Manajemen Resiko Bank Syari'ah
A.
Pendahuluan
Risiko dapat didefinisikan sebagai
suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat
menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola
semestinya. Risiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial
baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun tidak dapat
diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan
maupun permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari namun
dapat dikelola dan dikendalikan. Risiko ini haruslah dimanaj sedemikian rupa
untuk dapat diminimalisir potensi terjadinya.
Setiap
perbankan bukan hanya di bank konvensional tapi juga di perbankan syariah akan
selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko baik itu risiko eksternal maupun
risiko internal yang melekat pada perusahaan, risiko-risiko tersebut tidak
dapat dihindari melaingkan bisa dikelola dan dikendalikan sehingga tidak
memberikan efek yang besar bagi perusahaan.
Seperti juga perbankan pada umumnya,
maka bank syariah juga memerlukan prosedur dan tata kelola yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari
kegiatan usaha yang dilakukannya, yang disebut sebagai manajemen risiko.
Manajemen Risiko adalah serangkaian
metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
Seiring
dengan pertumbuhan perbankan Syari’ah yang sedemikian pesat, maka manajemen risiko
menjadi sesuatu yang penting untuk dikelola dengan baik. Risiko dan bank adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tanpa adanya keberanian
untuk mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, hal tersebut dapat
dipahami bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank
mampu bertahan karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak
dikelola dengan baik, bank dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya
mengalami kebangkrutan.
Selanjutnya,
dalam makalah ini akan di jelaskan lebih lanjut tentang managemen risiko, apa
saja jenis dari risiko pada bank, serta proses dari manajemen risiko tersebut.
B.
Karakter
Manajemen Risiko dalam Bank Islam
Manajemen
risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya
pada bank-bank yang beroperasi secara syariah. dengan kata lain, perbedaan
mendasar antara bank islam dengan bank konvensional bukan terletak pada
bagaimana cara mengukur, melainkan pada apa yang dinilai.[1]
Adapun
karakter manajemen risiko pada bank Islam adalah :
1. Identifikasi Risiko
Identifikasi
risiko yang dilakukan dalam bank Islam tidak hanya mencakup berbagai risiko
yang ada pada banl-bank pada umumnya, melainkan juga meliputi risiko yang khas
hanya ada pada bank-bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal
ini, keunikan bank islam terletak pada enam hal:
a. Proses
transaksi pembiayaan.
b. Proses
manajemen.
c. Sumber
daya manusia.
d. Teknologi.
e. Lingkunga
eksternal.
f. Kerusakan.
2. Penilaian Risiko
Dalam
penilaian risiko, keunikan bank islam terlihat pada hubungan antara probability dan impact, atau yang biasa dikenal sebagai Qualitative Approach.
3. Antisipasi Risiko
Antisipasi
risiko dalam bank bertujuan untuk :
a. Preventive.
Dalam hal ini, bank islam memerlukan persetujuan DPS untuk mencegah kekeliruan
proses dan transaksi dari aspek syariah. di samping itu, bank islam juga
memerlukan opini bahkan fatwa DSN bila Bank Indonesia memandang persetujuan DPS
belum memadai atau berada di luar kewenangannya.
b. Detective.
Pengawasan dalam bank Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek perbankan oleh Bank
Indonesia dan aspek syariah oleh DPS.
c. Recovery.
Koreksi atas suatu permasalahan dapat melibatkan Bank Indonesia untuk aspek
perbankan dan DSN untuk aspek syariah.
4. Monitoring Risiko
Aktivitas
dalam bank Islam tidak hanya meliputi manajemen bank Islam, tetapi juga
melibatkan Dewan Pengawas Syariah.[2]
C.
Proses
Manajemen Risiko
Untuk
dapat menerapkan proses manajemen risiko, pada
tahap awal bank syariah harus secara tepat mengenal dan memahami serta
mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada maupun yang mungkin timbul
dari suatu bisnis baru bank. Selanjutnya, secara berturut-turut, bank syariah
perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko. proses ini
terus berkesinambungan sehingga menjadi sebuah lifecycle.[3]
Dalam
pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Identifikasi
risiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap:
a. karakteristik
risiko yang melekat pada aktivitas fungsional,
b. risiko
dari produk dan kegiatan usaha.
2. Pengukuran
risiko dilaksanakan dengan melakukan:
a. evaluasi
secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang
digunakan untuk mengukur risiko,
b. penyempurnaan
terhadap system pengukuran risiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha,
produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
3. pemantauan
risiko dilaksanakan dengan melakukan:
a. evaluasi
terhadap eksposur risiko,
b. penyempurnaan
proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi,
faktor risiko, teknologi informasi dan system informasi manajemen risiko yang
bersifat material.
4. pelaksanaan
proses pengendalian risiko, digunakan untuk mengelola risiko tertentu yang
dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.[4]
D.
