BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dalam kehidupan realiti, bisnis baik sebagai aktivitas maupun
sebagai entitas, telah ada dalam sistem dan strukturnya yang “baku”. Bisnis
berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu
atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan
hidupnya. Sementara itu, etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis. Etika adalah ilmu yang berisi
patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau yang salah, yang baik atau
buruk, yang bermanfaat atau tidak. Dalam kenyataan itu bisnis dan etika
dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitannya. Jika pun ada
malah dipandang sebagai hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan
kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan
bebas. Sebaliknya etika bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap dapat
mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis. Dengan demikian hubunan antara bisnis
dan etika telah melahirkan hal yang problematis.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah
1. Apakah yang
dimaksud dengan etika, bisnis, etika bisnis dan etika bisnis dalam Islam ?
2. Bagaimana
kehidupan bisnis kontemporer?
3. Bagaimana
peranan etika?
4. Bagaimana
contoh kehidupan bisnis yang beretika dan bisnis yang tidak beretika dan apa
dampaknya?
C. Tujuan
Penulisan Makalah
1. Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan etika, bisnis, etika bisnis dan
etika bisnis dalam Islam.
2. Untuk
mengetahui bagaimana kehidupan bisnis kontemporer.
3. Untuk
mengetahui bagaimana peranan etika.
4. Untuk
mengetahui bagaimana contoh kehidupan bisnis yang beretika dan bisnis yang
tidak beretika dan apa dampaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Etika dan Bisnis
a. Etika
Etika berasal dari Bahasa Yunani
Kuno ethos. Dalam bentuk kata tunggal kata tersebut mempunyai
banyak arti, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir.
Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan artinya
adalah adat kebiasaan dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah “Etika” yang oleh filosof Yunani Besar, Aristoteles
(384-322SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral[1].
Dalam kamus Inggris, etika (ethic)
mengandung empat pengertian. Pertama, etika adalah prinsip tingkah
laku yang baik atau kumpulan dari prinsip-prinsip itu. Kedua, etika
merupakan sistem prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral. Ketiga,
dalam kata-kata “ethics” yaitu “ethic” dengan tambahan “s”
tapi dalam penggunaan mufrad atau singular, diartikan sebagai
kajian tentang hakikat umum moral. Keempat, “ethics” yaitu “ethic”
dengan tambahan mufrad (tunggal) dan jamak (plural), ialah
ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota
suatu profesi[2].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
etika dijelaskan dengan arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika juga diartikan kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Serta diartikan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat[3].
b. Bisnis
Bisnis termasuk kata yang sering
digunakan orang, namun tidak semuanya memahami kata bisnis secara tepat dan
proporsional. Hughes dan Kapoor seperti dikutip oleh Buchari Alma menjelaskan
bahwa bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk
menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat[4].
Lebih ringkas dari itu Brown dan
Petrello menyebut bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pengertian yang sederhana bisnis adalah
lembaga yang menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan orang lain[5].
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bisnis ialah usaha komersial di dunia
perdagangan, bidang usaha, usaha dagang[6].
B. Etika Bisnis
dan Etika Bisnis Islam
a. Etika Bisnis
Etika bisnis adalah cara-cara atau
perilaku etik dalam bisnis yang dilakukan oleh manajer/kru. Semua ini mencakup
bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai
dengan hukum yang berlaku tidak bergantung pada kedudukan individu ataupun
perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur
oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis sering kali kita
temukan area abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum[7].
Menurut Bertens etika bisnis adalah
studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Etika ini
dapat dipraktikkan dalam tiga taraf. Pertama, taraf
makro, etika bisnis akan berbicara tentang aspek-aspek bisnis secara
keseluruhan, seperti persoalan keadilan. Kedua, taraf meso (madya),
etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi seperti
serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain. Ketiga, taraf
mikro, yang memfokuskan pada individu dalam hubungannya dalam kegiatan bisnis
seperti tanggung jawab etis karyawan dan majikan, manajer, produsen dan
konsumen[8].
Berbicara tentang
bisnis, maka kajian yang dibahas tak jauh mengenai kajian ekonomi.
