Friday, March 28, 2014

Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Islam


                                 Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Islam

“Kalau kita sungguhh-sungguh mencintai Indonesia yang makmur, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat adil dan makmur, marilah kita bercermin sebentar, kembali kepada cita-cita dahulu yang begitu suci dan mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbana. Rakyat kita masih tetap miskin bahkan lebih miskin daripada sebelumnya, ditengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Paling baik kita merenungkan keadaan rakyat kita sekarang, yang sungguh-sungguh berhak mendapatkan nasib yang lebih baik, nasib yang sesuai dengan tujuan kita semula.”
(Pidato Bung Hatta, tahun 1958)

DALAM sebuah kesempatan diskusi dikelas seorang mahasiswa mempresentasikan sebuah jawaban dari salah pertanyaan mahasiswa yang lain tentang apakah sama ekonomi Islam dengan ekonomi kerakyatan. Si mahasiswa menjawab bahwa Ekonomi Islam sudah mencakup ekonomi kerakyatan dan ekonomi kerakyatan belum tentu mencakup ekonomi Islam. Benarkah jawaban dari mahasiswa tersebut? Tidak ada yang salah sejatinya dengan jawaban si mahasiswa tadi. Namun beberapa hal harus diberi catatan dari komentar si mahasiswa tersebut. Dalam tulisan ini saya tertarik untuk membahas apa itu ekonomi kerakyatan dan ekonomi Islam berikut kesamaan-kesamaannya.
Almarhum Professor Mubyarto menilai saat ini banyak sarjana Indonesia yang sulit memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat atau perekonomian rakyat. Pengertian sektor ekonomi informal yang dilawankan dengan sektor ekonomi formal atau sektor ekonomi modern lebih mudah dipahami oleh mereka. Sektor ekonomi informal menunjuk pada sektor ekonomi “tidak resmi” di perkotaan yang berkembang secara mencolok sebagai akibat kesulitan ekonomi di pedesaan.
Sri Edi Swasono dalam bukunya “Ekspose Ekonomika”, menilai saat ini kebanyakan sarjana ekonomi Indonesia justru terpuruk ke dalam perdebatan yang tidak perlu mengenai makna kata rakyat, alih-alih berusaha memperkuat dan membangun ekonomi rakyat. Dengan sikap seperti itu, mudah dimengerti bila kebanyakan sarjana ekonomi Indonesia tidak memiliki kepekaan terhadap makna kata merdeka. Padahal kemandirian ekonomi adalah bagian integral dari makna (Indonesia) merdeka. ''Tidak ada kemerdekaan yang genuine tanpa kemandirian.'' Mengenal Ekonomi Kerakyatan
Istilah ekonomi kerakyatan muncul di Indonesia mulai pada tahun 1931. Gagasan ini dipopolulerkan oleh Bung Hatta dalam sebuah tulisan yang berjudul “Perekonomian Koloniaal-Kapitaal” dalam Harian Daulat Rakyat tanggal 20 November 1931. Gagasan ekonomi kerakyatan yang diusung Hatta, sebenarnya bermula dari reaksi perlawanan ekonomi Indonesia terhadap penguasaan ekonomi oleh kolonialisme-VOC dan cultuurstelsel serta pelaksanaan UU Agraria tahun 1870. Model ini sekarang dikenal dengan ekonomi liberal atau pasar bebas. Saat ini barangkali sudah tidak secara terang-terangan dijajah seperti zaman kolonialisme, namun dijajah melalui sistem ekonomi liberal (kapitalistik).
Mubyarto dalam bukunya “Ekonomi Rakyat dan Program IDT” tahun 1996 menyampaikan bahwa Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat, sedangkan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya apa saja yang dapat dikuasainya setempat, dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya.
Sistem ekonomi kerakyatan tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila ke-4 Pancasila menyatakan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Di dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang menggambarkan sistem demokrasi ekonomi, ditegaskan bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pengawasan rakyat.