Jenis-jenis
Risiko
Bank Indonesia sebagai bank sentral pengatur kebijakan peraturan
perbankan di Indonesia juga memikirkan pentingnya suatu pengelolaan risiko bagi
bank umum syariah dan unit usaha syariah yang beroperasi di Indonesia. Untuk
itu Bank Indonesia mengeluarkan: Peraturan
Bank Indonesia Nomor 13/29/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank
Umum Syariah dan Unit Syariah.
Tujuan Peraturan Bank Indonesia ini
untuk mengakomodasi karakteristik kegiatan usaha Bank Umum Syariah (BUS) dan
Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan
konvensional dan dalam rangka memenuhi amanah pasal 38 UU no. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Penerapan manajemen risiko pada Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha,
ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan bank umum syariah dan unit usaha
syariah.[5]
Agar
dapat menerapkan manajemen risiko di perbankan maka perlu diketahui jenis-jenis
risiko yang dihadapi oleh perbankan. Adapun jenis risiko
yang wajib dikelola bank adalah:
1.
Risiko Kredit atau Pembiayaan
Risiko kredit diartikan sebagai risiko yang timbul
sebagai akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi
kewajibannya atau risiko kerugian yang berhubungan dengan kemungkinan bahwa
suatu counterparty akan gagal untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya
ketika jatuh tempo.
Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai
aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), treasury dan
investasi, dan pembiayaan perdagangan; yang tercatat dalam banking book maupun
trading book.
2.
Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko yang muncul yang disebabkan oleh adanya
pergerakan variable pasar (adverse movement) dari portofolio yang
dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar dalam hal ini
adalah suku bunga dan nilai tukar termasuk derivasi dari kedua jenis risiko
pasar tersebut yaitu perubahan harga option.
Risiko pasar antara lain terdapat pada aktivitas
fungsional bank seperti kegiatan treasury dan investasi dalam bentuk
surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya,
penyediaan dana (pinjaman dan bentuk sejenis), dan kegiatan pendanaan dan
penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.
3.
Risiko Operasional (Operational
Risk)
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya
ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional
bank. Risiko operasional melekat pada setiap aktivitas fungsional bank, seperti
kegiatan perkreditan, treasury dan investasi, operasional dan jasa,
pembiayaan perdagangan, pendanaan dan instrumen utang, teknologi sistem
informasi dan sistem informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.
4.
Risiko Likuiditas (Liquidity
Risk)
Risiko yang antara lain disebabkan karena bank tidak
mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu. Risiko likuiditas
dikategorikan menjadi:
a. Risiko
Likuiditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan o_setting
posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang
tidak memadai atau gangguan pasar (market disruption).
b. Risiko
Likuiditas Pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu
mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.
5.
Risiko Hukum (Legal Risk)
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek
yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan oleh adanya tuntutan hukum,
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan
seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang
tidak sempurna.
6.
Risiko Reputasi (Reputation
Risk)
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi
negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negatif dari
masyarakat terhadap bank.
7.
Risiko Strategik (Strategic
Risk)
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan
dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis
yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal.
8.
Risiko Kepatuhan (Compliance
Risk)
Risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Didalam prakteknya risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang terkait
dengan peraturan perundang-undangan.[6]
9.
Risiko Modal (Capital Risk)
Unsur lain yang berhubungan dengan perbankan adalah
risiko modal (capital risk). Salah
satu fungsi modal adalah melindungi para penyimpan dana terhadap kerugian yang
terjadi pada bank. jumlah modal yang dibutuhkan untuk melindungi para penyimpan
dana berhubungan dengan kualitas dan risiko dari asset bank.
Risiko modal berkaitan dengan kualitas asset. Bank
yang menggunakan sebagian besar dananya untuk mendanai asset yang berisiko
perlu perlu memiliki modal penyangga yang besar ntuk sandaran bila kinerja
asset-aset itu tidak baik. tingkat modal itu juga penting untuk menyangga
risiko likuiditas.
Sumber-sumber risiko yang berkaitan dengan perbankan
juga dapat dijumpai akibat kehilangan karena pencurian, perampokan, penipuan
dan kecurangan. Sehubungan dengan itu manaajemen harus mengasuransikan beberapa
jenis risiko tertentu guna menerapkan system pengawasan untuk melindungi
kerugian-kerugian tersebut.[7]
E.
Penerapan
Manajemen Risiko pada Bank Syariah
Secara
historis penerapan manajemen risiko pada bank, dalam hal ini BI sendiri baru
mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada
bank sejak 1992. Sementara itu, bank dengan prinsip Syari’ah lahir
pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama. Jadi jika dilihat dari usia
sistem perbankan Syari’ah, hal ini merupakan tantangan yang berat.
Bank
Syari’ah pun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perbankan
konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perbankan konvensional
membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun sistem dan mengembangkan teknik
manajemen risiko.
Di
lain pihak, operasi bank Syari’ah memiliki karakteristik dengan perbedaan yang
sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional, sementara manajemen
risiko juga harus diimplementasikan oleh bank Syari’ah agar tidak hancur
dihantam risiko.
Maka
cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi sistem manajemen risiko bank
konvesional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan Syari’ah. Inilah
yang dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan
juga bagi perbankan Syari’ah.
