BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bila
menganalisis berbagai perintah Agama Islam dengan seksama, maka dengan mudah
kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun
prinsip piutang konsumtif adalah prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan
bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu
sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari
utang maupun dosa. Aisyah berkata Rasulullah SAW biasa berdoa dengan
mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan
berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering
engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta,
berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI)
Sedangkan
dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang
kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah
dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang. Dalam Al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong
menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah :
Artinya : “… dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran …… (QS.Al-Maidah: 2 )[1]
Akad
hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi
dari semangat ayat tersebut.
Kemudian
berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai
piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar
hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut
wajib menerima kewajiban itu. Nabi SAW bersabda:
“Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila
seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada
orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).
Selanjutnya
pembahasan mengenai Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah
ini ialah :
- Apa yang di maksud dengan hawalah
- Apa landasan hukum hawalah
- Bagaimana pelaksanaan hawalah
- Apa syarat dan rukun hawalah
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah :
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar fiqih muamalah
- Sebagai penambah wawasan tentang muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hawalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut
sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah
memindahkan dan mengalihkan. Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang
dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih
(orang yang melakukan pembayaran hutang).[2]
لغة
: النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara
istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai
berikut:[3]
1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah ialah :
نقل
المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang
berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-Jaziri
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل
الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung
jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab
al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد
يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan
beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad
Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد
يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan
utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim
al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل
الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban
yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut
Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال
الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahanutang dari beban
seseorang menjadi beban orang lain”.
7. Menurut
Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil
menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
8. Idris
Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari
tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu
mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
B.
Dasar Hukum
Hawalah
Islam memperbolehkan hawalah
berdasarkan hadits Rosulullah SAW. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh,
bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
مَطْلُ ا لْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى
مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “Menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seorang kamu diikutkan
(dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[4]
Pada Hadits ini Rasulullah
memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang
menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima
hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang
dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi
(dibayar).[5]
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali,
Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi
yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah
ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
Kalangan
Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam
transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia
sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap
sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan
Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya :jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada
orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim).
Yang
sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi
manfaat) bukan yang lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’
mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.
C.
Rukun dan Syarat Hawalah
1. Rukun
Hawalah
Menurut
mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga.[6]
Menurut
Mazhab Syafi’i Rukun Hawalah ada emat, yaitu:[7]
a.
Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni
orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
b.
Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni
orang berpiutang kepada muhil.
c.
Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
d.
Shighat Hawalah (pernyataan hawalah).
2. Syarat-Syarat Hawalah
Adapun
syarat-syarat hawalah menurut Sayyid Sabiq adalah Sebagai berikut :[8]
a.
Relanya
pihak mihil dan muhal tanpa muhal alaih. Karena muhil berkewajiban membayar
hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal
mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin ada
perpindahan tanpa kerelaannya. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan
adanya kerelaan dari muhal, karena ia wajib menerimanya sesuai dengan hadits Rasululah
:
…. فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى
مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “…. Dan jika salah seorang
kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[9]
b.
Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas
dan kuantitasnya.
c.
Stabilnya
muhal alaih, maka penghiwalahan kepada orang yang tidak mampu membayar utang
adalah batal.
d.
Hak
(hutang-piutang) tersebut diketahui secara jelas.
D.
Jenis-Jenis
Hawalah
Ada
dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
1. Hawalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (
orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi
dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai
kafalah.
2. Hawalah
Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal
Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga
madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada
muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
E.
Unsur
Kerelaan Dalam Hawalah
1. Kerelaan
Muhal
Mayoritas
ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang
yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu
orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.[10]
Hanabilah
berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu
mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang
menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya
kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan
di atas.
Alasan
mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang yang menerima
pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya
berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran.
Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat
dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk
orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama
berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2. Kerelaan
Muhal ‘Alaih
Mayoritas
ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan
muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada
orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu,
hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada
orang lain.[11]
Hanafiah
berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang
mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka
ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat
yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan
muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja
dari keduanya.
F.