Mubyarto menyampaikan Pancasila merupakan inspirasi ekonomi kerakyatan. Dalam pada itu Pancasila secara keseluruhan harus terus menerus menjadi pedoman arah perilaku ekonomi bangsa dan warga bangsa, dan menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi yang diambil oleh pemerintah. Mubyarto, mengejawantahkan gagasannya tersebut dalam lima poin: Pertama, roda kegiatan ekonomi rakyat digerakkan oleh rangsang-rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Kedua, ada tekad kuat dari seluruh warga bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial. Ketiga, nasionalisme ekonomi. Keempat, koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional. Kelima, ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi nasional dengan pelaksanaannya di daerah-daerah.
Mantan Menteri Koperasi dan UMKM, Adi Sasono sendiri berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan adalah antitesa dan sekaligus sintesa dari ekonomi konglemerasi sentralisasi yang selama ini dianut oleh rezim Orde Baru. Dari pemikiran ini jelas, selama pembangunan ekonomi bercorak wajah kapitalisme kental, maka akan selalu berbenturan dengan keinginan ekonomi kerakyatan.
Dalam perkembangannya meskipun ekonomi rakyat selalu dianggap sebagai yang diutamakan perkembangannya, namun dalam kenyataannya selalu mengalami perkembangan yang tersendat-sendat. Bahkan dalam pembangunan ekonomi yang amat berhasil sekalipun, misalnya pembangunan ber-Pelita mulai 1969, kondisi perkembangan yang tidak menggembirakan (Mubyarto, 1996).
Bagaimana dengan Ekonomi Islam?
Perekonomian Islam sendiri adalah ekonomi yang bersendikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi atau ideologi Islam, sementara ekonomi rakyat bersumber dari ideologi Pancasila atau turunan dari Pancasila. Perekonomian dalam Islam merupakan perekonomian berakidah tauhid dengan segala elemen-elemennya: keimanan, pengabdian, interaksi sesama manusia dengan alam. Islam dengan segala ajaran dan hukum-hukumnya membentuk “Reference Frame Work” yang akan menjadi pedoman dalam berbisnis dan usaha (Muhammad, 2008). Jadi jelas letak nilai-nilai perbedaannya mengacu pada ideologi yang dianut, meskipun banyak pula kesamaannya.
Dimana letak kesamaannya?
 Letak kesamaannya Pertama, kedua sistem ekonomi ini bervisi sosial dan moral (QS. 27:5). Kedua, bersama-sama ingin mewujudkan keadilan dan kemerataan sosial bahkan jaminan sosial (QS. 9 : 60). Ketiga, nasionalisme ekonomi (Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud: semua orang Islam berserikat dalam tiga hal yaitu: air, rumput dan api). Keempat, koperasi (Baitul Mal wa Tamwil) menjadi kekuatan dalam berekonomi yang bervisi pada orang-orang kecil. Kelima, kesamaan dalam keseimbangan dalam implementasi kebijakan ekonomi.
Saefudin AM dalam sebuah makalah yang tidak dipublikasikan (1997: 26-28) mengungkapkan beberapa nilai-nilai jaminan sosial yang Islami diantaranya adalah: manfaat dari sumber-sumber harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah, negara harus menyediakan dana untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran sosial adalah hk sah bagi orang-orang yang miskin, prioritas untuk memenuhi tujuan bermanfaat dan penting bagi masyarakat, kebijaksanaan yang konsisten dengan cita-cita pemerataan pendapatan dan kekayaan secara adil dalam rangka stabilitas ekonomi dan mengalokasikan dana. Dari penjabaran diatas kiranya tidak berlebihan jika ekonomi rakyat memang mempunyai visi yang hampir sama dalam visinya, hanya saja sumber rujukan ideologinya yang berbeda.
Sebagian orang meragukan keberadaan ilmu ekonomi Islam. Ilmu dengan segala unsurnya, teori-teorinya tidak mempunyai watak untuk menseragamkan diri dengan aliran. Tidak bisa dikatakan ilmu kapitalisme atau sosialisme. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan ilmu Islami. Dengan demikian, ilmu yang terjamin (sesungguhnya) tidak bisa memberi ruang bagi keberadaan ilmu perekonomian Islam. Demikian yang mereka sangka. (Muhammad, 2008)
Namun sebagian peneliti Islam menjawab mereka yang diragukan dan meragukan. Ilmu ekonomi dan sejenisnya tergolong dalam ilmu sosial yang normatif yang tersirami dari aliran dan ideologi tertentu. Oleh sebab itu, berbeda dengan ilmu-ilmu netral. Jadi wajar bila ada ilmu perekonomian yang disandarkan pada nilai-nilai Islam.

No comments:

Post a Comment