Friday, January 3, 2014

Islam Dan Partai Politik Dalam Pandangan Nurcholis Madjid


Haidar Bagir dalam sebuah kesempatan pernah melontarkan tesis ihwal—dalam istilahnya—revolusi umat Islam Indonesia. CEO dari Penerbit Mizan—sebuah penerbit Islam besar—itu menuturkan tentang tiga gelombang revolusi umat Islam di Indonesia yang kesemuanya berlangsung dalam tiga dekade terakhir. Revolusi pertama menurut Haidar Bagir dimulai di tahun 70-an tatkala terjadi booming kelas menengah muslim. Booming ini bisa dipahami, oleh sebab terbukanya akses kelompok santri untuk memasuki perguruan-perguruan tinggi, dan pendidikan adalah sarana yang paling efektif untuk melakukan mobilitas vertikal. Efek dari mobilitas vertikal ini kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya dan memapan hingga saat sekarang ini. Contoh yang paling sering dipakai untuk menandai kemunculan kelas menengah muslim ini adalah berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di tahun 1990.
Untuk revolusi yang kedua Haidar menandainya dengan kemunculan sistem Iqra, sebuah sistem cepat untuk dapat membaca al-Quran. Sistem ini diciptakan oleh seorang ustadz bernama As’asd Humam dari Kota Gede Yogyakarta. Dengan sistem ini anak-anak muslim secara cepat dapat membaca al-Quran dengan benar. Lewat sistem yang muncul ditahun 80-an ini pula terjadi pemasalan pengajian anak-anak yang dikemudian hari dikenal dengan nama TPA (Taman Pengajian Al Qur’an). Hal ini bagi orang tua-orang tua muslim adalah sesuatu yang menggembirakan karena generasi muda muslim tidak lagi mengalami buta huruf Al-Quran.
Sedangkan untuk revolusi yang ketiga ia menandainya dengan kemunculan genre sastra Islam yang merebak tahun-tahun belakangan ini. Fenomena ini bisa disimak dari bermunculannya buku-buku sastra fiksi Islam. Sastra fiksi islam ini cukup punya tempat di hati peminat sastra bahkan untuk sebagian ia menciptakan komunitas peminat sastra yang sebelumnya cukup asing dengan dunia sastra. Ini misalnya bisa dilihat dari terbentuknya sebuah forum yang disebut sebagai Forum Lingkar Pena diberbagai kota di Indonesia. Forum ini mewadahi kaum muda muslim yang berminat pada dunia kepenulisan dan secara rutin mengadakan pertemuan untuk mengasah kemampuan dalam bidang tulis-menulis.
Menarik untuk menyimak apa yang dituturkan oleh Haidar Bagir perihal tiga revolusi umat Islam Indonesia diatas, dan perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Menarik, karena bukti yang diajukan oleh Haidar tersebut keluar dari kerangka politik-formal yang lazimnya dipakai oleh akademisi selama ini—baik dalam maupun luar negeri—untuk memahami dinamika umat Islam Indonesia. Seperti yang bisa kita lacak dalam berbagai literatur tentang Islam Indonesia, maka dengan saksama bisa kita tahu bahwa pendekatan dalam kajian-kajian Islam Indonesia selama ini beroperasi dengan asumsi-asumsi politis. Contoh-contoh yang diajukan oleh Haidar tersebut bersifat mikro sekaligus kultural dan karenanya ia berkaitan langsung dengan masa riil umat yang mengalami ketiga revolusi tersebut. Bahwa ketiga bentuk revolusi tadi tak bisa dilepaskan dalam konteks sosio-politik tentu adalah hal yang pasti. Tapi ketiganya muncul sebagai inisiatif yang genuine tanpa terlalu banyak campur tangan dari kuasa formal, disitu menariknya
Lain dari itu, tesis Haidar tersebut juga perlu untuk didiskusikan lebih jauh, mengapa? Jika kita menyimak Majalah TEMPO edisi jelang coblosan 5 April 2004, yang menurunkan laporan utama tentang partai pilihan umat Islam dengan judul: Ummat Islam Pilih Partai Apa?, Maka keperluan dan signifikansi untuk mendiskusikan tesis Haidar Bagir tadi menemukan momennya yang pas.
Berkait dengan laporan itu sendiri, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada yang baru dalam penyajiannya bahkan bisa dibilang cenderung mengulang pandapat-pendapat yang muncul selama ini. Entahlah dengan alasan apa pihak redaksi TEMPO memilih subjek itu sebagai coverstory. Hanya saja satu hal yang bisa disimpulkan dari pemilihan laporan itu, bahwa ekspresi politik umat masih mempunyai daya magnetik yang kuat. Sebenarnya menarik mencermati teks judul laput yang memerlukan tanda tanya (?), karena jika membaca paparan didalamnya maka cepat terbaca bahwa TEMPO justru berseru: partai politik Islam ternyata tidak menjadi pilihan umat!tak ada nada tanya disitu.uraiannya terbaca jelas, gamblang dan nyaring.
Laporan TEMPO tersebut didasarkan atas hasil pemilu 1999 dan survei dari berbagai lembaga semacam Lembaga Survei Indonesia dan lembaga sejenis lainnya. Dari situ bisa disimpulkan bahwa perubahan konstelasi politik dan pergeseran sosiologis yang dialami umat Islam tidak serta merta mengubah content isu-isu yang dihadapi umat. Dan sayangnya ini ditambah dengan ketidakjelian pihak “luar” dalam melakukan pembacaan terhadap umat sehingga bagi mereka tetap saja umat ini hanya tahu satu hal : politik, titik.
