Haidar
Bagir dalam sebuah kesempatan pernah melontarkan tesis ihwal—dalam
istilahnya—revolusi umat Islam Indonesia. CEO dari Penerbit Mizan—sebuah
penerbit Islam besar—itu menuturkan tentang tiga gelombang revolusi umat Islam
di Indonesia yang kesemuanya berlangsung dalam tiga dekade terakhir. Revolusi
pertama menurut Haidar Bagir dimulai di tahun 70-an tatkala terjadi booming
kelas menengah muslim. Booming ini bisa dipahami, oleh sebab terbukanya akses
kelompok santri untuk memasuki perguruan-perguruan tinggi, dan pendidikan
adalah sarana yang paling efektif untuk melakukan mobilitas vertikal. Efek dari
mobilitas vertikal ini kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya dan
memapan hingga saat sekarang ini. Contoh yang paling sering dipakai untuk
menandai kemunculan kelas menengah muslim ini adalah berdirinya ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) di tahun 1990.
Untuk
revolusi yang kedua Haidar menandainya dengan kemunculan sistem Iqra, sebuah
sistem cepat untuk dapat membaca al-Quran. Sistem ini diciptakan oleh seorang
ustadz bernama As’asd Humam dari Kota Gede Yogyakarta. Dengan sistem ini
anak-anak muslim secara cepat dapat membaca al-Quran dengan benar. Lewat sistem
yang muncul ditahun 80-an ini pula terjadi pemasalan pengajian anak-anak yang
dikemudian hari dikenal dengan nama TPA (Taman Pengajian Al Qur’an). Hal ini
bagi orang tua-orang tua muslim adalah sesuatu yang menggembirakan karena
generasi muda muslim tidak lagi mengalami buta huruf Al-Quran.
Sedangkan
untuk revolusi yang ketiga ia menandainya dengan kemunculan genre sastra Islam
yang merebak tahun-tahun belakangan ini. Fenomena ini bisa disimak dari
bermunculannya buku-buku sastra fiksi Islam. Sastra fiksi islam ini cukup punya
tempat di hati peminat sastra bahkan untuk sebagian ia menciptakan komunitas
peminat sastra yang sebelumnya cukup asing dengan dunia sastra. Ini misalnya
bisa dilihat dari terbentuknya sebuah forum yang disebut sebagai Forum Lingkar
Pena diberbagai kota di Indonesia. Forum ini mewadahi kaum muda muslim yang
berminat pada dunia kepenulisan dan secara rutin mengadakan pertemuan untuk
mengasah kemampuan dalam bidang tulis-menulis.
Menarik
untuk menyimak apa yang dituturkan oleh Haidar Bagir perihal tiga revolusi umat
Islam Indonesia diatas, dan perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Menarik,
karena bukti yang diajukan oleh Haidar tersebut keluar dari kerangka
politik-formal yang lazimnya dipakai oleh akademisi selama ini—baik dalam
maupun luar negeri—untuk memahami dinamika umat Islam Indonesia. Seperti yang
bisa kita lacak dalam berbagai literatur tentang Islam Indonesia, maka dengan
saksama bisa kita tahu bahwa pendekatan dalam kajian-kajian Islam Indonesia
selama ini beroperasi dengan asumsi-asumsi politis. Contoh-contoh yang diajukan
oleh Haidar tersebut bersifat mikro sekaligus kultural dan karenanya ia
berkaitan langsung dengan masa riil umat yang mengalami ketiga revolusi
tersebut. Bahwa ketiga bentuk revolusi tadi tak bisa dilepaskan dalam konteks
sosio-politik tentu adalah hal yang pasti. Tapi ketiganya muncul sebagai
inisiatif yang genuine tanpa terlalu banyak campur tangan dari kuasa formal,
disitu menariknya
Lain
dari itu, tesis Haidar tersebut juga perlu untuk didiskusikan lebih jauh,
mengapa? Jika kita menyimak Majalah TEMPO edisi jelang coblosan 5 April 2004,
yang menurunkan laporan utama tentang partai pilihan umat Islam dengan judul:
Ummat Islam Pilih Partai Apa?, Maka keperluan dan signifikansi untuk
mendiskusikan tesis Haidar Bagir tadi menemukan momennya yang pas.
Berkait
dengan laporan itu sendiri, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada yang baru dalam
penyajiannya bahkan bisa dibilang cenderung mengulang pandapat-pendapat yang
muncul selama ini. Entahlah dengan alasan apa pihak redaksi TEMPO memilih
subjek itu sebagai coverstory. Hanya saja satu hal yang bisa disimpulkan dari
pemilihan laporan itu, bahwa ekspresi politik umat masih mempunyai daya
magnetik yang kuat. Sebenarnya menarik mencermati teks judul laput yang
memerlukan tanda tanya (?), karena jika membaca paparan didalamnya maka cepat
terbaca bahwa TEMPO justru berseru: partai politik Islam ternyata tidak menjadi
pilihan umat!tak ada nada tanya disitu.uraiannya terbaca jelas, gamblang dan
nyaring.
