Saturday, March 29, 2014

Prinsip Moral Produsen Dan Konsumen Dalam Perekonomian Islam


PENDAHULUAN 
Kata produsen dan konsumen mungkin tidak asing lagi di telinga kita, di mana-mana kita sering mendengar kata-kata tersebut, di pasar, di pertokoan, di warung makan, di kantor ataupun di tempat-tempat umum lainnya, bahkan di kampus kita terutama para mahasiswa jurusan syari’ah Muamalah kedua kata tersebut menjadi santapan wajib setiap hari, lantas ada yang istimewakah kedua kata tersebut sampai-sampai menjadi sesuatu yang sepertinya enak untuk diperbincangkan.
Memang kedua kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi kita, tetapi ada suatu permasalahan yang sepertinya perlu diadakan kajian yang lebih mendalam tentang kedua kata tersebut, yaitu apakah kita mengetahui hakekat dari kedua kata tersebut jika dikorelasikan dengan sistem yang di terapkan oleh ekonomi Islam.
Kebanyakan dari kita hanya kenal istilahnya saja, padahal ada beberapa aturan dan kaidah-kaidah normatik yang perlu diperhatikan jika kita memang merasa menjadi salah satu ataupun menjadi keduanya, tentunya dilihat dari kacamata syari’ah Islam.
Oleh karenanya, kami selaku penulis akan sedikit menjelaskan mengenai kedua kata tersebut dalam sebuah makalah yang berjudul “Prinsip Moral Produsen Dan Konsumen Dalam Perekonomian Islam 
PEMBAHASAN
A.     PRINSIP-PRINSIP MORAL PRODUSEN
1.      Definisi Produksi dan Produsen
Dalam istilah ekonomi, produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan–kegiatan ekonomi untuk meghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi, dalam sistem ekonomi Islam definisi produksi tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan di atas. Akan tetapi, dalam sistem ini ada beberapa nilai yang membuat sistem produksi sedikit berbeda, dimana barang yang ingin diproduksi dan proses produksi serta proses distribusi harus sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.[1]
Sedangkan definisi produsen menurut hemat penulis adalah seorang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan produksi, baik produksi barang ataupun produksi jasa dan produksi tersebut didistribusikan.
2.      Faktor Produksi
Faktor-faktor produksi adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi terciptanya atau terlaksananya dan berjalan kegiatan produksi. Jadi, apabila sesuatu atau sebagian dari sesuatu itu tidak ada maka produksi itu tidak dapat terlaksana atau berjalan dengan sempurna.[2]
Menurut kebanyakan ekonom, faktor-faktor produksi ada empat macam, yaitu :
a.       Modal (Capital)
Dalam pandangan ekonom, modal adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment (peralatan), gedung dan lain sebagainya, modal mempunyai kontribusi yang cukup berartibagi terciptanya barang dan jasa, sebagai konsekuensinya, modal berhak mendapatkan konpensasi atas jasa yang telah diberikan. Dalam sistem kapitalis, modal berhak mendapatkan bunga sebagai konpensasi pinjaman (Return Of Loans)
Merujuk kepada sistem ekonomi Islam, konpensasi pinjaman yang diberikan di bedakan berdasarkan jenis komoditas yang dipinjamkan (Invested), apabila modal yang diinvestasikan berupa uang, maka konsep syari’ah yang bisa digunakan adalah bagi hasil (Profit Loss Sharing), namun jika yang diinvestasikan berupa barang dan peralatan lainnya, yang wajib dibayrkan adalah biaya sewa atas peralatan tersebut.[3]
b.      Sumber Daya Alam (SDA)
Sumber daya alam meliputi segala sesuatu yang ada di dalam maupun di luar permukaan bumi, seperti pertambangan, hutan, air, pasir, tanah pertanian dan lain sebaginya. Semua itu bisa digunakan untuk menghasilkan suatu barang maupun jasa untuk kebutuhan manusia.
