Thursday, August 15, 2013

ISLAM DAN HIGEMONI BUDAYA BARAT


ISLAM DAN HIGEMONI BUDAYA BARAT

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peredaran waktu merupakan kesempatan yang diberikan Allah Rabb semesta alam kepada makluknya untuk memperbaiki keadaan kearah yang lebih baik. Demikian seharusnya umat Islam berusaha untuk mencapainya dengan berjuang sepenuh daya dan upaya. Berbagai perjuangan keras telah dirintis oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam untuk mencapai kemuliaan Islam di atas dunia ini.
 Namun sungguh disayangkan, akhir-akhir ini sejumlah sarjana dan tokoh politik di kalangan umat Muslim secara terang-terangan mau bekerjasama dengan para orientalis Kristen dan Yahudi untuk ikut-ikutan menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur'an dan Hadits sudah kuno dan tidak relevan dengan zaman modern saat ini.[1] Mereka berupaya menjaring generasi Muslim dengan berbagai gerakan pemikiran, yang berkedok pembaharuan guna memisahkan Islam dari kehidupan sosial ummat ataupun mengkompromikan Islam dengan permasalahan kontemporer.  
Dengan menyadari adanya bahaya semacam yang tersebut di atas, perlu bagi kita untuk memperkokoh keyakinan, bahwa Islam merupakan tatanan yang komprehensif, yang melingkupi segala aspek kehidupan dunia dan ukhrawi; merupakan petunjuk atau jalan yang harus ditapaki manusia seluruhnya. Jalan tersebut telah dilengkapi dengan rambu-rambu syari'at yang sekiranya dapat diikuti manusia, niscaya mereka menjadi manusia-manusia yang selamat. Karena petunjuk itu datang dari wahyu Tuhan dan dapat diandalkan, maka ia menampilkan nilai-nilai moral yang ‘mutlak’ dan secara ‘tegas’ menentang elektisisme,[2] perubahan-perubahan dan relativitas moral.[3] 
Kejelasan Islam sebagai sumber konsep yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Terbukti pada abad-abad kejayaanya, Islam telah mengangkat martabat kaum kafir Arab sehingga mereka tampil sebagai bangsa reformator yang mewarnai dunia dengan tatanan kehidupan yang harmonis. Hal demikian menepis anggapan bahwa “Bangsa Arab yang telah membesarkan Islam”, akan tetapi sebenarnya Islam-lah yang membesarkan penganutnya.
1.      Islam Sebagai Sumber Hukum
Tegaknya supremasi hukum merupakan sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia, karena manusia membutuhkan jaminan keamanan dan ketenteraman hidup. Dan umat Islam meyakini  bahwa ketentuan hukum datangnya hanya dari Allah dan hanya Dia-lah yang berhak menetapkan hukum, sebagaimana tercantum dalam  al-Qur'an (Q.S: al-Maidah: 1,50):

... إن الله يحكم مايريد

Artinya: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

أفحكم الجهلية يبغون  ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون

Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?

Dalam hal ini hukum-hukum Allah disebut juga syari'at Allah atau syari'at Islam, diantaranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.       Hukum/syari'at Islam bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan oleh Rasulullah baik berupa al-Qur'an atau Sunnah.
b.      Hukum/syari'at Islam mengajarkan tentang persamaan hukum bagi setiap manusia, dan yang membedakan derajat manusia di hadapan Allah adalah keyakinan dan taqwanya.
c.       Hukum/syari'at Islam bersifat universal, mencakup semua aspek kehidupan manusia.
d.      Hukum yang menyangkut aspek aqidah, akhlak, dan ibadah mahdlah, ketentuannya bersifat baku, jelas, detail, dan final.
e.       Hukum/syari'at Allah mempunyai sanksi di dunia maupun di akhirat, sehingga bila pelanggar hukum di dunia belum menerima sanksi/balasan, maka di akhirat kelak pasti akan menerimanya. Sebagaimana yang termaktub dalam Q.S an-Nisa:123; al-Zalzalah: 7-8.[4]
2.      Islam dan Kekuasaan
Bagaimanapun cara untuk memberikan definisi terhadap politik, satu hal yang tidak dapat dingkari bahwa politik identik dengan kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaaan. Sehingga dalam pengertian sehari-hari, politik dihubungkan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan.[5]
Seorang Muslim harus memainkan peran dalam bidang ini, karena mengingat perlunya peranan politik sebagaimana yang mengatur dan menetukan arah kehidupan orang banyak, dimanapun kita berada tentunya ada peraturan yang harus ditaati seperti halnya negara. Agar kehidupan dunia sejalan dengan ajaran-ajaran Tuhan, dituntut adanya peran politikus yang memegang dakwah, sehingga terlahir aturan yang tidak menyesatkan, menjungkirbalikkan kebenaran, dan mengelabuhi masyarakat. Dengan kata lain, politik difungsikan sebagai alat dakwah, yang selanjutnya untuk mencapai tujuan sesungguhnya yakni pengabdian kepada Allah. Demikian kejelasan dalam Q.S al-An’am: 162.

قل إن الصلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله رب العلمين

Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’.”

Dalil tersebut secara jelas menolak sekularisasi, karena seorang Muslim percaya terhadap Hari Akhir dan akan mempertanggungjawabkan baik-buruk amal yang telah dilakukannya selama hidup di dunia.
3.      Islam dan Keadilan Sosial
Komitmen seorang Muslim bukan hanya terbatas pada hubungan vertikal dengan Allah (حبل من الله), akan tetapi juga ia harus ingat kepada hubungan horizontalnya kepada sesama (حبل من الناس)  pun harus harmonis. Dalam kerangka hubungan dengan sesama inilah seorang Muslim harus dapat berbuat adil. Potret besar keadilan sosial dalam Islam adalah ketika negara-kota Madinah yang dibangun Rasulullah, yang mana mampu menaungi keragaman etnik dan agama yang ada pada saat itu. Perwujudan hal semacam itu tidak lain adalah karena Islam mengajarkan nilai-nilai persamaan dan persaudaraan (ukhuwah) – tanpa barometer yang bersifat materialistis keduniaan.
Ketidakadilan sosial berarti membentuk tembok pemisah antara yang berkelebihan dan yang berkekurangan; membuka padang permusuhan antara yang kuat dan yang lemah. Untuk mengantisipasi dan mengatasi hal-hal tersebut, dalam Islam dikenal adanya kewajiban zakat pada tiap-tiap wajib zakat  yang memenuhi syarat.
4.      Islam dan Kebudayaan
Dalam hubungannya dengan kebudayaan, Islam memegang peranan yang sangat menentukan bagi terbentuknya kebudayaan ummat. Karena kebudayaan itu sendiri adalah manifestasi dan perwujudan segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau dengan kata lain, kebudayaan merupakan perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk tindakan dan karya.[6]  Perwujudan itu sangat tercermin dari adanya penghargaan terhadap waktu, ilmu dan tekhnologi, serta etos kerja.
a.       Penghargaan terhadap waktu
Penegasan agar seorang Muslim dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, bila tidak ia akan menuai kerugian. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an, Q.S. al-Ashr: 1-3:

إن الإنسان لفىحصر إلا الذين أمن وعمل الصالحة وتوى صوب الحق وتوى صوب الصبر
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat-menasihati supay mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Sehingga jelas dalam Islam, adanya tuntutan untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin karena waktu tidak akan kembali. Selain itu juga adanya kejelasan untuk saling nasihat-menasihati dalam kebaikan.
b.      Ilmu dan Tekhnologi (Iptek)
Adalah merupakan kewajiban atas tiap-tiap Muslim dan Muslimat untuk menuntut ilmu, mengingat betapa dibutuhkannya ilmu bagi kehidupan dunia maupun akhirat. Islam juga menempatkan orang-orang yang berilmu kepada derajat yang lebih tinggi, tentunya dengan pondasi Iman dan Taqwa (Imtaq).
Selain itu al-Qur'an berisi petunujuk berupa informasi agar manusia melakukan penelitian, sehingga dapat menemukan rahasia-rahasia Iptek. Kita memang tidak boleh menjatuhkan klaim penuh bahwa al-Qur'an adalah Kitab Iptek, namun kita juga tidak bisa menutup mata terhadap adanya isyarat/petunjuk ke arah itu.
c.       Etos kerja
Manusia adalah makhluk hidup, tak terkecuali makhluk hidup lainnya membutuhkan ‘konsumsi’ demi kelangsungan hidupnya. Manusia dan hewan adalah makhluk yang dapat bergerak dan berpindah-pindah untuk memenuhi tuntutan konsumsi tersebut, berbeda halnya dengan tumbuhan yang bersifat permanen. Perbedaan manusia dan hewan terletak pada penggunaan rasio dan akal budinya. Manusia dituntut untuk mengupayakan pengadaan kebutuhannya baik yang telah tersedia secara alami maupun yang diolah/ berproses, yang pada tujuan akhirnya adalah menunjang pengabdian manusia terhadap Allah. Islam menekankan tentang hal tersebut sebagaimana dalam Q.S. al-Jum’ah: 10; al-Qashash: 77:
فإذاقضيت الصلوة فانتشروا فىالأرض وابتغوامن فضل الله وذكرواالله كثيرا لعلمكم تفلحون

Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

وابتغ فيمآءاتـك الله الدارالأخرة  ولاتنس نصيبك من الدنيا  وأحسن كمآ أحسن الله إليك  ولا تبغ الفساد فى الأرض  إن الله لا يحب المفسدين

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugrerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.”

Tidak dibenarkan jika seorang muslim pasif dalam berusaha atau bekerja untuk dunianya karena semata-mata mengharap kebaikan akhirat, namun semangat dituntut untuk mencapai dunia sekaligus akhirat.

Demikian sempurnanya ajaran Islam mencakup segala aspek dengan tujuan tercapainya kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat, terlebih lagi bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu; jalan mana yang lebih baik bagi umat manusia.

PERMASALAHAN
Seiring perputaran bumi, manusia telah dapat menunjukkan diri sebagai makhluk terbaik dengan akal pikirannya. Pemikiran manusia dari masa ke masa semakin berkembang, manusia menerapkan pemikiran-pemikiran logis, matang dan  penuh dengan hipotesis-hipotesis. Perkembangan ini ditandai dengan tercapainya kemajuan yang berkelanjutan dalam berbagai bidang. Boleh dikata manusia telah semakin menemukan jati dirinya sebagai makhluk terbaik yang pernah ada.
Kemajuan yang telah dicapai manusia hendaknya semakin memperkuat kepercayaan manusia akan betapa besar Anugerah Allah terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Namun dampak yang terlihat bukan hanya positif. Terlebih lagi, dampak negatif pun merebak dalam kehidupan umat manusia. Di satu sisi segelintir manusia mendapat kemudahan dan kenyamanan dengan apa yang telah diraihnya. Sedang di sisi lainnya, kebanyakan manusia semakin merasa kesulitan, dengan kata lain  sistem yang terlahir adalah hanya memperkuat kaum yang telah kuat dan memperlemah kaum yang lemah (kapitalis) dan memandang hanya dari segi materi (sosialis).
Anehnya, bukti kegagalan Barat tersebut direka seolah-olah tidak berarti sama sekali dan tidak nampak. Karena kemajuan yang umumnya telah diraih dunia Barat akhir-akhir ini sangat menyilaukan belahan dunia Timur (termasuk Indonesia) dan selanjutnya terprovokasi sehingga tanpa ragu mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat sampai kepada nilai-nilai budaya Barat, yang materialistis dan jelas bertentangan dengan Islam. Sehingga muncul permasalahan: “Mengapa umat Islam mencoba mengkompromikan, bahkan meninggalkan identitasnya sebagai umat Islam?
Hal inilah yang sekiranya akan penulis utarakan guna mendapatkan penyebab/faktor penghambat kemajuan Islam, yang terlebih lagi merupakan tantangan serius bagi generasi Islam sekarang dalam menyongsong era kebangkitan Islam. Baik faktor internal yang membahayakan dan menghalangi kita untuk mengetahui dan menghadapi tantangan eksternal.

PEMBAHASAN
Peradaban Islam seakan terkubur abad akhir-akhir ini setelah mendominasi lebih dari tiga belas abad silam. Kemuduran Islam tidak lepas dari interfensi asing (non-Islam) selama berabad-abad di bawah kolonialisme Barat menyusul atas keruntuhan Kepemimpinan Kaum Muslimin (kekhalifahan). Kendati demikian, Islam telah menunjukkan eksistensinya sebagai kebenaran. Sekalipun  Islam tidak mendominasi, namun Islam tetap diagungkan oleh penganutnya. Hal inilah yang mengakibatkan musuh-musuh Islam merasa perlu ‘memberantas-tuntas’ Islam. Sampai kepada saat ini berbagai upaya pihak-pihak tersebut (anti-Islam) melancarkan fitnah terhadap Islam yang berupa serangan “fisik” maupun “non-fisik”.
Secara umum penyebab mundurnya peradaban Islam tidak terlepas dari dua faktor, yakni faktor internal umat Islam sendiri dan terlebih lagi faktor eksternal yang sangat berambisi terhadap kemunduran Islam.
A.    Faktor Internal Umat Islam
Faktor internal umat Islam yang melemahkan Islam itu sendiri adalah meliputi aspek identitas, referensi, keterbelakangan, keadilan sosial, isu-isu perempuan, kepemerintahan, dan masalah keimanan dan akhlak.[7]
Diantara tantangan tersebut adalah:


B.     Faktor Eksternal 
 



Firman Allah dalam surat al-Insan: 24:
ولا تُطعْ منهم إثما اوكفورا
Artinya: “Jangan kamu ikuti orang yang berdosa dan orang kafir di antara mereka.

Sudah barang tentu, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal harus dipandang sebagai suatu yang saling berkaitan. Terlebih lagi, selama ini masalah internal inilah yang dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam.  Karena itu antisipasi dan pemecahannya harus bersifat konprehensif, integral, dan melalui pendekatan menyeluruh. Langkah penentu, yang perlu sekali dan mendesak penyelesaiannya adalah masalah penuntasan terhadap hambatan internal ummat, mengingat tanpa penyelesaian masalah internal barang mustahil kita dapat menangani masalah eksternal. Karena secara tidak langsung masalah internal akan mengaburkan ancaman eksternal. Artinya, generasi Muslim sekarang ini berkewajiban menyadari, mengenal, bahkan menanggulangi tantangan internal agamanya. Hingga selanjutnya siap untuk berhadapan dan memerangi tantangan eksternal bagi kejayaan Islam. Amien!


[1] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997),
[2] Electicism adalah ajaran, kecenderungan atau kegiatan yang mencampuradukkan atau mengacaukan berbagai macam ajaran-ajaran teologik. Ibid.
[3] Ibid.
[4] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress, 1996),
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Fathi Yakan, Kebangkitan Islam, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2004),

No comments:

Post a Comment