M. Abdul Mannan menjelaskan dalam buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam, bahwa
ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia, bukan sebagai individu yang
terisolasi, tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nilai hidup
Islam.[9] Hal
ini menjelaskan bahwa nilai-nilai hidup (etika) berperan penting dalam dunia
bisnis.
b. Etika Bisnis
Islam
Pemikiran etika bisnis Islam muncul ke
permukaan dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan
kumpulan aturan-aturan ajaran dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia
dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun
akhirat. Etika bisnis Islam tak jauh berbeda dengan pengejawantahan hukum dalam
fiqih muamalah. Dengan kondisi demikian maka pengembangan etika bisnis Islam
yang mengedepankan etika sebagai landasan filosofisnya merupakan agenda yang
signifikan untuk dikembangkan[10].
Secara normatif meurut Quraish Shihab,
al-Qur’an relatif lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang
bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa
membedakan kelas[11].
10. Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.
Allah berfirman, Wahai
orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku,
yang maha mengetahui ini, menunjukkan kepada kamu suatu perniagaan besar yang bila
kamu melakukannya maka ia dapat menyelamatkan kamu atas izin
Allah dari siksa yang pedih? Perniagaan itu adalah perjuangan di
jalan Allah karena jika kamu mau maka hendaklah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, yakni meningkatkan iman kamu dan memperbaharuinya dari
saat ke saat, dan juga berjihad, yakni
bersungguh-sungguh, dari saat ke saat mencurahkan apa yang kamu miliki berupa
tenaga, pikiran, waktu, dan dengan harta-harta dan jiwa-jiwa kamu masing-masing
di jalan Allah, yang demikian itu, yakni beriman dan berjihad, yang
sungguh tinggi nilainya lagi luhur baik buat kamu. Jika
kamu mengetahui bahwa hal tersebut baik maka tentulah kamu
mengerjakannya[12].
Yang dimaksud dengan kata tijarah dalam
ayat ini adalah amal-amal saleh. Memang al-Quran sering kali menggunakan kata
itu untuk makna tersebut karena motivasi beramal saleh – oleh banyak orang –
adalah untuk memperoleh ganjaran persis seperti perniagaan yang dijalankan
seseorang guna meraih keuntungan[13].
A. Riawan Amin menjelaskan dalam bukunya
“Menggagas Manajemen Syariah” bahwa prinsip-prinsip etika bisnis menurut
al-Quran yaitu[14] :
1. Melarang bisnis
yang dilakukan denagn proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis harus didasari pada
kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa ada pihak yang
dirugikan . orang yang berbuat batil termasuk perbuatan aniaya, melanggar hak
dan berdosa besar (QS. 4:30). Sementara orang yang menjauhinya, maka
akan selamat dan akan mendapat kemuliaaan (QS. 4:31).
2. Bisnis tidak
boleh mengandung unsur riba (QS. 2:275).
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini
akan berupaya mencari prinsip-prinsip etika bisnis dalam perspektif al-Quran,
yaitu etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al-Quran. Pernyataan ini pada
satu sisi bertujuan menolak anggapan bahwa bisnis hanya merupakan aktifitas
keduniaan yang terpisah dari persoalan etika dan pada sisi lain akan
mengembangkan prinsip-prinsip etika bisnis al-Qur’an, sebagai upaya
konseptualisasi sekaligus mencari landasan persoalan-persoalan praktek mal
bisnis.
C. KEHIDUPAN ETIKA
BISNIS KONTEMPORER
Urgensi Etika
Bisnis : Islam dan kontemporer
Bisnis
Kontemporer, jika dicermati secara saksama nampak sebagai suatu realitas yang
teramat kompleks. Kompleksitas bisnis tidak bisa dipahami secara terpisah dari
masyarakat yang pada dirinya sendiri juga memliki struktur sangat
kompleks. Bagaimanapun perilaku mencerminkan akhlak (etika) seseorang.
Atau dengan kata lain, perilaku berelasi dengan etika. Apabila seseorang taat
pada etika, berkecendrungan akan menghasilkan perilaku yang baik dalam setiap
aktivitas atau tindakannya, tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis. Secara
konkret bisa diilustrasikan jika seorang pelaku bisnis yang peduli pada etika,
bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah adil selalu melihat kepentingan
orang lain (moral altruistik) dan sebagainya. Sebaliknya bagi mereka yang tidak
mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun saja tipe kelompok orang
kedua ini akan menampakkan sikap kontra poduktif dengan sifat tipe kelompok
orang pertama dalam mengendalikan bisnis.[15]
Menurut
Qardhawi,[16] antara
ekonomi (bisnis) dan akhlak (etika) tidak pernah terpisah sama sekali, seperti
halnya antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak,dan antara perang dan
akhlak. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan islami. Karena risalah
islam adalah risalah akhlak. Sebagaimana pula tidak pernah terpisah antara
agama dan negara, dan antara materi dan ruhani. Seorang muslim yakin akan
kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan. Sebab itu tidak bisa diterima sama
sekali tindakan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama sebagaimana yang
terjadi di eropa.
Seorang
pengusaha dalam pandangan etika islam bukan sekedar mencari keuntungan,
melainkan juga keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh
keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah Swt. Ini berarti yang harus
diraih oleh seorang pedagang dalam melakukan bisnis tidak sebatas keuntungan
materi tetapi yang penting lagi adalah keuntungan immateriil (spiritual).
Kebendaan yang profan (tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan)[17] baru
bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden
(ukhrawi).
Akan tetapi ,
perlu disadari bagaimanapun dalam dunia usaha (bisnis) mau tidak mau akan
muncul masalah-masalah etis dan masalah-masalah etis itu sudah barang tentu
harus dicarikan jalan kluarnya.[18]Terlebih
lagi secara realitas, dunia usaha di tanah air masih maemandang etika bisnis
sebagai sesuatu yang asing, yang sulit ditempatkan ke dalam dunia bisnis
sehari-hari. Maraknya penggunaaan zat tambahan baik untuk penyedap, pengawet,
pewarna dan lain sebagainya merupakan nsalah satu contoh kecil yang memperkuat
tesis itu. Belum lagi kasus-kasus besar yang menyangkut masalah perusakan
lingkungan hidup, kejahatan perbankan, pembalakan hutan dan lain-lain, semakin
meyakini betapa penting peran etika bisnis dalam mengantisipasi penyimpangan
yang banyak merugikan bangsa itu
Dalam islam,
tuntutan bekerja adalah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim agar
kebutuhan hidupnya sehari-hari bisa terpenuhi. Salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan itu antara lain melalui aktifitas bisnis sebagaimana telah
dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw sejak beliau masih usua muda.[19] Hanya
saja beliau dalam berbisnis benar-benar menerapkan standar moral yang
digariskan dalam al-qur’an. Oleh karena itu, sebagai pelaku bisnis terutama sebagai
Muslim, ia harus menyibukkan diri dengan masalah-masalah etis. Dengan kata
lain, profesionalitas dalam bisnis dituntut juga adanya kompetensi yang memadai
dalam memecahkan tantangan etika bisnis yang sekarang mulai longgar
(permissive). Kemampuan untuk menentukan sikap-sikap etis yang tepat, termasuk
kompetensi sebagai usahawan atau manajer. Begitu pula sebuah perusahaan hanya
akan berhasil dalam waktu panjang apabila berpegang pada standar-standar etis
yang berlaku.
Urgensi etika
bisnis menurut perspektif etika kontemporer, antara lain bisa dikemukakan
pendapat sondang P.Siagian yang menyatakan ada beberapa faktor yang bisa
dijadikan alasan relevansi etika dalam dunia modern ini.
“Ternyata
kemudian cukup banyak gejala yang menunjukkan bahwa dunia baru dan yang lebih
baik itu tampaknya makin jauh dari jangkauan umat manusia. Ketidakpastian makin
kuat resonansinya. Ketidaktenangan tampak dimana-mana. Bahkan timbul ketakutan
peradaban manusia akan mengalami kemunduran. Jika ditanyakan, mengapa demikian?
Jawabannya tidak mudah ditemukan karena tidak ada satu faktorpun yang dampaknya
begitu kuat sehingga faktor tesebut menjadi satu-satunya penyebab.”[20]
Cukup banyak
faktor yang dikedepankan oleh Sondang, diantaranya :
1. Faktor
perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat. Jika dalam masyarakat
pedesaan gaya hidup sangat diwarnai oleh komunalisme dan kebersamaan,
masyarakat industri seperti sekarang ini yang makin banyak bermukim di daerah
urban ternyata memiliki tingkat interdependensi yang tinggi tetapi sekaligus
sangat “impersonal”.
2. Umat manusia
dengan segala dinamikanya ternyata telah membawa suatu perubahan dalam falsafah
hidup kemasyarakatan yang pada gilirannya merupakan tantangan bagi keyakinan
sosial yang sifatnya tradisional dengan segala konsekuensinya. Tatanan dunia
yang lama diganti oleh tatanan baru.
3. Siapapun
mengakui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat
berpengaruh pada tata cara berperilaku, moralitas, dan etika. Sebagai instrumen
sosial, dampak perkembangan di bidang teknologi dapat bersifat positif, akan
tetapi tidak mustahil juga bersifat negatif. Berbagai dampak negatif yang perlu
diwaspadai antara lain ialah efek yang membuat daya pikir manusia menjadi
“majal”, memperkuat dan menumbuhkan stimulasi kepentingan dan dorongan yang
nonrasional, serta membuat manusia menjadi tidak pernah dewasa. Jika nilai
negatif terus berkelanjutan, kemungkinan untk mengabaikan norma-norma moralitas
dan etika akan semakin besar.
4. Terlihat
kecendrungan kuat bagi manusia untuk berpikir secara “praktis”. Kecendrungan
demikian sering berakibat pada diabaikannya nilai-nilai moral dan etika.
Nilai-nilai instrumental sering “mengalahkan” nilai-nilai terminal yang luhur.
Salah satu konsekuensinya ialah menempuh “jalan pintas” dalam memperoleh
hal-hal yang diinginkan.
5. Terlihat dengan
jelas gejala yang menunjukkan bahwa manusia memberikan interpetasi tentang
kehidupan sedemikian rupa sehingga maknanya tidak mendorong penerapan
norma-norma moral dan etika yang benar.
Pada tataran
ini, etika merupakan penentu keberhasilan suatu bisnis. Namun, bukan karena mau
memenangkan kompetisi bisnis, atau juga bukan karena mau berhasil meraup
keuntungan yang berlipat ganda seseorang pebisnis harus berperilaku moral. Hal
ini berarti dia hanya mau menjadi seorang yang jujur, adil, dan bertanggung
jawab kalau dia ingin menjadi kaya.
”Catatan” :
sebagai catatan untuk bab ini akan saya paparkan ” nama baik” sebagai salah
satu patokan dalam berbisnis secara etis.
Adalah
Marcus Tullius Cicero (106-43sM) yang pertama kali menggaskan hal ini.
Menurutnya, “momen est omen” atau nama identik dengan nama si pemilik.
Seluruh kepbribadian si pemilik nama terwakili dalam nama tersebut.
Dalam bisnis
kontemporer, para pebisnis dapat dikategorikan berdasarkan kedua gagasan di
atas. Dengan demikian, menurut Aristoletes, nama baik atau harga diri merupakan
hal yang paling unggul dan paling utama dari seseorang. Keunggulan atau
keutamaan harga diri atau nama baik terletak pada sarana – sarana yang dipakai
untuk menjaganya. Sarana-sarana yang bernilai karena menghasilkan sesuatu yang
berharga dalam diri setiap orang itu tiada lain adalah virtue
ethic atau keutamaan – keutamaan moral. Di sini-lah semestinya gagasan
tentang berbisnis secara moral itu ditempatkan.[21]
D. SISTEM ETIKA
KONTEMPORER
Meskipun banyak
ahli dari Barat berusaha mengembangkan teori serta kode etika bisnis, mereka
belum mampu menyusun kode moral perilaku yang efektif untuk bisnis. Sebagian
besar moralitas dan etika merupakan sistem utilitarian dan materialistik. Hal
ini mudah dipahami karena konsep sekularisasi dalam kehidupan serta kurangnya
sumber petunjuk yang otentik di dunia Barat. Etika kontemporer sebagian besar
merupakan buatan manusia yang sifatnya relatif dan situasional serta kurang
“legitimate” dukungan otoritas di belakangnya.[22]
Ahli manajemen
, Harold koontz mengakui bahwa di Barat, tidak ada sumber standar etika. Dalam
bangsa yang mempunyai agama negara, mungkin terdapat pusat sumber kewenangan
dalam mengajarkan praktik etika. Di AS, dengan banyaknya budaya etika dan
agama, tidak seorang pun yang menilik gereja, pemerintah, institusi pendidikan,
asosiasi swasta sebagai pusat tradisi etika.[23] Sehingga
yang terjadi, mereka mengembangkan standar etika berdasarkan pengalaman dan
perasaan. Wajar jika kurang otentik dan legitimasi. Mereka tidak percaya bahwa
ada standar etika permanen myang bisa di ikuti oleh hidup manusia. Di lain
pihak mereka percaya bahwa konsep moral, seperti halnya konsep lain, akan
selalu berubah seiring waktu.