Dalam
hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB) telah merumuskan
prinsip-prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan dengan prinsip
Syari’ah. Disebutkan bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan Syari’ah
mengacu pada Basel Accord II[8]
(yang juga diterapkan perbankan konvensional) dan disesuaikan dengan
karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip Syari’ah.
Secara
umum, risiko yang dihadapi perbankan Syari’ah bisa diklasifikasikan menjadi dua
bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan
risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip
Syari’ah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas,
dan risiko hukum, harus dihadapi bank Syari’ah. Tetapi, karena harus mematuhi
aturan Syari’ah, risiko-risiko yang dihadapi bank Syari’ah pun menjadi berbeda.[9]
Bank
Syari’ah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik
ini muncul karena isi neraca bank Syari’ah yang berbeda dengan bank
konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang
dilakukan bank Syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain.
Seperti
withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan
contoh risiko unik yang harus dihadapi bank Syari’ah. Karakteristik ini
bersama-sama dengan variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip
Syari’ah.
withdrawal
risk adalah risiko penarikan dana yang disebabkan oleh
deposan bila keuntungan yang mereka terima lebih rendah dari tingkat return. Fiduciary risk sebagai
risiko yang secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi
baik ketidaksesuaiannya dengan ketentuan Syari’ah atau salah kelola (mismanagement)
terhadap dana investor. Displaced commercial risk adalah transfer risiko
yang berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas. Risiko ini bisa
muncul ketika bank berada di bawah tekanan untuk mendapatkan profit, namun bank
justru harus memberikan sebagian profitnya kepada deposan akibat rendahnya
tingkat return.[10]
Dalam
pengembangannya ke depan, perbankan Syari’ah menghadapi tantangan yang tidak
ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini, seperti pemilihan
instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip Syari’ah termasuk juga instrumen
pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai )
terhadap risiko.
Oleh
karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Basel Accord II, maka pemahaman
yang matang mengenai manajemen risiko bank konvensional akan sangat membantu
penerapan manajemen risiko di bank Syari’ah.[11]
F. Kesimpulan
Risiko adalah suatu kemungkinan akan
terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila
tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya.
Sedangkan Manajemen Risiko adalah
serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
Manajemen
risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis risiko yang khas melekat hanya
pada bank-bank yang beroperasi secara syariah. Adapun karakter manajemen risiko
pada bank Islam adalah : Identifikasi
Risiko, Penilaian Risiko, Antisipasi Risiko dan Monitoring
Risiko.
Selain
karakter yang terdapat pada manajemen risiko, terdapat pula jenis-jenis risiko,
diantaranya adalah : Risiko Kredit atau Pembiayaan, Risiko Pasar (Market
Risk), Risiko Operasional (Operational Risk), Risiko
Likuiditas (Liquidity Risk), Risiko Hukum (Legal
Risk), Risiko Reputasi (Reputation Risk), Risiko
Strategik (Strategic Risk), Risiko Kepatuhan (Compliance
Risk), Risiko Modal (Capital
Risk).
Adapun
penerapan menajemen risiko adalah dengan mengadopsi sistem manajemen risiko
bank konvesional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan Syari’ah.
Secara
umum, risiko yang dihadapi perbankan Syari’ah bisa diklasifikasikan menjadi dua
bagian besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan
risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip
Syari’ah.
Dalam
pengembangannya ke depan, perbankan Syari’ah menghadapi tantangan yang tidak
ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini, seperti pemilihan
instrumen finansial yang sesuai dengan prinsip Syari’ah termasuk juga instrumen
pasar uang yang bisa digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai )
terhadap risiko, maka pemahaman yang matang mengenai manajemen risiko bank
konvensional akan sangat membantu penerapan manajemen risiko di bank Syari’ah.
Daftar Pustaka
A. Karim, Adiwarman. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
Cet. 3. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kap-news/381-penerapanmanajemenrisikobagibankumumsyariahdanunitusahasyariah
Khan, Tariqullah. Habib Ahmed, Manajemen
Risiko Lembaga Keuangan Syari’ah (terj.)
Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Cet. Kedua. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN, 2011.
Rivai, Veithzal. dkk, Bank and
Financial Institution (terj). Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
[1]Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,
Cet. 3, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
[2] Ibid,
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[6] Veithzal Rivai
dkk, Bank and Financial Institution,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2007)
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Cet. Kedua, (Yogyakarta: UPP
STIM YKPN, 2011)
[8] Komite Basel (The Basel
Committee) untuk pengawasan perbankan dicetuskan pada tahun 1974 yang
diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral. Basel adalah sebuah kota di Swiss
tempat para gubernur bank sentral tersebut berkumpul. kesepakatan basel telah
menjadi tolak ukur bagi bank sentral seluruh dunia dalam merancang regulasi
MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN yang berlaku di Negara masing-masing termasuk
Indonesia.
[10] Tariqullah Khan
dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syari’ah (terj.), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
[11] Ibid.
No comments:
Post a Comment