PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu pokok hidup yang utama dalam pergaulan dan
bermasyarakat yang sempurna. Bukan saja pernikahan itu satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan menjaga keturunan, tetapi
pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan
antara satu kaum dengan kaum yang lainnya serta perkenalan itu akan menjadi
jalan untuk menyampaikan bertolong-tolongan satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian pernikahan adalah pertalian yang sesungguhnya dan
seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
isteri dan keturunannya saja, bahkan antara kedua keluarga. Betapa tidak ? dari
sebab pergaulan baik antara si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi serta
kebaikan-kebaikan yang lainnya. Kebaikan itu akan berpindah kepada semua
keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala
urusan tolong menolong antara sesama dalam menjalankan kebaikan dan menjaga
segala kejahatan.
Seiring dengan perkembangan zaman, model dan corak pernikahpun semakin
berkembang, antara lain pernikahan yang akadnya lewat telepon, dimana
pernikahan tidak lagi harus secara langsung berhadap-hadapan antara mempelai
lelaki dengan mempelai perempuan atau dengan pihak lain yang terkait dalam
pernikahan (wali atau saksi). Oleh karenanya saya selaku penulis ingin mencoba
membahas sedikit mengenai model corak pernikahan lewat telepon yang coba
penulis paparkan dalam sebuah makalah yang diberi judul NIKAH VIA TELEPON
NIKAH VIA TELEPON
A. Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Nikah
Nikah
secara bahasa artinya berkumpul dan bercampur sedangkan secara istilah fikih
nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulah (kumpul dan campur bareng) antara
lelaki dan seorang perempuan dalam membentuk suatu keluarga yang sakinah (bahagia), mawaddah (kekal), dan rahmah
(sejahtera) dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Adapun
rukun dari nikah itu sendiri secara umum terdiri dari; 1) Kedua mempelai; 2) Adanya
wali dari pihak mempelai wanita; 3) Adanya dua orang saksi, dan 4) akad nikah
(ijab kabul) dimana dari masing-masing rukun itu sendiri terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi demi sahnya sebuah perkawinan, syarat-syarat tersebut
yaitu; 1) Kedua mempelai haruslah dari keluarga yang berbeda, maksudnya bukan
dari adanya nasab, semenda ataupun dari anak sesusuan; serta tidak ada paksaan
serta nyata 2) untuk wali dan dua orang saksi haruslah orang islam, baligh,
berakal, merdeka dan haruslah seorang lelaki, serta adil;[2]
B. Nikah Melalui Telepon.
Nikah
melalui telepon dapat diartikan sebagai suatu bentuk pernikahan yang transaksi
ijab kabulnya dilakukan melalui telepon, jadi antara mempelai lelaki dengan
mempelai perempuan, wali dan saksi itu tidak saling bertatapan. Tetapi sebelum mengkaji
lebih dalam mengenai hukum dari nikah yang dilakukan lewat telepon, saya ingin
mencoba mengangkat sebuah kasus pernikahan (kasus ini saya ambil dari situs www.majalahindonesia.com)[3]
antara Rita Sri Mutiara Dewi yang berasal dari Jln. Cibeureum, Cimahi, dengan Wiriadi
Sutrisno yang berasal di California, Amerika Serikat. Dimana perkawinan
mereka dilakukan lewat internet dengan hanya memandang lewat layar screen.
Dari kasus tersebut penulis ingin sedikit mengemukakan
tentang beberapa hal yang pernikahan melaluli telepon, setidaknya ada beberapa
pendapat yang mengomentari masalah ini, pendapat-pendapat tersebut antara lain;
Pertama,
membolehkan, para ulama yang membolehkan nikah yang akadnya lewat telepon
mengatakan bahwa nikah yang seperti ini sebenarnya sudah digambarkan dalam masa
Rasulullah, hal ini sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits
Artinya
:“Bahwasanya Umu Habibah adalah Istri Ubaidillah bin Jatsy. Ubaidillah
meninggal di negeri Habasyah, maka raja Habasyah (semoga Allah memberi rahmat
kepadanya) menikahkan Umu Habibah kepada Nabi SAW, ia bayarkan maharnya 4000
dirham, lalu ia kirimkan Umu Habibah kepada Nabi SAW bersama Surah Bil bin
Hasanah lalu Nabi SAW menerimanya.” (H.R Abu Daud dan Nasa’i)[4]
Dalam hadits di atas para Ulama yang mengemukakan
diperbolehkanya nikah tanpa adanya pertemuan antara kedua mempelai itu
berpendapat bahwa menikahkan seorang wanita kepada seorang laki-laki tanpa
keduanya itu boleh-boleh saja, asal kedua-duanya sama-sama suka. Bahkan menurut
mereka (ulama) menurut mereka model pernikahan seperti ini jauh lebih aman asal
sudah saling mengetahui watak dan kepribadian masing-masing sebelumnya.
Kedua, tidak
membolehkan, kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa pernikahan melalui telepon
itu tidak sah itu disebabkan karena faktor ketidak jelasan dari si mempelai
baik mempelai lelaki maupun dari pihak perempuan, hal ini disebabkan karena
dapat memungkinkan adanya unsur penipuan sebab suara yang didengarkan lewat
telepon dapat dipalsukan artinya hal ini dapat menyebabkan adanya ketidak
jelasan dalam perkawinan itu sendiri. Padahal dalam sebuah perkawinan diantara
sarat dari kedua mempelai adalah adanya kejelasan mempelai itu sendiri,
sedangkan dalam nikah model ini menurut mereka dianggap kurang adanya kejelasan
adanya mempelai.
