PEMIKIRAN HARUN NASUTION
Oleh : Nisa
PENDAHULUAN
Munculnya para pembaharu-pembaharu
dalam islam adalah karena adanya ide-ide pembaharuan yang ingin dimunculkan
agar islam bisa mendapatkan kejayaannya kembali. Sama halnya dengan Harun
Nasution ia hadir juga karena ingin memunculkan ide-idenya yang menurutnya
selama ini terjadi kesalafahaman tentang islam itu sendiri.
Ada beberapa ide pokok tentang pemikiran
Harun Nasution yang kami coba paparkan
dalam makakalah ini, yaitu bagai mana islam yang sebenarnya dengan melihat
adanya berbagai aspek yang ada dalam islam, penyebab hilangnya kekuatan islam
yang pernah dimiliki sebelumnya pada saat keemasannya, serta seperti apa
pandangannya tentang akal.
PEMBAHASAN
Biografi
Harun Nasution
Harun nasution dilahirkan dipematang
siantar, sumatera utara, 23
september 1919, sejak kecil Harun nasution dikenal gemar mendalami
ilmu. Otak nya tergolong encer sementara semangatnya mencari ilmu menjadi
spirit utama hidupnya. Bahkan diusianya yang setengah abad ia belum punya runah
justru karena kecintaannya mendalami ilmu dinegeri orang. Besar dipematangsiantar,
guru besar filsafat islam ini adalah putera keempat Abdul Jabbar Ahmad, ulama,
pedagang, hakim sekaligus penghulu dikota itu. Ibunya adalah seorang keturunan
mandailing, tapanuli selatan, menguasai bahasa arab karena pernah bermukim
dimekkah.
Karena pengaruh komunis kuat
diindonesia, Harun yang anti komunis memutuskan untuk keluar dari kedutaan.
Kedua kalinya, ia kemesir untuk melanjutkan studinya, Harun memilih belajar
dilembaga Ad-Dirasat al-islamiyah (1960). Studinya dimesir lagi-lagi tak dapat
diteruskan akibat kekurangan biaya, ketika itu ia menerimatawaran dari Prof.
Rasjidi orang yang kemudian menjadi
partner polemiknya dibidang pembaharuan dan pemikiran islam untuk menerima beasiswa
dari institute of islamic studies Mc Gill, monterial, kanada. Pada 1965, harun
memperoleh gelar magister dari universitas tersebutdengan judul tesis yang
masih dekat dengan sejarah tanah airnya: The Islamic State In Indonesia: The Rise Of Theology,
The Movement For Its Creation And The Theory Of The Masyumi. Tiga tahun
berikutnya ia memperoleh gelar Doktor pada bidang studi islam pada universitas
yang sama. Setahun kemudian (1969), ia kembali keindonesia, berbagai jabatan
pernah ia pegang, baik akademis maupun pemerintah.
Islam dalam
pengertian yang sebenarnya
Harun Nasution hadir sebagai sosok
yang banyak melontarkan keritik terhadap pemahaman tradisi keagamaan yang ada,
keritikan ini banyak dilontarkan diantaranya pada buku yang ditulisnya yaitu
“islam ditinjau dari berbagai aspek”
Menurutnya masyarakat indonesia keliru, islam terkesan
sempit hal ini karena salah pengertian tentang hakekat islam, seharusnya islam
dikenal secara utuh, tidak terpotong-potong sehingga ia terlihat sangat luas
dan kesan ini harus dihilangkan/dipunahkan.
Tentang paham
islam yang sempit itu, Harun Nasution menulis dalam pendahuluan buku itu:
“Dikalangan masyarakat indonesia
terdapat kesan bahwa islam bersifat sempit, kesan itu timbul dari salah
pengertian tentang hakekat islam. Kekeliruan faham ini terdapat bukan hanya
dikalangan umat bukan islam, tetapi juga dikalangan umat islam sendiri, bahkan
juga dikalangan sebagian agamawan-agamawan islam.
