Thursday, April 25, 2013

Mahmud Muhammad Thaha Dan Pembaruan Pemikiran Islam Di Sudan


PEMBARUAN DI SUDAN
MAHMUD MUHAMMAD THAHA
Ø  Biografi dan Karya Tulis
Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Pada dasarnya, gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak awal abad ke-19 di hampir seluruh dunia Islam adalah gerakan liberal. “Liberal” di sini bisa bermakna ganda. Pada satu sisi, ia berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme dan penjajahan yang pada saat itu memang menguasai hampir seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi kaum muslim dari cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Periode liberasi atau apa yang oleh Albert Hourani disebut dengan “liberal age[sesungguhnya tak hanya terjadi di dunia Arab saja. Negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana liberal ini. Kita mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933), dan Hadji Agus Salim (1884-1954). Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Kendati berbeda dalam metodologi dan pendekatan, para intelektual muslim tersebut memiliki kesamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslim. Yakni, bahwa hanya pembebasan dirilah (self-liberating) yang dapat mengeluarkan mereka dari kondisi itu.
Pada level praktis, pembebasan itu adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik, dan pada level teoritis, pembebasan itu harus dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama, dan mengkaji ulang tradisi dan khazanah (turats) keagamaan kaum muslim. Secara metodologis, dalam menerapkan gagasan-gagasan liberalnya, para intelektual muslim sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial mereka. Inilah yang kemudian memunculkan banyaknya kecenderungan dan aliran pemikiran Islam. Sesungguhnya, sama seperti di masa silam ketika pemikiran Islam terpecah-pecah menjadi aliran-aliran pemikiran, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan lain-lain, di masa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur dan neologi yang beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah menjadi Tradisionalis, Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis, Neorevivalis, dan nama-nama lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam Islam.
Saya menganggap bahwa istilah-istilah itu hanyalah sekedar untuk memudahkan kita memahami fenomena pemikiran Islam yang begitu beragam. Anda bisa menyebut Muhammad Abduh, intelektual Mesir, sebagai seorang “tradisionalis” karena dia masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama, tapi Anda juga bebas menyebutnya sebagai seorang “modernis,” karena dia memiliki pandangan keagamaan yang maju. Begitu juga, Anda bisa menganggap Muhammad Iqbal, intelektual Pakistan, sebagai seorang “revivalis” karena dia yang menggagas konsep “negara Islam” yang kemudian diikuti dan dibela mati-matian oleh Abul A’la al-Maududi, teman dan juniornya yang kemudian menjadi notorious sebagai seorang “fundamentalis;” atau menganggapnya sebagai seorang “tradisionalis” karena “ketergantungan”-nya yang begitu besar terhadap tradisi tasawuf dan spiritualisme; atau juga memasukkannya dalam deretan intelektual “modernis” karena gagasan-gagasannya yang sangat cocok dengan semangat modernitas. Charles Kurzman berusaha mentransendensikan taksonomi pemikiran Islam itu dengan membuat pendekatan berbeda. Jika selama ini pemikiran Islam dilihat secara katagoris, dia mencoba melihatnya dari perspektif holistik dengan mengambil liberalisme –benang merah gagasan awal kebangkitan Islam—sebagai standar untuk memahami gagasan-gagasan pemikiran dan metode-metode yang digunakan para intelektual muslim, sejak era kebangkitan hingga sekarang. Liberalisme yang menjadi raison d’etre kebangkitan Islam awal abad ke-19 dijadikan Kurzman sebagai “parameter” atau “timbangan” untuk mengukur sejauh mana seorang intelektual muslim memiliki komitmen terhadap raison tersebut dan selanjutnya terhadap kebangkitan Islam itu sendiri.