Membandingkan tesis yang diajukan oleh Haidar Bagir dan laporan utama TEMPO tersebut, maka sebenarnya kita berada pada situasi dimana kita sesungguhnya memerlukan model analisis baru dalam membaca umat. Sebuah model pembacaan yang tidak melulu berkisar pada politik-kuasa an sich. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah : pembacaan yang seperti apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kondisi sosiologis umat Islam saat ini? Enam tahun pascareformasi kita bisa mencatat bahwa belum ada yang mampu menawarkan daya baca yang utuh perihal dinamika yang terjadi di dalam tubuh umat Islam. Kita tampaknya masih memakai kacamata lama untuk menganalisis gejala sosial baru.
Jika mencermati uraian-uraian dan diskursus yang berlangsung selama ini tampak—dan dengan daya kepekatan yang tinggi—variabel politik mendominasi pembacaan kita selama ini. Bahkan untuk literatur-literatur yang mencoba keluar dari pembacaan mainstream itu terlihat masih terjebak dengan kerangka pikir politis tersebut.
Pengertian umat pun sebagai entitas masih saja dieja sebagai sesuatu yang tunggal dan steril. Tunggal dalam artian kita kadang suka membacanya dengan homogen, seorang bisa dimasukkan kedalam kategori umat bila ia ikut sebuah partai politik Islam. Sehingga pengertian umat selama ini dipahami dalam relasinya dengan kuasa dan negara. Kalau kita mencoba membuka-buka kembali literatur yang ada maka dengan sedikit kecermatan akan segera kita temukan betapa umat ini ternyata begitu risau jika sudah menyangkut problem kuasa. Bila begitu maka seolah-olah umat hanya punya satu masalah: kuasa dan negara.
Dan soal steril, umat masih kita baca sebagai suatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari faktor-faktor eksternal diluarnya. Semisal pemakaian terma abangan-santri. Jika kita masih saja memakai terma ini dalam diskursus soal umat maka dapat dipastikan kita memahami umat tinggal di hutan belantara yang tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan dunia luar berikut perubahan-perubahan cepat yang menyertainya. Untuk konteks tahun 50-an Geertz bolehlah cukup jeli dalam amatannya, tapi jika model baca itu tetap kita pakai untuk konteks awal abad 21 ini, padahal kaum antropolog sudah meninggalkan kategorisasi masyarakat semacam itu maka ada baiknya kita segera bertanya: benarkah masyarakat memang tidak berubah atau jangan-jangan kita yang telah memaksakan kerangka pembacaan terhadap realitas sosial yang sejatinya telah berubah?
Sebenarnya untuk saat ini ada tawaran baru dalam membaca umat yaitu model dekonstruksi terhadap teks agama. Bagi mereka yang memakai model ini, problem umat dipahami bermula dari cara baca, memahami dan penafsiran terhadap teks-teks agama, dalam hal ini ayat-ayat Al-Quran. Sebenarnya model ini masih tidak dapat menjelaskan realitas sosiologis-psikologis umat. Model baca tersebut masih mengandaikan bahwa umat sama sekali tidak mengalami perubahan sosio-kultural. Model baca ini sangat bersifat deduktif dan tidak berangkat dari lapangan, banyak dari tesis-tesisnya melihat bahwa umat masih dipahami dalam kerangka politis, padahal saat ini konstelasi sosio-politis-budaya umat telah berubah. Kalangan terpelajar dalam kategori ini masih saja mengusung isu-isu lama walau dengan penafsiran yang menurut mereka liberal: menjelaskan hubungan negara dengan agama.
Kita berkali-kali mengatakan bahwa partai politik Islam dalam Pemilu 99 dan 2004 tidak lebih dari 30%. Sebuah bukti untuk menegaskan bahwa Islam politik sudah tidak laku sebagai dagangan politik dan realitas umat sudah mengalami pergeseran. Tapi disaat yang sama kita sama sekali tidak melakukan kajian yang bersifat baru yang bisa menjelaskan realitas umat setelah usainya Islam politik. Dan jargon Islam Yes Partai Islam No tinggal selangkah lagi menemukan realitas sosialnya, maka penjelasan apa sesudahnya? Soal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Kuntowijoyo ketika ia melontarkan konsep tiga fase sejarah umat Islam: mitos, ideologi dan ilmu. Menurut Kuntowijoyo kita sekarang berada pada fase Ilmu, namun sayang kaum terpelajar kita masih saja asyik dengan mindset tahun 50-an.
(* Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI)

NB      : Tulisan dipresentasikan dalam diskusi rutin HMI Bulaksumur Sleman dan dimuat dalam Buletin HMI
              Disusun pada 11 August 2008

No comments:

Post a Comment