Sebagai seorang muslim di dalam mengelola sumber daya alam seharusnya tidak berlebihan, terutama terhadat barang yang tidak bisa diperbaharui seperti barang tambang dan minyak bumi, karena jika berlebihan mengeruk  tambang bumi maka, tidak menuntut kemungkinan bererapa tahun ke depan kita tidak dapat  mendapatkan barang itu lagi.
c.       Sumber Daya Manusia (SDM) / Tenaga kerja
d.      Management / Labour
3.      Tujuan Produksi
Bagi pengusaha muslim berproduksi merupakan bagian dari sikap syukur atas nikmat Allah. anugerah Allah yang berupa alam beserta isinya diberikan kepada manusia untuk menciptakan keharmonisan dalam hidup dan kehidupan ini. Keharmonisan akan menjadi suasana yang lebih kondusif dalam melakukan usaha (produksi)[4], jika tujuan usaha tersebut ditujukan semata-mata karena Allah.
Secara substantif kegiatan produksi yang dilakukan oleh seorang produsen muslim, harus bertujuan seperti yang dirumuskan sebagai berikut:
a.       Beribadah mengharap ridho Allah
b.      Bermohon mendambakan barokah dari Allah
c.       Kelayakan profit untuk sarana mencapai tujuan bisnis
d.      Pertumbuhan dan kemajuan yang harmonis
e.       Ikut serta dalam mengatasi persoalan sosial
f.       Memenuhi kebutuhan sosial
g.       Alokasi sumber daya secara optimal bagi semua pemiliknya
h.      Memberikan perlindungan atas keselamatan lingkungan yang bersih dan sehat.[5]
4.      Prinsip Moral yang Perlu Diperhatikan oleh Produsen
Dalam segi ekonomi, berbagai usaha mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencari keuntungan maksimum dengan jalan mengatur penggunaan faktor-faktor produksi seefesien mungkin, sehingga usaha memaksimumkan keuntungan dapat dicapai dengan cara yang paling efesien.
Dalam Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang produsen dalam melakukan sebuah kegiatan produksi, diantaranya adalah adanya larangan melakukan kegiatan produksi yang dilarang oleh syari'at seperti memproduksi makanan yang terbuat dari daging babi, daging anjing, membuat arak dan segala perbuatan yang mengarah pada kemusyrikan, misal jadi peramal dan lain sebagainya 
B.     PRINSIP-PRINSIP MORAL KONSUMEN
1.      Definisi  Konsumen
Pada hakekatnya, konsumen mengandung pengertian yang sangat luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, “Consumers by definition include us all”. (Secara definisi, kita semua termasuk konsumen). Dalam Undang-undang perlindungan konsumen Tahun 1999 Bab I, Pasal 1 nomor 2 mendefinisikan konsumen sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi bagi kepentingan dirinya sendiri, orang lain, maupun yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”.[6]
2.      Urgensi Konsumsi
Di dalam teori ekonomi kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dinamakan utility atau nilai guna, kalau kepuasan semakin tinggi semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah semakin rendah pula nilai gunanya.[7]
Perilaku konsumen dalam sistem kapitalis dan sosialis dihegemoni oleh nilai-nilai materialisme, kebutuhan yang harus dipenuhi  hanya kebutuhan yang bersifat materi atau dengan kata lain hanya berorientasi pada nilai--nilai material, hal ini tentunya sangat kontras sekali dengan konsep yang diterpkan oleh sistem ekonomi Islam, dalam sistem ekonomi Islam seorang konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya disamping untuk mencapai kepuasan material juga mencapai kepuasaan spiritual.[8]
Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan mempertimbangkan beberapa hal :
a.       Barang yang dikonsumsi tidak haram, termasu di dalamnya berspekulasi, menimbun barang, dan melakukan kegiatan di pasar gelap
b.      Barang yang di konsumsi tidak mengandung unsur riba
c.       Memperhitungkan zakat dan infaq.[9]
3.      Unsur Penentu Preferensi Konsumsi
Ada tiga unsur yang dapat mempengaruhi tingkat preferensi konsumen dalam berkonsumsi :
a.       Rasionalitas
Dalam membahas teori perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen merupakan sosok yang cerdas. Dalam artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan terhadap jenis, karekteristik, dan keistimewaan komoditas yang ada. Dengan harapan, komoditas yang telah dikonsumsi oleh konsumen dapat mendapatkan tingkat utility yang memuaskan. Perilaku sosial seorang konsumen terkadang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam menetukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi.
