Friday, April 18, 2014

Nikah Lewat Telepon

PENDAHULUAN

Nikah adalah salah satu pokok hidup yang utama dalam pergaulan dan bermasyarakat yang sempurna. Bukan saja pernikahan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan menjaga keturunan, tetapi pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lainnya serta perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan bertolong-tolongan satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian pernikahan adalah pertalian yang sesungguhnya dan seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan keturunannya saja, bahkan antara kedua keluarga. Betapa tidak ? dari sebab pergaulan baik antara si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi serta kebaikan-kebaikan yang lainnya. Kebaikan itu akan berpindah kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong antara sesama dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, model dan corak pernikahpun semakin berkembang, antara lain pernikahan yang akadnya lewat telepon, dimana pernikahan tidak lagi harus secara langsung berhadap-hadapan antara mempelai lelaki dengan mempelai perempuan atau dengan pihak lain yang terkait dalam pernikahan (wali atau saksi). Oleh karenanya saya selaku penulis ingin mencoba membahas sedikit mengenai model corak pernikahan lewat telepon yang coba penulis paparkan dalam sebuah makalah yang diberi judul NIKAH VIA TELEPON

NIKAH VIA TELEPON
A.    Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Nikah
Nikah secara bahasa artinya berkumpul dan bercampur sedangkan secara istilah fikih nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulah (kumpul dan campur bareng) antara lelaki dan seorang perempuan dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah (bahagia), mawaddah (kekal), dan rahmah (sejahtera) dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Adapun rukun dari nikah itu sendiri secara umum terdiri dari; 1) Kedua mempelai; 2) Adanya wali dari pihak mempelai wanita; 3) Adanya dua orang saksi, dan 4) akad nikah (ijab kabul) dimana dari masing-masing rukun itu sendiri terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi demi sahnya sebuah perkawinan, syarat-syarat tersebut yaitu; 1) Kedua mempelai haruslah dari keluarga yang berbeda, maksudnya bukan dari adanya nasab, semenda ataupun dari anak sesusuan; serta tidak ada paksaan serta nyata 2) untuk wali dan dua orang saksi haruslah orang islam, baligh, berakal, merdeka dan haruslah seorang lelaki, serta adil;[2]   
B.     Nikah Melalui Telepon.
Nikah melalui telepon dapat diartikan sebagai suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya dilakukan melalui telepon, jadi antara mempelai lelaki dengan mempelai perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertatapan. Tetapi sebelum mengkaji lebih dalam mengenai hukum dari nikah yang dilakukan lewat telepon, saya ingin mencoba mengangkat sebuah kasus pernikahan (kasus ini saya ambil dari situs www.majalahindonesia.com)[3] antara Rita Sri Mutiara Dewi yang berasal dari Jln. Cibeureum, Cimahi, dengan Wiriadi Sutrisno yang berasal di California, Amerika Serikat. Dimana perkawinan mereka dilakukan lewat internet dengan hanya memandang lewat layar screen.
Dari kasus tersebut penulis ingin sedikit mengemukakan tentang beberapa hal yang pernikahan melaluli telepon, setidaknya ada beberapa pendapat yang mengomentari masalah ini, pendapat-pendapat tersebut antara lain;
Pertama, membolehkan, para ulama yang membolehkan nikah yang akadnya lewat telepon mengatakan bahwa nikah yang seperti ini sebenarnya sudah digambarkan dalam masa Rasulullah, hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits
Artinya :“Bahwasanya Umu Habibah adalah Istri Ubaidillah bin Jatsy. Ubaidillah meninggal di negeri Habasyah, maka raja Habasyah (semoga Allah memberi rahmat kepadanya) menikahkan Umu Habibah kepada Nabi SAW, ia bayarkan maharnya 4000 dirham, lalu ia kirimkan Umu Habibah kepada Nabi SAW bersama Surah Bil bin Hasanah lalu Nabi SAW menerimanya.” (H.R Abu Daud dan Nasa’i)[4]
 Dalam hadits di atas para Ulama yang mengemukakan diperbolehkanya nikah tanpa adanya pertemuan antara kedua mempelai itu berpendapat bahwa menikahkan seorang wanita kepada seorang laki-laki tanpa keduanya itu boleh-boleh saja, asal kedua-duanya sama-sama suka. Bahkan menurut mereka (ulama) menurut mereka model pernikahan seperti ini jauh lebih aman asal sudah saling mengetahui watak dan kepribadian masing-masing sebelumnya.
Kedua, tidak membolehkan, kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa pernikahan melalui telepon itu tidak sah itu disebabkan karena faktor ketidak jelasan dari si mempelai baik mempelai lelaki maupun dari pihak perempuan, hal ini disebabkan karena dapat memungkinkan adanya unsur penipuan sebab suara yang didengarkan lewat telepon dapat dipalsukan artinya hal ini dapat menyebabkan adanya ketidak jelasan dalam perkawinan itu sendiri. Padahal dalam sebuah perkawinan diantara sarat dari kedua mempelai adalah adanya kejelasan mempelai itu sendiri, sedangkan dalam nikah model ini menurut mereka dianggap kurang adanya kejelasan adanya mempelai.
Berdasarkan kedua pendapat di atas penulis mencoba menawarkan sebuah kesimpulan yang sedikit berbeda dengan keduanya, yaitu dengan membolehkan sebuah pernikahan tanpa mempertemukan kedua mempelai secara langsung, dalam hal ini melalui telepon dengan syarat dengan harus menampilkan gambar orang yang berbicara (melalui teleconference atau percakaan di telepon/internet yang langsung bisa bertatap muka satu sama lainnya) hal ini dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan seperti yang telah dipaparkan oleh pendapat kedua maka penulis menganjurkan adanya visualisasi.
 PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa pernikahan yang dilakukan melalui telepon itu sah-sah saja asalkan adanya kejelasan dari yang menelepon, untuk menghindari adanya ketidakjelasan orang melakukan perkawinan yang melalui tetlepon maka perkawinan yang diperbolehkan adalah perkawinan yang melalui tetconference atau telepon yang dilengkapi dengan tampilan gambar orang yang menelepon atau lewat jalur internet.  Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman, Fiqh islam, Bandung : PT. Sinar Baru, 1987
Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah, Pent. : Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : PT. Al Ma’arif, 1987,Cet. I
Qurrah,Abu., Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1997