Karena parameter liberalisme berbeda dari sekadar katagorisasi ide seperti dilakukan dalam taksonomi-taksonomi lama, maka sosiolog dari University of North Crolina, AS, ini, memberikan ruang yang begitu besar bagi terjadinya amalgamasi, interaksi, dan interkoneksi antara satu pemikir dengan pemikir yang lain, atau antara satu gagasan pemikiran dengan pemikiran lainnya. Bagi para penganut paradigma taksonomi lama, pemberian ruang yang begitu besar itu menjadi lahan yang empuk bagi mereka untuk mengkritik Kurzman. Penulis buku Liberal Islam ini, menurut mereka, telah semena-mena menyandingkan tokoh-tokoh yang selama ini dianggap “tradisional” atau “konservatif” dengan tokoh-tokoh yang “progresif” dan “dinamis.” Kurzman sendiri tampaknya tak terlalu peduli dengan kritik-kritik semacam ini. Seperti yang dia sampaikan kepada saya lewat beberapa e-mailnya, orang bisa saja tak setuju dengan “alat ukur” baru itu, karena concern utama dia bukannya apakah seseorang layak disebut liberal atau tidak, tapi apakah pemikiran-pemikirannya dapat mendukung gagasan liberalisme atau tidak. Saya memahami ruang luas yang diberikan Kurzman sebagai sebuah tingkatan-tingkatan (gradasi) liberalisme dalam Islam. Adalah merupakan common sense belaka bahwa setiap orang memiliki tekanan liberalitas yang berbeda dalam menyuarakan gagasan-gagasan pemikirannya. Yang terpenting di sini adalah bahwa pemikiran-pemikiran mereka dapat memenuhi standar liberalisme Islam yang oleh Kurzman diukur berdasarkan enam state of mind, yakni sikap terhadap teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan progresifitas atau kemajuan.
Berdasarkan kriteria liberalisme itu, siapa saja – terlepas ia berada di mana dalam taksonomi lama-- bisa masuk dalam barisan “Islam Liberal,” selama mereka memiliki state of mind yang jelas terhadap enam kriteria di atas. Para intelektual itu, bisa seorang akademisi (Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun), ulama (Ali Abd al-Raziq, Mahmud Taleqani, Yusuf Qardhawi), aktivis (Chandra Muzaffar, Fatima Mernissi), ahli ekonomi (Jomo K.S, Timur Kuran), maupun politisi (Muhammad Natsir, Benazir Bhutto). Karena itu, saya melihat tidak tepat agaknya mempertentangkan “Islam Liberal” dengan taksonomi lama (tradisionalis, modernis, revivalis) atau yang baru (neomodernis, posmodernis, atau apapun namanya). Karena gagasan “Islam Liberal” itu sesungguhnya merupakan kombinasi dari unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-kelompok pemikiran modern itu.
Ø  Konservatisme dan Fundamentalisme
Jika Islam Liberal tak bisa dipertentangkan dengan kelompok-kelompok dalam taksonomi (model) lama, maka apakah yang menjadi “musuh” utama kelompok ini? Dalam kaitannya dengan pembaruan pemikiran keagamaan, saya melihat ada dua “musuh” utama Islam Liberal. Pertama, konservatisme yang merupakan musuh historis yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali muncul. Kedua, fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah negara-negara muslim meraih kemerdekaannya. Konservatisme telah lama dianggap sebagai “ideologi” yang bertanggung-jawab terhadap kemunduran dan keterbelakangan kaum muslim. Pandangan-pandangan konservatif selalu dianggap berbahaya karena ia bertentangan dengan semangat pembaruan dan kemajuan. Sejak gerakan kebangkitan Islam muncul di Mesir pada awal abad ke-19, konservatisme menjadi target utama para pembaru muslim.
Tokoh-tokoh seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi, Muhammad Abduh, dan Ali Abd al-Raziq, baik secara radikal maupun perlahan-lahan mengikis ajaran-ajaran konservatif. Begitu juga, tokoh-tokoh dari generasi selanjutnya, termasuk generasi pasca-67, semacam Hassan Hanafi di Mesir, Tayyib Tizzini di Suriah, dan Mohammed Abed al-Jabiri di Maroko, mendeklarasikan perang yang sama terhadap konservatisme. Begitu juga dengan fundamentalisme yang dianggap sebagai “ideologi” berbahaya bagi pluralitas dan inklusivitas Islam. Islam Liberal melihat fundamentalisme sebagai penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya tentang kedamaian (salam) dan keberagaman (syu’ub wa qabail). “Ideologi” ini menolak pluralitas karena menganggap “kebenaran” hanya satu, yaitu kebenaran dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrim, kelompok-kelompok fundamentalis tak jarang memaksakan keinginan mereka dengan cara-cara kekerasan. Tentu saja, Islam model ini, bagi para pemikir liberal, adalah sebuah versi Islam yang salah tafsir. Kita bisa melihat sikap-sikap konservatif dan fundamentalis dengan menggunakan enam kriteria yang dijadikan parameter oleh Kurzman.