 Ada beberapa aturan yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk mewujudkan rasionalitas dalam berkonsumsi, yaitu :[10]
1)      Tidak boleh hidup bermewah-mewahan
2)      Pelarangan Israf[11], Tabdzir, [12]dan Safih.[13]
3)      Keseimbangan dalam berkonsumsi.
4)      Larangan berkonsumsi barang dan jasa yang membahayakan
b.      Kebebasan berekonomi
Dalam konsep ekonomi Islam, seorang konsumen diberi kebebasan untuk melakukan tawar-menawar dan menentukan kesepakatan dalam sebuah transaksi, tetapi tidak bersifat mutlak. Kebebasan dalam sistem ekonomi Islam merupakan kebebasan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama yang bertujuan untuk mewujudkan dialektika mkemashlatan individu dan masyarakat.[14]
c.       Maksimalisasi nilai guna
Dalam berkonsumsi, seorang muslim bisa memaksimalkan nilai utility yang ingin ia dapatkan dari sebuah komoditas, dengan catatan tidak melampaui batas-bats yang telah ditentukan oleh syariah. Sistem ekonomi Islam tidak secara mutlak menerima konsep utility dan preference dalam berkonsumsi,dengan alasan pemahaman manusia sangat terbatas, sehingga apa yang dinilai oleh seorang manusia terkadang terbalik dengan substansi yang sebenarnya.
4.      Perilaku Moral yang Perlu Diperhatikan oleh Konsumen
Perilaku seorang konsumen sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keyakinan dalam menjalani hidup. Dalam kehidupan banyak sekali nilai-nilai ekonomi yang ditawarkan oleh sistem yang ada. Dalam kapitalisme, seorang konsumen merupakan perwujudan materi, diman segala perilaku konsumsi yang ada harus berdasarkan atas nilai-nilai materi.[15] Ini tentunya sangat bertentangan dengan sistem yang di terpakan oleh Islam yang lebih mengedepankan kepuasan spiritual.
Islam mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagimana manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang manusia berguna bagi ke-mashlahat-an hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia lewat al-Qur’an dan al-Hadits, supaya manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera.
Seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan :[16]
a.       Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi masyarakat atau negara. Terselenggaranya keberlangsungan hidup manusia sepenuhnya diatur oleh Allah. sehingga diharapkan seorang konsumen mampu untuk mengkondisikan pemenuhan kebutuhan  hidupnya berdasarkan tempat di mana dia berada
b.      Dalam konsep Islam kebutuhan yang membentuk pola konsumsi seorang muslim, dimana batas-batas fisik merefleksikan pola yang digunakan seorang muslim untuk melakukan aktifitas konsumsi, bukan dikarenakan preferensi semata yang mempengaruhi pola konsumsi seorng muslim. keadaan ini akan menghindari pola hidup yang berlebihan, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga konsistensinya dalam jangka yang lebih panjang.
c.       Perilaku berkonsumsi seoarang muslim diatur perannya sebagai makhluk sosial. Maka dalam berperilaku seorang konsumen harus mengkondisikan untuk salaing menghargai dan menghormati orang lain. 
PENUTUP
Dalam ekonomi Islam, masalah produsen dan konsumen menjadi bagian yang penting karena semua kegiatan perekonomian berangkat dari mereka (produsen dan konsumen) selaku pelaku utama kegiatan ekonomi, oleh karenanya semua tingkah daan lakunyapun terkoordinir dalam regulasi hukum-hukumnya.