Kekeliruan faham ini terjadi karena kurikulum pendidikan agama islam yang
banyak dipakai diindonesia ditekankan pada pengajaran ibadat, fikih tauhid,
tafsir, hadist dan b.arab. oleh karena itu islam hanya dikenal dari aspek
ibadat fikif dan tauhid saja dan itu pun ibadat, fikih, dan tauhid biasanya
hanya diajarkan hanya menurut satu mazhab dan aliran saja. Hal ini memberi
pengetahuan yang sempit tentang islam.
Dalam islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari tersebut diatas seperti
aspek teologi, aspek ajaran spirituil dan moral, aspek sejarah, aspek
kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan,
aspek misticisme dan tarekat, aspek filsafat, aspek ilmu pengetahuan dan aspek
pemikitan serta usaha-usaha pembaharuan dalam islam”
Dalam kutipan diatas Harun Nasution
ingin menunjukkan bahwa islam tidak sempit bahkan sangat luas sekali. Inilah
islam yang sebenarnya islam dalam berbagai aspeknya, ia sendiri sangat mengakui
bahwa untuk mengetahui islam yang seperti itu tidak mudah, menghendaki masa
yang panjang dan usaha yang kuat. Mungkin orang akan menghabiskan semua umurnya
untuk mengetahui itu, dan itu memang tidak perlu, yang diperlukan hanyalah
mengetahui aspek-aspeknya dan aliran-aliran itu dalam garis besarnya, sebagai
dasar pengetahuan yang demikian sudah cukup, kemudian barulah orang mengadakan
spesialisasi dalam bidang teologi, filsafah dan tasawuf, spesialisasi dalam
bidang hukum, spesialisasi dalam bidang sejarah kebudayaan dan sebagainya.
Aspek-aspek dalam islam
Dalam aspek
ibadah yaitu menurutnya manusia dalam islam tersusun dari dua unsur yaitu
jasmani dan rohani, pendidikan jasmani harus disempurnakan dengan/latihan
pendidikan rohani. Dan dalam islam ibadatlah yang memberikan latihan rohani
yang diperlukan manusia itu, tujuan ibadat dalam islam bukan untuk menyembah
tapi mendekatkan diri kepada Tuhan. Pendekatan ini agar roh manusia senantiasa
mengingat hal-hal yang bersifat suci dan bersih dan roh yang bersih/suci membawa
kepada budi pekerti yang baik dan luhur.
Dalam
perkembangan hukum ia membagi kedalam empat periode yaitu:
·
Periode Nabi
·
Periode sahabat
·
Periode ijtihad serta kemajunnya
·
Periode taklid serta kemundurannya
Dalam aspek
teologi, dalam islam aspek
politiklah yang berkembang menjadi aspek
teologi. Menurutnya islam tidak hanya mempunyai satu aliran ada yang bercorak
liberal, yaitu aliran yang banyak memakai kekuatan akal disamping kepercayaan
kepada wahyu dan ada pula yang bersifat tradisonil, yaitu aliran yang sedikit
sekali menggunakan akal dan banyak
bergantung pada wahyu. Dan Kesemua aliran yang ada dalam islam ini, sama halnya
dengan mazhab hukum islam yaitu tidak keluar dari ajaran islam semua masih
dalam lingkungan islam. Karena itu orang islam mempunyai kebebasan
memilih aliran teologi yang menurutnya sesuai.
Sejalan dengan penampilan islam
dalam pengertian yang sebenarnya itu, Harun Nasution mempertanyakan kembali
al-qur’an dan hadist sebagai sumber utama ajaran islam, maksudnya yaitu apakah
al-qur’an mencakup segala-galanya dan hadist seluruhnya berasal nabi.