Beban
Muhil Setelah Hawalah
Apabila
hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Kecuali
madzhab maliki yang menyatakan bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal
‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka
muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang
menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.[12]
Abu
Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan
(muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[13]
G.
Berakhirnya
Akad Hawalah
Akad
hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika
Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika
Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika
Muhal menghapus bukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
H.
Hikmah
Disyari'atkannya Hawalah:[14]
Allah
SWT mensyari'atkan hawalah sebagai jaminan harta dan menunaikan hajat manusia.
Terkadang seseorang membutuhkan melepaskan tanggungannya kepada yang memberi
pinjaman, atau menyempurnakan haknya dari yang telah diberinya pinjaman. Dan
terkadang ia perlu memindahkan hartanya dari satu kota ke kota yang lain, dan
memindahkan harta ini bukan perkara mudah. Bisa jadi karena susah membawanya,
atau karena jauhnya jarak, atau karena perjalanan tidak aman, maka Allah SWT
mensyari'atkan hawalah untuk merealisasikan segala kebutuhan ini.
Apabila
orang yang berhutang memindahkan hutangnya kepada orang yang kaya, ia harus
memindahkan hutang. Dan jika ia memindahkannya kepada orang yang bangkrut dan
ia tidak tahu, niscaya ia kembali menuntut haknya kepada yang (muhil)
memindahkan hutang. Dan jika mengetahui dan ridha dengan pemindahan hutang
atasnya, maka ia tidak boleh kembali baginya. Dan menunda-nunda pembayaran
orang yang kaya adalah haram, karena mengandung kezaliman.
Dari
Abu Hurairah R.A, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَطْلُ ا لْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُ تْبِعَ أَ حَدُكُمْ عَلَى
مَلِيٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya : “Menunda pembayaran bagi
orang yang mampu adalah kedzaliman. Dan jika salah seorang kamu diikutkan
(dihiwalahkan) kepada orang kaya yang mampu, maka turutlah.”[15]
Apabila
hawalah telah sempurna, hak itu berpindah dari tanggungan muhil (yang
memindahkan hutang) kepada tanggungan muhal 'alaih (yang dipindahkan hutang
atasnya) dan bebaslah tanggungan muhil.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hawalah menurut bahasa artinya “pindah”. Menurut istilah,
Hawalah adalah pemindahan piutang dari satu tanggungan kepada tanggungan yang
lain. Di dalam hawalah ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu: (1)
Relanya pihak mihil dan muhal tanpa adanya muhal ‘alaih, jadi yang harus rela
itu adalah muhal ‘alaih. (2) Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya,
penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya. (3) Stabilnya muhal
‘alaih, maka penghiwalahan kepada seseorang yang tidak mampu membayar utang
adalah batal. (4) Hak tersebut diketahui secara jelas. Selain syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam akad hawalah, ada juga rukun di dalam pelaksanaannya,
yaitu ijab dan qabul, yang mana ijab dan qabul ini dilakukan antara muhal dan
muhil. Proses pelaksanaan hawalah ditinjau dari segi objek akad Ada dua jenis
hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
Demikianlah
makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan,
semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan,
khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar,
kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan
makalah kami selanjutmya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Haji dan Wakaf Kerajaan
Saudi Arabia, Alqur’an dan Terjemah, (Madinah: Komplek Percetakan Al
Qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifaian Raja Fadh, 1412 H)
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13,
(Kamaluddin, A. Marzuki) Fikih Sunnah (Bandung: al-Ma’arif Bandung, 1988)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim
At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam 4, Bab Muamalah, (Indonesia:
Islamhouse, 2009)
[1] Departemen Haji dan
Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Alqur’an dan Terjemah, (Madinah: Komplek
Percetakan Al Qur’an Khadim Al Haramain asy Syarifaian Raja Fadh, 1412 H)
[2] Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007)
[3] Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah,
[4] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Kamaluddin, A. Marzuki) Fikih Sunnah (Bandung:
al-Ma’arif Bandung, 1988)
[14] Syaikh Muhammad bin
Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam 4, Bab Muamalah, (Indonesia :
Islamhouse, 2009),
No comments:
Post a Comment