Seperti yang telah di sebutkan pada pembahasan di atas bahwa seorang produsen dan konsumen dalam menjalankan aktifitasnya tidak lepas dari pantauan hukum syari'at, perilakunya pun tidak semata-mata karena mencari kepuasan materi saja, tetapi kepuasan spiritual menjadi prioritas yang harus didahulukan.
Seorang produsen misalnya dalam memproduksi sesuatu sebaiknya harus mempunyai tujuan : (a) Beribadah mengharap ridho Allah, (b) Bermohon mendambakan barokah dari Allah, (c) Kelayakan profit untuk sarana mencapai tujuan bisnis, (d) Pertumbuhan dan kemajuan yang harmonis, (e) ikut serta dalam mengatasi persoalan sosial, (f) Memenuhi kebutuhan sosial, (g) Alokasi sumber daya secara optimal bagi semua pemiliknya, (h) Memberikan perlindungan atas keselamatan lingkungan yang bersih dan sehat.
Sedangkan bagi seorang konsumen ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam mengkonsumsi sesuatu, antara lain: (1) Tidak boleh hidup bermewah-mewahan, (2) Pelarangan Israf, Tabdzir, dan Safih. (3) Keseimbangan dalam berkonsumsi.(4) Larangan bekonsumsi barang dan jasa yang membahayakan. Wallahu a’lam 
DAFTAR PUSTAKA
Chapra,Umer, 1999, Islam dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti, Surabaya
Marthon, Said Sa’ad, 2004, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, Zikrul Hakim, Jakarta
Muslich, 2004, Etika Bisnis Islam : Landasan Filosofis, Normatif dan Subtantif Implementatif, Ekonisia , Yogyakarta
 Muhammad dan Alimin, 2004, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, BPFE, Yogyakarta
Sudarsono, Heri, 2002, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. I, Ekonisia,Yogyakarta

[1] DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, Cet. I, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hal. 43
[2] Sebenarnya ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang faktor-faktor produksi, seperti yang di kemukakan oleh al Maududi dan Abu Suud bahwa faktor produksi terdiri dari kerja, tanah dan modal dan lain halnya dengan M.A Mannan yang mengatakan bahwa faktor produksi hanya terdiri dari tanah dan kerja. Tetapi kami mengambil pendapat mayoritas tentang faktor produksi yaitu yang terdiri dari 4 faktor modal, SDA, SDM, dan managemant. Untuk lebih jelasnya lihat M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Surabaya : Risalah Gusti, 1999), hal.47
[3] DR, Sa’ad Marthon, Op.cit, hal.52
[4] Heri Sudarsono, SE, Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. I (Yogyakarta : Ekonisia, 2002), hal. 195
[5] Drs. Muslich, MM, Etika Bisnis Islam : Landasan Filosofis, Normatif,dan Subtantif Implementatif, (Yogyakarta : Ekonisia, 2004), hal. 92
[6] Drs. Muhammad, M.Ag dan Alimin, Lc, M.Ag, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), hal. 128
[7] Heri Sudarsono, SE, Op.cit, hal. 152
[8] Kepuasan spiritual di sini maksudnya, dalam mengkonsumsi suatu barang kita itu mempertimbangkan nilai-nilai spiritual yang telah di tetapkan oleh syari'at Islam, sebagai contoh ummat Islam hanya diperbolehkan mengkonsumsi barang-barang yang halal saja, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak mempertimbangkan perihal halal dan haram. Lihat : DR. Said Sa’ad Marthon, Op.cit, hal. 64
[9] Heri Sudarsono, SE, Loc.cit
[10] DR, Sa’ad Marthon,Op.cit hal.68
[11] Israf artinya melakukan suatu tindakan yang melampaui batas hemat dan keseimbangan
[12] Tabdzir adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proposional
[13] Safih adalah orang yang tidak cerdas, dimana ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah dan senantiasa menuruti hawa nafsunya
[14] DR, Sa’ad Marthon, Op.cit, hal. 73
[15] Ibid, hal. 74
[16] Heri Sudarsono, SE, Op.cit, hal. 151-152

No comments:

Post a Comment