Menurutnya al-qur’an tidak mencakup
segala-galanya dan tidak menjelaskan segala masalah kehidupan manusia, baik itu
masalah kemasyarakatan maupun iptek, lebih jauh lagi Harun Nasution juga
menjelaskan al-qur’an yang terdiri dari 6360 ayat, lebih banyak mengandung
ketentuan tentang iman, ibadat dan hidup kemasyarakatan manusia dan sangat
sedikit mengandung ilmu pengetahuan dan fenomena alam
Berkaitan dengan hal tersebut
diatas, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa ayat-ayat al-qur’an ada yang
qath’iy al-dilalah dan adapula yang zhanniy al-dilalah. Selain itu hadits juga
mengandung masalah qathiy[1]
dan zhanny[2]
tentang dilalahnya. Karena hadist tidak dihapal seperti al-qur’an serta tidak
dicatat dari semula, tidaklah diketahui secara pasti mana hadis yang
betul-betul dari nabi dan manapula hadist yang dibuat-buat, Harun Nasution menulis
Tidak ada kesepakatan kita antara umat islam tentang keorisinilan semua Hadits
dari Nabi. Jadi berlainan dengan ayat Al-qur’an yang semuanya diakui oleh semua
umat islam adalah wahyu yang diterima Nabi dan kemudian beliau teruskan pada
umatnya, dalam keorisinalan Hadits terdapat perbedaan antara umat islam. Oleh
karena itu kekuatan Hadits sebagai sumber-sumber ajaran islam tidak sama dengan
kekuatan Al-qur’an.
Pemahaman
tentang apa itu Al-qur’an (dengan teks qath’iy dan zhanny al-dilalah) serta hadis
yang diperselisihkan keorisinalannya dari nabi kecuali yang mutawatir tetapi
jumlahnya sedikit, jelas membuka kelonggaran dalam pemahaman islam, yang selama
ini terasa sangat sempit. Ini berakibat kepada pembenaran semua hasil ijtihad,
selama itu tetap berdasarkan al-qur’an dan hadist. Perbedaan yang terjadi dalam
hasil ijtihad semuanya masih dalam kebenaran.
Itu sebabnya
Harun Nasutian menyodorkan pendekatan vertikal terhadap perbedaan yang banyak
itu, bukan pada pendekatan horizontal. Dengan pendekatan vertikal, karena
sumber dari perbedaan tersebut adalah sama yakni al-qur’an dan hadits, maka semua itu tetap berada pada
kebenaran, kendatipun berbeda penafsiran dan perincian. Dengan pemikiran
seperti ini memperlihatkan bahwa ajaran islam itu sangat luas, setiap orang
dapat memilih salah satu aliran atau mazhab yang sesuai buat dirinya. Mazhab
dan aliran itu baik dalam bidang tauhid maupun ibadat hukum maupun pada bidang
lainnya.
Kedudukan
Akal
Dalam
tulisannya Harun Nasution terlihat sekali kekagumannya pada Muhammad
Abduh dan teologi rasional mu’tazilah. Ia menganggap bahwa teologi
Muhammad Abduh banyak persamaanya dengan teologi Mu’tazilah walaupun juga
terdapat pebedaan. Menurutnya hanya dalam
teologi Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, manusia akan dapat menjauhi hidup kemasyarakatan
yang kacau, walaupun tanpa turunnya wahyu. Karena akal selain dapat membedakan
yang baik dan buruk juga dapat mengetahui bahwa manusia wajib berbuat baik dan
menjahui perbuatan jahat.
Selain itu dalam berbagai tulisannya Harun Nasution
menghubungkan akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu
dalam pandangan Al-quran yang demikian penting dan bebas. Menurutnya
pemikiran-pemikiran itu adalah hasil akal manusia, manusia yang tidak bersifat
ma’sum (tidak bisa berbuat salah), dengan kata lain penafsiran atau
interpretasi ulama-ulama, tegasnya
ajaran-ajaran yang bukan dasar itu, tidak mempunyai sifat mutlak.