Perspektif Barat
pada etika bisnis umumnya seperti yang di ungkapkan oleh Drucker berikut ini:
Banyak Khotbah yang diajarkan pada etika bisnis dan pebisnis. Kebanyakan tidak
ada yang bisa dilakukan terkait bisnis serta sedikit saja terkait etika. Hal
ini seperti mempekerjakan gadis panggilan untuk menghibur pelanggan, bukanlah
masalah etika melainkan estetika.[24] Bisa
disimpulkan bahwa dunia Barat memandang bisnis dan etika merupakan perilaku
yang terpisah.
E. ISU-ISU
KONTEMPORER: POTRET BURAM PERILAKU BISNIS DI INDONESIA
Sungguh ironis
sekali kedengarannya, Indonesia sebagai sebuah negara Muslim terbesar di dunia
dengan sumber daya yang melimpah, tetapi justru mengapa masih banyak masyarakat
yang belum terentas dari kemiskinan. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa
dewasa ini Bangsa Indonesia kurang mendapat kepercayaan dari orang lain
(Internasional) yang menyebabkan betapa sulitnya menarik investor asing
menanamkan modalnya di negeri ini. Ini mengindikasikan ada sesuatu yang tidak
beres dan salah urus. Selain faktor lain seperti masalah etika dan hukum yang
seyogyanya dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama di
kalangan pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan. Bukankah disadari bahwa menjunjung
tinggi nilai moral dan hukum adalah merupakan bagian ajaran agama apapun secara
universal.
Itu berarti,
selama ini muslim Indonesia belum sepenuh hati mengaplikasikan nilai-nilai
islam sebagai keyakinannya. Secara jujur, nilai-nilai Rabbaniyah (Ilahiyah)
belum terimplementasi dalam kehidupan bisnis yang berpotensi bisa merugikan
perekonomian bangsa dalam skala makro. Bahkan jika sekiranya implementasi itu
justru akan menguntungkan Bangsa Indonesia yang kurang lebih 90 % penduduknya
sebagai muslim. Di sinilah relevansi membangun nilai-nilai Rabbaniyah dalam
perekonomian Indonesia agar bangsa kita menjadi kuat dan bisa kompetitif dengan
bangsa lain di dunia. Dalam realitas justru menunjukkan hal sebaliknya. Banyak
ditemukan keganjalan perilaku bisnis yang secara signifikan bisa ikut
mempengaruhi perkembangan ekonomi secara makro. Beragam perilaku itu tidak lagi
sebagai vaiabel pendukung, tetapi sebaliknya akan menjadi faktor penghambat
kemajuan ekonomi bangsa.
Sebagaimana
diketahui, pertengahan tahun 1997, Asia dilanda krisis ekonomi, termasuk
diantaranya adalah Indonesia. Kejadian ini lebih dikenal dengan istilah krisis
moneter. Penyebab utamanya karena liberalisasi ekonomi yang diterapkan
pemerintah Orde Baru. Pihak swasta bebas mengambil utang luar negeri tanpa
pengawasan pemerintah, di samping utang pemerintah sendiri. Pinjaman jangka
pendek, digunakan dalam investasi modal jangka panjang. Akibatnya, pada saat
utang jatuh tempo pengusaha karbitan ini tidak mampu membayar kewajibannya.