Berdasarkan kedua pendapat di atas penulis mencoba
menawarkan sebuah kesimpulan yang sedikit berbeda dengan keduanya, yaitu dengan
membolehkan sebuah pernikahan tanpa mempertemukan kedua mempelai secara
langsung, dalam hal ini melalui telepon dengan syarat dengan harus menampilkan
gambar orang yang berbicara (melalui teleconference atau percakaan di
telepon/internet yang langsung bisa bertatap muka satu sama lainnya) hal ini
dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan seperti yang telah dipaparkan oleh
pendapat kedua maka penulis menganjurkan adanya visualisasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa pernikahan yang
dilakukan melalui telepon itu sah-sah saja asalkan adanya kejelasan dari yang
menelepon, untuk menghindari adanya ketidakjelasan orang melakukan perkawinan
yang melalui tetlepon maka perkawinan yang diperbolehkan adalah perkawinan yang
melalui tetconference atau telepon yang dilengkapi dengan tampilan gambar orang
yang menelepon atau lewat jalur internet. Wallahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman, Fiqh islam, Bandung : PT. Sinar Baru,
1987
Sabiq, Sayyid., Fiqih Sunnah,
Pent. : Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : PT. Al Ma’arif, 1987,Cet. I
Qurrah,Abu., Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Melalui
Internet, Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1997
[1] Lihat di Sulaiman Rasjid, Fiqh islam, ( Bandung : PT. Sinar Baru,
1987), hal. 354
[2] Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pent. : Kamaluddin A. Marzuki (Bandung : PT. Al
Ma’arif, 1987),Cet. I, hal. 355-357
[3] Untuk lebih lanjutnya penulis cantumkan isi artikel
tersebut Pagi itu, Rabu (11/1), kesibukan di Kantor Plasa Telkom Setiabudi
Bandung, Jawa Barat terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Belasan orang
menyesaki ruang net meeting. Ruang berukuran 5 X 6 meter tersebut biasa
digunakan untuk menggelar rapat melalui video conference. Tanpa harus bertatap
muka secara langsung, meeting bisa digelar dengan mereka yang berada di lokasi
berbeda.
Nah,
yang membuat agak istimewa, teknologi net meeting digunakan untuk menyatukan
dua anak adam yang terpisahkan jarak ribuan kilometer dalam satu mahligai
perkawinan. Mempelai wanita, Rita Sri Mutiara Dewi yang berasal dari Jln.
Cibeureum, Cimahi, berada di Kantor Plasa Telkom Bandung, sementara mempelai
pria, Wiriadi Sutrisno berada di California,
Amerika Serikat. Praktis, wajah Tris –sapaan Wiriadi— hanya bisa dilihat
melalui layar screen. Ia berada di suatu ruangan ditemani rekannya yang bertindak
sebagai saksi.
Tepat
pukul 08.30 WIB, ijab kabul
dimulai. Sohidin Efendi yang bertindak sebagai penghulu, langsung bertanya
kepada calon mempelai putri yang pagi itu mengenakan busana muslim warna krem
dan coklat muda “Apa benar orangnya seperti itu? Seperti yang ada di tembok,”
tanya penghulu dari kecamatan Andir. Yang dimaksud tembok oleh Sohidin adalah
layar screen. Tanpa ragu, wanita berjilbab itu mengangguk.
Jawaban
Rita membuat Sohidin tak ingin berbasa-basi lagi. Meski calon mempelai pria tak
hadir secara langsung layaknya perkawinan pada umumnya, toh ada saksi, wali
kedua mempelai serta beberapa kerabat dari calon pengantin. Tidak ketinggalan, sebuah
mas kawin emas 20 gram dikemas dalam wadah keranjang berbentuk hati dengan
balutan kain warna silver. “Apa Mas Tris
di sana sudah
siap?” Pertanyaan itu diajukan Sohidin untuk memastikan bahwa calon mempelai
pria sudah ready. Begitu mendapat jawaban siap dari lelaki yang meng-gunakan
jas warna gelap berikut peci hitam itu, acara pun dimulai.
Runutan acara yang memakan
waktu tak lebih dari setengah jam itu, tak ubahnya pernikahan secara islami
pada umumnya. Begitu Tris selesai mengucapkan ijab kabul, Sohidin langsung bertanya kepada
hadirin, “Bagaimana sah?”. Spontan, terdengar suara sah secara serentak. Yang
membuat agak berbeda, surat
nikah tidak ditandatangani mempelai pria secara langsung. Surat nikah terpaksa harus difaks untuk
ditandatangani Tris. Acara jabat tangan antara mempelai pria dengan wali saat
ijab kabul
diucapkan tak bisa dilakukan. Begitu juga dengan acara sungkeman mempelai pria
dengan Ny Erawan, ibunda dari Rita, tak bisa dilangsungkan. Meski demikian, Rita tetap sumringah. “Senang,
acara bisa berlangsung lancar,” tutur Rita, bersyukur. ..coba anda lihat di www.majalahindonesia.com
[4] Hadist ini saya ambil di Abu Qurrah, SH.
JRN., Pandangan Islam Terhadap Pernikahan
Melalui Internet, (Jakarta : PT. Golden Terayon Press, 1997), hal. 84
nice share gan, bagus infonya
ReplyDeletesouvenir pernikahan murah