Kemunduran
islam diindonesia
Menurut Harun Nasution dalam bukunya
yaitu Pembaharuan dalam islam: sejarah pemikiran dan gerakan bahwa “perkembangan pemikiran dan gerakan
pembaharuan dimesir, turki dan india-pakistan dapat dilihat bahwa kesadaran
akan kelemahan dan kemunduran umat islam timbul pada diri-diri pemimpin setelah
adanya kontak langsung dengan dunia barat di abad ke-18 dan abad ke-19 yang
lalu, adanya kontak itu membuat mereka dapat mengadakan perbandingan antara
dunia islam yang sedang menurun dan dunia barat yang yang sedang menaik.
Kesadaran bertambah lagi setelah beberapa negara islam dapat ditundukkan barat
kebawah kekuasaan mereka.
Keadaan itu mendorong
pemimpin-pemimpin islam untuk menyelidiki sebab-sebab yang membawa kemunduran
dan kelemahan umat islam dan selanjutnya memikirkan jalan yang harus ditempuh
untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan.”
Menurutnya yang
menjadi penyebab kemunduran umat islam indonesia adalah asy’arisme[3]
yang sangat bersifat jabariah (terlalu menyerah kepada takdir)[4].
Ini terlihat pada tulisan yaitu: “Dalam pada ajaran itu ajaran jabariah yang
terdapat dalam teologi islam mulai pula mempunyai pengaruhnya kepada umat islam
Abad pertengahan. Ajaran tawakal yang dibawa tarekat sufi menghilangkan
dinamika umat islam, dan sebagai gantinya timbullah sikap pasif dikalangan
umat”.
Dan obsesi Harun
Nasution yang sangat menonjol yaitu bagaimana membawa umat islam indonesia kearah rasionalitas dan bagaimana agar
kalangan umat islam indonesia
tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah.
PENUTUP.
Dalam
buku-bukunya Harun Nasution menyodorkan banyak aspek-aspek dalam islam, selain
aspek-aspek yang sering disebutkan(aspek ibadah, fikih dan tauhid) aspek-aspek
itu diantaranya aspek hukum, aspek teologi, dan aspek-aspek lainnya. Adanya
aspek-aspek ini menunjukkan bahwa islam
yang sebenarnya adalah islam yang cakupannya sangat luas.
Selain aspek-aspek diatas, dalam
buku-bukunya juga terlihat sekali kekagumannya kepada salah satu tokoh
pembaharu yaitu Muhammad Abduh. Sama halanya dengan tokoh yang dikaguminya itu,
ia juga mendudukan akal dengan keduakan yang tinggi. Menurutnya kedinamisan
hukum islam yang pernah terjadi karena adanya taklid/tertutupnya pintu ijtihad.
Dan agar kemajuan dapat tercapai pintu ijtihad harus dibuka kembali. Karena
hasil ijtihad sebelumnya merupakan penyelesaian pemasalahan yang berbeda dengan
kondisi zaman sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid I, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1985)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid II, (Jakarta:
Universitas Indonesia press, 1986)
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan teologi rasional mu’tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1987)
Harun Nasution, Pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
[1] Qathiy (teks yang tidak di
interpretasikan lagi kepada arti lain, selain arti harfiyahnya / artinya sudah
jelas)
[2] Zhanny
(teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfiyahnya)
[3]
Teori al-kasb asy’ari yaitu segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab
untuk melakukan perbuatan, sebagai konsekuensi dari teori kasab ini manusia
kehilangan keaktifan, sehingga manusi bersikap pasif dalam perbuatannya.
[4]
Aliran jabariah ada dua: yang pertama jabariah ekstrim menurutnya bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri tetapi perbuatan yang
dipaksakan atas dirinya, misalnya kalau seorang mencuri, perbuatan mencuri
bukanlah terjadi atas kehendaknya, tapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang
menghendaki. Yang kedua jabariah moderat berpendapat bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik tapi manusia
mempunya peranana didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud kasab (menurut paham kasab manusia tidak
majbur/dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia itu memperoleh perbuatan
yang diciptakan Tuhan.
Ka itu buku dapet dipinjen dimana ya?
ReplyDelete