Demikian pula perusahaan Bank meminjam modal luar negeri dengan bunga rendah,
3-4 % setahun. Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga yang cukup
tinggi, 18-20% setahun. Dangan praktik tamak ini perbankan akan meraup untung
yang sungguh fantastik. Namun demikian, dengan perubahan harga dollar, harga
rupiah merosot tajam sehingga pengusaha yang mendapat pinjaman luar negeri
sangat kewalahan. Utang mereka dalam rupiah menjadi berlipat ganda jumlahnya
sehingga mereka tidak mampu lagi membayar. Keadaan ini diperparah lagi oleh
pihak perbankan, karena mereka meminjamkan sebagian besar modalnya kepada
industri milik orang bank sendiri.[25]
Akibat yang
dirasakan industri nasional mengalami kehancuran karena harga barang impor
sangat tinggi (bila dinilai dengan rupiah), harga pokok barang industri menjadi
tinggi, harga jual tinggi, akhirnya hasil produksi tidak laku. Di sana sini
daya beli menurun karena banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Akibat lebih
jauh, nama Indonesia jatuh di mata Internasional.
Tidak hanya
itu, dalam bidang perbankan, para nasabah mulai gelisah dan hilang kepercayaan.
Mereka secara massif berusaha menarik dana simpanannya dari bank. Akibatnya,
bamk kekurangan likuiditas guna memenuhi tuntutan nasabah. Pengusaha perbankan
terpaksa minta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia (BI). Dengan
kebijaksanaan pemerintah saat itu, BI diperintahkan untuk membantu bank-bank
yang mulai kehabisan dana yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI).Namun celakanya lagi, bantuan yang diberikan dengan niat yang baik
pemerintah itu disalahgunakan pula oleh pengusaha perbankan. Bantuan itu bukan
untuk membayar uang nasabah, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri
atau dilarikan keluar negeri. Akhirnya muncul lagi krisis jilid kedua, yaitu
krisis BLBI.
Akhirnya bisa
dipahami bahwa ekonomi Indonesia yang dinilai tumbuh pesat dengan modal
pinjaman luar negeri itu ternyata hanya sebuah fatamorgana di tengah panasnya
perekonomian Indonesia. Krisis ini terjadi karena semua pelaku dan sistem yang
dianut jauh dari nilai-nilai spiritual yang tidak mengedepankan nilai
kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan lain sebagainya. Mereka menilai parameter
sukses itu adalah dengan ukuran meteri, atau seberapa besar keuntungan yang
bisa dikuasai. Mereka lebih banyak mengejar keuntungan sepihak dan jangka
pendek, tidak lagi keuntungan jangka panjang. Karena itu mereka lebih
mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan orang lain. Nilai moral
terjauh dari hati mereka, karena orang lain hanya diposisikan sebagai objek
pemerasan untuk meraih keuntungan. Inilah wajah sistem kapitalisme yang sangat
paradoks dengan nilai-nilai sistem ekonomi yang berbasiskan Rabbaniyah.
Tidak hanya
itu, contoh lain yang berkenaan dengan penggunaan obat. Obat yang khasiatnya
untuk penyembuhan penyakit, pada masa sekarang semakin dipertanyakan akurasinya
yang justru bisa mengancam jiwa si sakit karena semakin banyak obat palsu yang
beredar di pasaran. Dalam hal ini, antara lain tebukti Balai Besar
Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Surabaya melekukan operasi obat-obatan
palsu di sejumlah kios dan toko obat setempat. Ternyata dalam operasi itu BBPOM
berhasil mengamankan puluhan jenis obat-obatan palsu dan itu sunnguh
memprihatinkan.
Masih banyak
lagi kasus-kasus perilaku bisnis yang jelas menyimpang dari nilai-nilai
Rabbaniyah. Misalnya perusakan pelestarian lingkungan yang berupa penggundulan
hutan oleh pemegang pengusahaan hutan dan usaha penambangan yang tidak lagi
memperhatikan lingkungan. Akibat kecerobohan para pengusaha kedua jenis usaha
ini telah banyak mempengaruhi keseimbangan ekosistem yang menyebabkan
terjadinya perubahan iklim, erosi, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya
yang merugikan kehidupan masyarakat. Akibat ulah orang yang tidak bertanggung
jawab, dengan sendirinya tidak sedikit uang negara yang digunakan untuk
memulihkan lingkungan yang stabil dan aman. Anggaran negara yang seharusnya
dibelanjakan untuk perbaikan ekonomi akhirnya sebagian tersedot untuk perbaikan
lingkungan.
F. PERAN ETIKA
DALAM BISNIS
Secara umum,
etika adalah ilmu normatif penuntun hidup manusia, yang memberi perintah apa
yang seharusnya kita kerjakan. Maka etika mengarahkan manusia menuju
aktualisasi kapasitas terbaiknya. Dengan menerapkan etika dan kejujuran dalam
berusaha dapat menciptakan baik aset langsung maupun tidak langsung yang
akhirnya meningkatkan nilai entitas bisnis itu sendiri. Banyak kasus diberbagai
negara yang membuktikan hal tersebut. Apalagi dengan tingkat persaingan yang
semakin tinggi, kepuasan konsumenlah yang menjadi faktor utama agar perusahaan
sustainable dan dapat dipercaya dalam jangka panjang. Konsumen cenderung
semakin kritis dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang memproduksi
barang-barang yang akan mereka konsumsi.
Pada dasarnya
praktik etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka
menengah maupun jangka panjang. Misalnya dapat mengurangi biaya akibat
dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik internal perusahaan maupun dengan
eksternal. Perusahaan yang menerapkan etika, dapat meningkatkan motivasi kru
dalam bekerja, bahwa bekerja selain dituntut menghasilkan yang terbaik, juga
diperoleh dengan cara yang baik pula. Penerapan etika juga melindungi prinsip
kebebasan berusaha serta meningkatkan keunggulan bersaing. Selain itu,
penerapan etika bisnis juga mencegah agar perusahaan tidak terkena
sanksi-sanksi pemerintah karena berperilaku tidak beretika yang dapat
digolongkan sebagai pebuatan melawan hukum.
Dengan
demikian, menjadi jelas bahwa tanpa suatu etika yang menjadi acuan, para
pebisnis akan lepas tidak terkendali, mengupayakan segala cara, mengorbankan
apa saja untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya filosofi yang mendomonasi para
pebisnis adalah bagaimana cara memaksimalkan keuntungan. Pebisnis seperti ini,
sepeti yang dikatakan oleh Charles Diskens : “Semua perhatian, dorongan,
harapan, pandangan, dan rekanan mereka meleleh dalam dolar. Manusia dinilai
dari dolarnya”. Theodore Levitt mengatakn bahwa para pebisnis ada hanya untuk
satu tujuan, yaitu untuk menciptakan dan mengalirkan nilai kepuasan dari suatu
keuntungan hanya pada dirinya dan nilai budaya, nilai spiritual dan moral tidak
menjadi pertimbangan dalam pekerjaannya. Akibatnya sungguh mengerikan. Mereka
dapat menyebabkan perang antarbangsa, antarlembaga, dan antarperusahaan. Mereka
menganggap dan membuat bisnis seolah medan perang. Dalam perekonomian yang
berjalan berdasarkan prinsip pasar dimana “bisnis adalah bisnis”, kebebasan
berusaha adalah yang utama. Namun kebebasan untuk mengejar tujuan bisnis juga
mengandung kewajiban untuk memastikan bahwa kebebasan itu diperoleh secara
bertanggung jawab.
Perumusan dan
penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu
(internal intergration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk
meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan
prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate gorvemance) sekaligus
memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab
(corporate sosial responsibility).[26]
Etika bisnis
juga berhubungan dengan nilai merek (brand value). Perilaku bisnis yang
beretika berkontribusi pada pembangunan citra dari nilai merek sebuah produk.
Salah satu caranya dengan memberikan pelatihan mengenai etika pada kru.
