Wednesday, April 16, 2014

Ijarah (Sewa- Menyewa)


MAKALAH
IJARAH
Disusun Oleh :
Zainab Khairunnisa / 05.1202.0028
Herniyanti / 03.1202.0008
 JURUSAN / PRODI : SYARI’AH / MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SAMARINDA

PENDAHULUAN
Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yangmana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepad kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa.
PEMBAHASAN
1. Arti Ijarah
            Menurut etimologi, ijarah adalah  بيع المنفعة (menjual manfaat).[1] Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.[2]Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah:

عقد على المنافع بعوض

Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
            Ada yang menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari  barang. Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.
            Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[3]
2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah.

            Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam. Namun ada sebagian yang tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasan (adat). Dan mengenai hal ini dapat dikatakan bahwa meski tidak terdapat manfaat pada saat terjadinya akad, tetapi pada dasarnya akan dapat dipenuhi. Sedang dari manfaat-manfaat tersebut, hukum syara’ hanya memperhatikan apa yang ada pada dasarnya yang akan dapat dipenuhi, atau adanya keseimbangan antara dapat dipenuhi dan tidak dapat dipenuhi.[4]
Landasan ijarah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an

فان ارضعن لكم فاتوهن اجورهن (الطلاق: 6)

Artinya:
Jika mereka menyusukan  (anak-anakmu)untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.”  (QS. Ath-Thalaq: 6)
b. As-Sunnah

اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه. (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)

Artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
c. Ijma’
            Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.
3. Rukun Ijarah
            Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah  itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa), antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’, dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah ada empat (4), yaitu:
1.      ‘Aqid (orang yang berakad)
2.      Shighat akad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat[5]
a.       Manfaat yang berharga
b.      Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
c.       Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor.
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.[6]
4. Syarat-Syarat Ijarah
 Sebagai sebuah transaksi umum, ijarah dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, sebagaimana yang berlaku secara umum dalam transaksi lainnya. Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
a.       Al-Muta’aqidain (kedua orang yang berakad). [7]
  • Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal.
  • Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh, anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap sah apabila disetujui oleh walinya.
b.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
c.       Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
d.      Obyek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e.       Obyek ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f.       Yang disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan.
h.      Upah/sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i.        Ulama Hanafiyah mengatakan sewa/upah itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
5. Sifat Ijarah
            Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.[8] Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalakn akad ijarah.
6. Hukum Ijarah[9]
            Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
            Adapun hukum ijarah rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah  fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
7. Macam-Macam Ijarah
            Ijarah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[10]
a.       Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.      Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain. Ijarah ini ada yang bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan lain-lain. Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.
 8. Perbedaan Diantara Yang Akad
            Seringkali terjadi perbedaan pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
            Apabila terjadi perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد والشافع)
Artinya:
“Jika terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam Syafi’I)
            Hadist tersebut meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah. Dengan demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.
9. Berakhirnya Akad ijarah
             Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
b.      Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
c.       Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar.
d.      Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan akad  ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir.
  
PENUTUP

Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat disimpulkan bahwa:
  • Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
  • Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, Semarang: Asy-Syifa, 1993
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa, 1990
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya media Pratama, 2000
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997

[1] Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h.121
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya media Pratama, 2000), h.228          
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), h.304
[4] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatu’l Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa, 1990), h. 196
[5] Sulaiman Rasjid, Ibid, h.304
[6] Nasrun Haroen, Op.Cit, h.231
[7] Nasrun Haroen, Op.Cit, h.
[8] Rachmat Syafe’I, OP.Cit, h. 130
[9] Rachmat Syafe’I, OP.Cit, h. 131
[10] Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzhab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h.169-170

No comments:

Post a Comment