[1] Lihat di Sulaiman Rasjid, Fiqh islam, ( Bandung : PT. Sinar Baru, 1987), hal. 354
[2] Bandingkan dengan  Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pent. : Kamaluddin A. Marzuki (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1987),Cet. I, hal. 355-357
 [3] Untuk lebih lanjutnya penulis cantumkan isi artikel tersebut Pagi itu, Rabu (11/1), kesibukan di Kantor Plasa Telkom Setiabudi Bandung, Jawa Barat terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Belasan orang menyesaki ruang net meeting. Ruang berukuran 5 X 6 meter tersebut biasa digunakan untuk menggelar rapat melalui video conference. Tanpa harus bertatap muka secara langsung, meeting bisa digelar dengan mereka yang berada di lokasi berbeda.
Nah, yang membuat agak istimewa, teknologi net meeting digunakan untuk menyatukan dua anak adam yang terpisahkan jarak ribuan kilometer dalam satu mahligai perkawinan. Mempelai wanita, Rita Sri Mutiara Dewi yang berasal dari Jln. Cibeureum, Cimahi, berada di Kantor Plasa Telkom Bandung, sementara mempelai pria, Wiriadi Sutrisno berada di California, Amerika Serikat. Praktis, wajah Tris –sapaan Wiriadi— hanya bisa dilihat melalui layar screen. Ia berada di suatu ruangan ditemani rekannya yang bertindak sebagai saksi.
Tepat pukul 08.30 WIB, ijab kabul dimulai. Sohidin Efendi yang bertindak sebagai penghulu, langsung bertanya kepada calon mempelai putri yang pagi itu mengenakan busana muslim warna krem dan coklat muda “Apa benar orangnya seperti itu? Seperti yang ada di tembok,” tanya penghulu dari kecamatan Andir. Yang dimaksud tembok oleh Sohidin adalah layar screen. Tanpa ragu, wanita berjilbab itu mengangguk.
Jawaban Rita membuat Sohidin tak ingin berbasa-basi lagi. Meski calon mempelai pria tak hadir secara langsung layaknya perkawinan pada umumnya, toh ada saksi, wali kedua mempelai serta beberapa kerabat dari calon pengantin. Tidak ketinggalan, sebuah mas kawin emas 20 gram dikemas dalam wadah keranjang berbentuk hati dengan balutan kain warna silver. “Apa Mas Tris di sana sudah siap?” Pertanyaan itu diajukan Sohidin untuk memastikan bahwa calon mempelai pria sudah ready. Begitu mendapat jawaban siap dari lelaki yang meng-gunakan jas warna gelap berikut peci hitam itu, acara pun dimulai.
Runutan acara yang memakan waktu tak lebih dari setengah jam itu, tak ubahnya pernikahan secara islami pada umumnya. Begitu Tris selesai mengucapkan ijab kabul, Sohidin langsung bertanya kepada hadirin, “Bagaimana sah?”. Spontan, terdengar suara sah secara serentak. Yang membuat agak berbeda, surat nikah tidak ditandatangani mempelai pria secara langsung. Surat nikah terpaksa harus difaks untuk ditandatangani Tris. Acara jabat tangan antara mempelai pria dengan wali saat ijab kabul diucapkan tak bisa dilakukan. Begitu juga dengan acara sungkeman mempelai pria dengan Ny Erawan, ibunda dari Rita, tak bisa dilangsungkan. Meski demikian, Rita tetap sumringah. “Senang, acara bisa berlangsung lancar,” tutur Rita, bersyukur. ..coba anda lihat di www.majalahindonesia.com
[4] Hadist ini saya ambil di Abu Qurrah, SH. JRN., Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui Internet, (Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1997), hal. 84

1 comment: