ISLAM DAN HIGEMONI
BUDAYA BARAT
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peredaran
waktu merupakan kesempatan yang diberikan Allah Rabb semesta alam kepada
makluknya untuk memperbaiki keadaan kearah yang lebih baik. Demikian seharusnya
umat Islam berusaha untuk mencapainya dengan berjuang sepenuh daya dan upaya.
Berbagai perjuangan keras telah dirintis oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam untuk
mencapai kemuliaan Islam di atas dunia ini.
Namun sungguh disayangkan, akhir-akhir ini
sejumlah sarjana dan tokoh politik di kalangan umat Muslim secara
terang-terangan mau bekerjasama dengan para orientalis Kristen dan Yahudi untuk
ikut-ikutan menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur'an dan Hadits sudah kuno dan
tidak relevan dengan zaman modern saat ini.[1]
Mereka berupaya menjaring generasi Muslim dengan berbagai gerakan pemikiran,
yang berkedok pembaharuan guna memisahkan Islam dari kehidupan sosial ummat
ataupun mengkompromikan Islam dengan permasalahan kontemporer.
Dengan
menyadari adanya bahaya semacam yang tersebut di atas, perlu bagi kita untuk
memperkokoh keyakinan, bahwa Islam merupakan tatanan yang komprehensif, yang
melingkupi segala aspek kehidupan dunia dan ukhrawi; merupakan petunjuk atau
jalan yang harus ditapaki manusia seluruhnya. Jalan tersebut telah dilengkapi
dengan rambu-rambu syari'at yang sekiranya dapat diikuti manusia, niscaya
mereka menjadi manusia-manusia yang selamat. Karena petunjuk itu datang dari
wahyu Tuhan dan dapat diandalkan, maka ia menampilkan nilai-nilai moral yang
‘mutlak’ dan secara ‘tegas’ menentang elektisisme,[2]
perubahan-perubahan dan relativitas moral.[3]
Kejelasan Islam sebagai sumber konsep yang tidak
diragukan lagi kebenarannya. Terbukti pada abad-abad kejayaanya, Islam telah
mengangkat martabat kaum kafir Arab sehingga mereka tampil sebagai bangsa
reformator yang mewarnai dunia dengan tatanan kehidupan yang harmonis. Hal
demikian menepis anggapan bahwa “Bangsa Arab yang telah membesarkan Islam”,
akan tetapi sebenarnya Islam-lah yang membesarkan penganutnya.
1.
Islam Sebagai Sumber Hukum
Tegaknya supremasi hukum merupakan sebuah kebutuhan
dalam kehidupan manusia, karena manusia membutuhkan jaminan keamanan dan
ketenteraman hidup. Dan umat Islam meyakini
bahwa ketentuan hukum datangnya hanya dari Allah dan hanya Dia-lah yang
berhak menetapkan hukum, sebagaimana tercantum dalam al-Qur'an (Q.S: al-Maidah: 1,50):
... إن الله يحكم مايريد
Artinya: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”
أفحكم الجهلية يبغون ومن أحسن من الله حكما لقوم يوقنون
Artinya: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?”
Dalam hal ini
hukum-hukum Allah disebut juga syari'at Allah atau syari'at
Islam, diantaranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.
Hukum/syari'at Islam bersumber dari wahyu Allah yang
disampaikan oleh Rasulullah baik berupa al-Qur'an atau Sunnah.
b.
Hukum/syari'at Islam mengajarkan tentang persamaan
hukum bagi setiap manusia, dan yang membedakan derajat manusia di hadapan Allah
adalah keyakinan dan taqwanya.
c.
Hukum/syari'at Islam bersifat universal, mencakup semua
aspek kehidupan manusia.
d.
Hukum yang menyangkut aspek aqidah, akhlak, dan ibadah
mahdlah, ketentuannya bersifat baku, jelas, detail, dan final.
e.
Hukum/syari'at Allah mempunyai sanksi di dunia maupun
di akhirat, sehingga bila pelanggar hukum di dunia belum menerima
sanksi/balasan, maka di akhirat kelak pasti akan menerimanya. Sebagaimana yang
termaktub dalam Q.S an-Nisa:123; al-Zalzalah: 7-8.[4]
2.
Islam dan Kekuasaan
Bagaimanapun cara untuk memberikan definisi terhadap
politik, satu hal yang tidak dapat dingkari bahwa politik identik dengan
kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaaan. Sehingga dalam pengertian
sehari-hari, politik dihubungkan dengan cara dan proses pengelolaan
pemerintahan.[5]
Seorang Muslim harus memainkan peran dalam bidang ini,
karena mengingat perlunya peranan politik sebagaimana yang mengatur dan
menetukan arah kehidupan orang banyak, dimanapun kita berada tentunya ada
peraturan yang harus ditaati seperti halnya negara. Agar kehidupan dunia
sejalan dengan ajaran-ajaran Tuhan, dituntut adanya peran politikus yang
memegang dakwah, sehingga terlahir aturan yang tidak menyesatkan,
menjungkirbalikkan kebenaran, dan mengelabuhi masyarakat. Dengan kata lain,
politik difungsikan sebagai alat dakwah, yang selanjutnya untuk mencapai tujuan
sesungguhnya yakni pengabdian kepada Allah. Demikian kejelasan dalam Q.S
al-An’am: 162.
قل إن الصلاتى ونسكى ومحياي ومماتى لله رب العلمين
Artinya: “Katakanlah:
‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam’.”
Dalil tersebut secara jelas menolak sekularisasi,
karena seorang Muslim percaya terhadap Hari Akhir dan akan
mempertanggungjawabkan baik-buruk amal yang telah dilakukannya selama hidup di
dunia.
3.
Islam dan Keadilan Sosial
Komitmen seorang Muslim bukan hanya terbatas pada
hubungan vertikal dengan Allah (حبل من الله),
akan tetapi juga ia harus ingat kepada hubungan horizontalnya kepada sesama (حبل من الناس) pun harus harmonis. Dalam kerangka
hubungan dengan sesama inilah seorang Muslim harus dapat berbuat adil. Potret
besar keadilan sosial dalam Islam adalah ketika negara-kota Madinah yang dibangun
Rasulullah, yang mana mampu menaungi keragaman etnik dan agama yang ada pada
saat itu. Perwujudan hal semacam itu tidak lain adalah karena Islam mengajarkan
nilai-nilai persamaan dan persaudaraan (ukhuwah) – tanpa barometer yang
bersifat materialistis keduniaan.
Ketidakadilan sosial berarti membentuk tembok pemisah
antara yang berkelebihan dan yang berkekurangan; membuka padang permusuhan
antara yang kuat dan yang lemah. Untuk mengantisipasi dan mengatasi hal-hal
tersebut, dalam Islam dikenal adanya kewajiban zakat pada tiap-tiap wajib
zakat yang memenuhi syarat.
4.
Islam dan Kebudayaan
Dalam
hubungannya dengan kebudayaan, Islam memegang peranan yang sangat menentukan
bagi terbentuknya kebudayaan ummat. Karena kebudayaan itu sendiri adalah
manifestasi dan perwujudan segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau dengan kata lain, kebudayaan merupakan
perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk
tindakan dan karya.[6] Perwujudan itu sangat tercermin dari adanya
penghargaan terhadap waktu, ilmu dan tekhnologi, serta etos kerja.
a.
Penghargaan terhadap waktu
Penegasan agar seorang Muslim dapat memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya, bila tidak ia akan menuai kerugian. Sebagaimana firman Allah dalam
al-Qur'an, Q.S. al-Ashr: 1-3:
إن الإنسان لفىحصر إلا
الذين أمن وعمل الصالحة وتوى صوب الحق وتوى صوب الصبر
Artinya:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat-menasihati supay mentaati
kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”
Sehingga jelas dalam Islam, adanya tuntutan untuk memanfaatkan waktu
semaksimal mungkin karena waktu tidak akan kembali. Selain itu juga adanya
kejelasan untuk saling nasihat-menasihati dalam kebaikan.
b.
Ilmu dan Tekhnologi (Iptek)
Adalah merupakan kewajiban atas tiap-tiap Muslim dan Muslimat
untuk menuntut ilmu, mengingat betapa dibutuhkannya ilmu bagi kehidupan dunia
maupun akhirat. Islam juga menempatkan orang-orang yang berilmu kepada derajat
yang lebih tinggi, tentunya dengan pondasi Iman dan Taqwa (Imtaq).
Selain itu al-Qur'an berisi petunujuk berupa informasi agar
manusia melakukan penelitian, sehingga dapat menemukan rahasia-rahasia Iptek.
Kita memang tidak boleh menjatuhkan klaim penuh bahwa al-Qur'an adalah Kitab
Iptek, namun kita juga tidak bisa menutup mata terhadap adanya isyarat/petunjuk
ke arah itu.
c.
Etos kerja
Manusia adalah makhluk hidup, tak terkecuali makhluk hidup
lainnya membutuhkan ‘konsumsi’ demi kelangsungan hidupnya. Manusia dan hewan
adalah makhluk yang dapat bergerak dan berpindah-pindah untuk memenuhi tuntutan
konsumsi tersebut, berbeda halnya dengan tumbuhan yang bersifat permanen.
Perbedaan manusia dan hewan terletak pada penggunaan rasio dan akal budinya.
Manusia dituntut untuk mengupayakan pengadaan kebutuhannya baik yang telah
tersedia secara alami maupun yang diolah/ berproses, yang pada tujuan akhirnya
adalah menunjang pengabdian manusia terhadap Allah. Islam menekankan tentang
hal tersebut sebagaimana dalam Q.S. al-Jum’ah: 10; al-Qashash:
77:
فإذاقضيت
الصلوة فانتشروا فىالأرض وابتغوامن فضل الله وذكرواالله كثيرا لعلمكم تفلحون
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
وابتغ فيمآءاتـك الله
الدارالأخرة ولاتنس نصيبك من الدنيا وأحسن كمآ أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدين
Artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrerahkan Allah kepadamu kebahagiaan
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.”
Tidak dibenarkan jika seorang muslim pasif dalam
berusaha atau bekerja untuk dunianya karena semata-mata mengharap kebaikan
akhirat, namun semangat dituntut untuk mencapai dunia sekaligus akhirat.
Demikian sempurnanya ajaran Islam mencakup segala
aspek dengan tujuan tercapainya kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat,
terlebih lagi bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu; jalan
mana yang lebih baik bagi umat manusia.
PERMASALAHAN
Seiring perputaran bumi,
manusia telah dapat menunjukkan diri sebagai makhluk terbaik dengan akal
pikirannya. Pemikiran manusia dari masa ke masa semakin berkembang, manusia
menerapkan pemikiran-pemikiran logis, matang dan penuh dengan hipotesis-hipotesis.
Perkembangan ini ditandai dengan tercapainya kemajuan yang berkelanjutan dalam
berbagai bidang. Boleh dikata manusia telah semakin menemukan jati dirinya
sebagai makhluk terbaik yang pernah ada.
Kemajuan yang telah dicapai
manusia hendaknya semakin memperkuat kepercayaan manusia akan betapa besar
Anugerah Allah terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Namun dampak yang
terlihat bukan hanya positif. Terlebih lagi, dampak negatif pun merebak dalam
kehidupan umat manusia. Di satu sisi segelintir manusia mendapat kemudahan dan
kenyamanan dengan apa yang telah diraihnya. Sedang di sisi lainnya, kebanyakan
manusia semakin merasa kesulitan, dengan kata lain sistem yang terlahir adalah hanya memperkuat
kaum yang telah kuat dan memperlemah kaum yang lemah (kapitalis) dan memandang
hanya dari segi materi (sosialis).
Anehnya, bukti kegagalan
Barat tersebut direka seolah-olah tidak berarti sama sekali dan tidak nampak.
Karena kemajuan yang umumnya telah diraih dunia Barat akhir-akhir ini sangat
menyilaukan belahan dunia Timur (termasuk Indonesia) dan selanjutnya
terprovokasi sehingga tanpa ragu mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat sampai
kepada nilai-nilai budaya Barat, yang materialistis dan jelas
bertentangan dengan Islam. Sehingga muncul permasalahan: “Mengapa umat Islam
mencoba mengkompromikan, bahkan meninggalkan identitasnya sebagai umat Islam?”
Hal inilah yang sekiranya
akan penulis utarakan guna mendapatkan penyebab/faktor penghambat kemajuan
Islam, yang terlebih lagi merupakan tantangan serius bagi generasi Islam
sekarang dalam menyongsong era kebangkitan Islam. Baik faktor internal
yang membahayakan dan menghalangi kita untuk mengetahui dan menghadapi
tantangan eksternal.
PEMBAHASAN
Peradaban Islam seakan
terkubur abad akhir-akhir ini setelah mendominasi lebih dari tiga belas abad
silam. Kemuduran Islam tidak lepas dari interfensi asing (non-Islam) selama
berabad-abad di bawah kolonialisme Barat menyusul atas keruntuhan Kepemimpinan
Kaum Muslimin (kekhalifahan). Kendati demikian, Islam telah menunjukkan
eksistensinya sebagai kebenaran. Sekalipun
Islam tidak mendominasi, namun Islam tetap diagungkan oleh penganutnya.
Hal inilah yang mengakibatkan musuh-musuh Islam merasa perlu
‘memberantas-tuntas’ Islam. Sampai kepada saat ini berbagai upaya pihak-pihak
tersebut (anti-Islam) melancarkan fitnah terhadap Islam yang berupa
serangan “fisik” maupun “non-fisik”.
Secara umum penyebab
mundurnya peradaban Islam tidak terlepas dari dua faktor, yakni faktor internal
umat Islam sendiri dan terlebih lagi faktor eksternal yang sangat berambisi
terhadap kemunduran Islam.
A.
Faktor Internal Umat Islam
Faktor internal umat Islam yang melemahkan Islam itu
sendiri adalah meliputi aspek identitas, referensi, keterbelakangan, keadilan
sosial, isu-isu perempuan, kepemerintahan, dan masalah keimanan dan akhlak.[7]
Diantara tantangan tersebut adalah:
B.
Faktor Eksternal
Firman Allah dalam surat
al-Insan: 24:
ولا تُطعْ منهم إثما اوكفورا
Artinya:
“Jangan kamu ikuti orang yang berdosa dan orang kafir di antara mereka.”
[1]
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1997),
[2] Electicism
adalah ajaran, kecenderungan atau kegiatan yang mencampuradukkan atau
mengacaukan berbagai macam ajaran-ajaran teologik. Ibid.
[3] Ibid.
[4]
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: Sipress,
1996),
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7]
Fathi Yakan, Kebangkitan Islam, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media,
2004),
No comments:
Post a Comment