENUTUP
Dari penjelasan dan
pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat
disimpulkan bahwa:
- Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
- Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat
Madzhab, Semarang:
Asy-Syifa, 1993
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap),
Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang:
Asy-Syifa, 1990
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka
Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya media
Pratama, 2000
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002
[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.121
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Gaya media
Pratama, 2000), h.228
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung:
Sinar Baru Algensido, 1994), h.304
[4] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang:
Asy-Syifa, 1990), h. 196
[5] Sulaiman Rasjid, Ibid, h.304
[6] Nasrun Haroen, Op.Cit, h.231
[7] Nasrun Haroen, Op.Cit, h.
[8] Rachmat Syafe’I, OP.Cit, h. 130
[9] Rachmat Syafe’I, OP.Cit, h. 131
[10] Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang:
Asy-Syifa, 1993), h.169-170
No comments:
Post a Comment