Hasilnya sungguh luar biasa. Misalnya, menurunnya biaya, menurunnya pelputasi,
anggaran dan perusakan pada merek atau reputasi, dan pada akhirnya menurunnya
hukuman akibat melanggar aturan yang telah ditentukan. Sehingga diperlukan
kemampuan untuk menghasilkan ‘brand value’ dan reputasi dengan standar
integrasi bisnis dan tanggung jawab sosial yang tinggi. CSR tidak hanya sebuah
pilihan, CSR merupakan prasarat integral dan mutlak untuk kesuksesan bisnis
dalam jangka panjang. Meningkatnya CSR bararti meningkatnya manajemen kualitas.[27]
G. CONTOH
PELANGGARAN ETIKA BISNIS
1. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi
perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada
karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak
memberikan kompenisasi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang
ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan X dapat dikatakan melanggar prinsip
kepatuhan terhadap hukum.
2. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan
pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah menerapkan biaya
sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Sekolah tidak menginformasikan
kepada mereka saat akan mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau
mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan
resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak,
Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian
seragama guru. Dalam kasus ini, pihak yayasan dan sekolah dapat dikategorikan
melanggar prinsip transparansi
3. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Akuntabilitas
Sebuah RS. Swasta melalui pihak pengurus
mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotais
dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu
mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia
diangkat oleh pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan
kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola
sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya
dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan
melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan
dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit
4. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Prinsip Pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja
melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan
perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI
setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan.
Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B
yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya
sebanyak Rp 7 juta untuk biaya administrasi, pengurusan visa, dan paspor. Namun
setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu
tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu
berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan
bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban
dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke
negara tujuan untuk bekerja.
5. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Prinsip Kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di
Yogjakarta tidak memberikan surat izin membangun rumah dari developer kepada
dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik
perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar
harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih
mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar
pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada izin dari pusat perusahaan
(pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu
hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30
konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya.
Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada
dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus
ini perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness)
karena tidak memenuhi hak-hak konsumen (stakeholder) dengan alasan yang
tidak masuk akal.
6. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Prinsip Kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman
membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah
perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi
bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor
melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan
perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami
kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan
telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan
yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
7. Pelanggaran
Etika Bisnis Terhadap Prinsip Empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari
perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh
tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak
perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan
respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan
langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil
yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan
dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat
mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati
pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan
kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.F.
1998.“The Ethical Responsibility of Business: Islamic Principles and
Implication”,proceedings of The Seminar on Islamic Principles of Organisational
Behaviour IIIT, Herndorn, USA.
Alma, Buchari.
2003. Dasar-Dasar Etika bisnis Islami. Bandung: Alfabeta.
Amin, A. Riawan. 2010. Menggagas
Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial Management. Jakarta:
Salemba Empat.
Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka..
Djakfar,
Muhammad.2008. Etika Bisnis Islami. Malang : UIN malang press.
Drucker ,
P.F.1979. Management. London: Pan Books.
Fadhil, Nur
Ahmad dan Azhari Akmal. 2001. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta:
Hijri Pustaka Utama.
Koontz.
1980. Management. Auckland: Mc Graw-Hills International Book
Company.
Mannan, M. Abdul. 1995. Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin. Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf
Muhammad dan R. Lukman Fauroni.
2002. Visi Al-Quran, Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta: Salemba
Diniyah.
P.siagian,
Sondang.1996. Etika Bisnis .Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo.
Qardhawi,Yusuf.1995. Dawr
al-Qiyam wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami. kairo- mesir: Maktabah
Wahbah.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
* Makalah
ini di copas dari “Cafe Makalah” (http://eki-blogger.blogspot.com/2013/01/etika-bisnis-serta-urgensinya-dalam.html)
[1]Nur Ahmad
Fadhil dan Azhari Akmal, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2001), h.25.
[3]Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 2001), h.309.
[7]A. Riawan
Amin, Menggagas Manaajemen Syariah, Teori dan Praktek The Celestial
Management, (Jakarta: Salemba Empat. 2010), h. 32.
[9]M. Abdul Mannan, Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, Terj M. Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995) h. 19.
[10]Muhammad dan R.
Lukman Fauroni, Visi Al-Quran: Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), h. 3.
[16] Yusuf
Qardhawi, Dawr al-Qiyam wa al-akhlak fi al-iqtisad al-islami (kairo- mesir:
Maktabah Wahbah, 1995). Hal 57.
No comments:
Post a Comment