Laporan
TEMPO tersebut didasarkan atas hasil pemilu 1999 dan survei dari berbagai
lembaga semacam Lembaga Survei Indonesia dan lembaga sejenis lainnya. Dari situ
bisa disimpulkan bahwa perubahan konstelasi politik dan pergeseran sosiologis
yang dialami umat Islam tidak serta merta mengubah content isu-isu yang
dihadapi umat. Dan sayangnya ini ditambah dengan ketidakjelian pihak “luar”
dalam melakukan pembacaan terhadap umat sehingga bagi mereka tetap saja umat
ini hanya tahu satu hal : politik, titik.
Membandingkan
tesis yang diajukan oleh Haidar Bagir dan laporan utama TEMPO tersebut, maka
sebenarnya kita berada pada situasi dimana kita sesungguhnya memerlukan model
analisis baru dalam membaca umat. Sebuah model pembacaan yang tidak melulu
berkisar pada politik-kuasa an sich. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya
adalah : pembacaan yang seperti apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kondisi
sosiologis umat Islam saat ini? Enam tahun pascareformasi kita bisa mencatat
bahwa belum ada yang mampu menawarkan daya baca yang utuh perihal dinamika yang
terjadi di dalam tubuh umat Islam. Kita tampaknya masih memakai kacamata lama
untuk menganalisis gejala sosial baru.
Jika
mencermati uraian-uraian dan diskursus yang berlangsung selama ini tampak—dan
dengan daya kepekatan yang tinggi—variabel politik mendominasi pembacaan kita
selama ini. Bahkan untuk literatur-literatur yang mencoba keluar dari pembacaan
mainstream itu terlihat masih terjebak dengan kerangka pikir politis tersebut.
Pengertian
umat pun sebagai entitas masih saja dieja sebagai sesuatu yang tunggal dan
steril. Tunggal dalam artian kita kadang suka membacanya dengan homogen,
seorang bisa dimasukkan kedalam kategori umat bila ia ikut sebuah partai
politik Islam. Sehingga pengertian umat selama ini dipahami dalam relasinya
dengan kuasa dan negara. Kalau kita mencoba membuka-buka kembali literatur yang
ada maka dengan sedikit kecermatan akan segera kita temukan betapa umat ini
ternyata begitu risau jika sudah menyangkut problem kuasa. Bila begitu maka
seolah-olah umat hanya punya satu masalah: kuasa dan negara.
Dan
soal steril, umat masih kita baca sebagai suatu yang berdiri sendiri dan
terlepas dari faktor-faktor eksternal diluarnya. Semisal pemakaian terma
abangan-santri. Jika kita masih saja memakai terma ini dalam diskursus soal
umat maka dapat dipastikan kita memahami umat tinggal di hutan belantara yang
tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan dunia luar berikut perubahan-perubahan
cepat yang menyertainya. Untuk konteks tahun 50-an Geertz bolehlah cukup jeli
dalam amatannya, tapi jika model baca itu tetap kita pakai untuk konteks awal
abad 21 ini, padahal kaum antropolog sudah meninggalkan kategorisasi masyarakat
semacam itu maka ada baiknya kita segera bertanya: benarkah masyarakat memang
tidak berubah atau jangan-jangan kita yang telah memaksakan kerangka pembacaan
terhadap realitas sosial yang sejatinya telah berubah?
Sebenarnya
untuk saat ini ada tawaran baru dalam membaca umat yaitu model dekonstruksi
terhadap teks agama. Bagi mereka yang memakai model ini, problem umat dipahami
bermula dari cara baca, memahami dan penafsiran terhadap teks-teks agama, dalam
hal ini ayat-ayat Al-Quran. Sebenarnya model ini masih tidak dapat menjelaskan
realitas sosiologis-psikologis umat. Model baca tersebut masih mengandaikan
bahwa umat sama sekali tidak mengalami perubahan sosio-kultural. Model baca ini
sangat bersifat deduktif dan tidak berangkat dari lapangan, banyak dari tesis-tesisnya
melihat bahwa umat masih dipahami dalam kerangka politis, padahal saat ini
konstelasi sosio-politis-budaya umat telah berubah. Kalangan terpelajar dalam
kategori ini masih saja mengusung isu-isu lama walau dengan penafsiran yang
menurut mereka liberal: menjelaskan hubungan negara dengan agama.
Kita
berkali-kali mengatakan bahwa partai politik Islam dalam Pemilu 99 dan 2004
tidak lebih dari 30%. Sebuah bukti untuk menegaskan bahwa Islam politik sudah
tidak laku sebagai dagangan politik dan realitas umat sudah mengalami
pergeseran. Tapi disaat yang sama kita sama sekali tidak melakukan kajian yang
bersifat baru yang bisa menjelaskan realitas umat setelah usainya Islam
politik. Dan jargon Islam Yes Partai Islam No tinggal selangkah lagi menemukan
realitas sosialnya, maka penjelasan apa sesudahnya? Soal ini sebenarnya sudah
dilakukan oleh Kuntowijoyo ketika ia melontarkan konsep tiga fase sejarah umat
Islam: mitos, ideologi dan ilmu. Menurut Kuntowijoyo kita sekarang berada pada
fase Ilmu, namun sayang kaum terpelajar kita masih saja asyik dengan mindset
tahun 50-an.
(*
Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI)
NB : Tulisan dipresentasikan dalam diskusi rutin HMI
Bulaksumur Sleman dan dimuat dalam Buletin HMI
Disusun pada 11 August 2008
No comments:
Post a Comment