Dalam bidang politik misalnya, kaum konservatif cenderung tak mau tahu atau tak pernah tegas dengan pilihan bentuk negara. Ketidaktegasan atau ketidakmautahuan ini kembali kepada sikap keberagamaan mereka yang tidak terbuka dan cenderung protektif terhadap isu-isu perubahan. Sementara kaum fundamentalis, dalam persoalan ini, sering kali bersifat ahistoris, karena mengambil model negara yang tak pernah memiliki preseden dalam sejarah Islam sendiri. Sementara bagi para intelektual liberal, persoalan politik adalah persoalan pendapat (ijtihad) manusia yang harus sepenuhnya disikapi secara manusiawi. Mereka menolak gagasan negara teokrasi atau pemerintahan Tuhan, semata-mata karena Islam pada dasarnya tidak menekankan ideologi negara, tapi lebih pada penciptaan masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai media (washilah) untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, bentuk negara sepenuhnya diserahkan kepada manusia, tak jadi soal apakah bentuknya republik, sosialis, demokratis, atau sistem-sistem lain yang memungkinkan tujuan (ghayah) itu tercapai.
Para intelektual liberal, sejak awal kebangkitan, telah menuntaskan persoalan ini dengan menyatakan bahwa bentuk negara adalah sesuatu yang didiamkan oleh syariah (silent sharia). Karena didiamkan, maka menjadi hak dan tugas manusialah untuk mencarikan bentuknya. Di antara intelektual yang berbicara tentang masalah ini adalah Ali Abd al-Raziq di masa silam atau Nurcholish Madjid di masa sekarang. Dalam persoalan menyangkut hak-hak kaum perempuan, pandangan konservatisme mendukung sikap fundamentalisme. Kaum perempuan selalu dipandang sebagai makhluk nomor dua yang tak banyak bisa diandalkan. Kalangan konservatif dan sebagian besar kaum fundamentalis menganggap perempuan hanya separuh harga laki-laki, baik dalam hal ekonomi (warisan), hukum (kesaksian), politik (tak boleh jadi pemimpin), dan hak-hak individu (harus selalu lewat laki-laki). Kendati banyak sekali ajaran-ajaran Islam yang secara eksplisit maupun implisit menghormati kedudukan kaum perempuan, kaum konservatif dan fundamentalis agaknya lebih suka meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki, baik dalam pengertiannya yang harafiah maupun takwiliyah. Bagi intelektual liberal, seperti yang bisa dilihat pada figur-figur semacam Qassim Amin (Mesir), Fatima Mernissi (Maroko), Amina Wadud Muhsin (Amerika Serikat), dan Muhammad Shahrour (Suriah), persoalan hak-hak kaum perempuan harus dilihat dari kacamata yang lebih luas dan “obyektif.” Doktrin-doktrin awal Islam yang cenderung memojokkan kaum perempuan harus dilihat dalam konteks dan lokalitas khusus. Karena itu, penafsiran terhadap syariah (interpreted sharia) menjadi penting, demi untuk menyelaraskan prinsip-prinsip Islam paling mendasar tentang kaum perempuan dengan konteks sosio-historis doktrin-doktrin Islam tentang perempuan.
Persoalan yang berkaitan dengan hak-hak non-muslim menjadi tolok ukur lainnya yang membedakan antara pemikiran liberal dengan pemikiran konservatif dan fundamentalis. Jika kaum konservatif dan fundamentalis melihat persoalan ini lewat teologi lama dengan meletakkan kaum non-Islam sebagai kelas dua (dzimmi, harbi, dll), Islam Liberal melihatnya sebagai bagian dari komunitas (ummah) yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Agama adalah sarana bagi orang-orang beriman untuk memperbaiki kualitas moral mereka, bukan untuk saling memusuhi dan meniadakan. Alquran, seperti diyakini orang-orang liberal, adalah kitab suci yang sangat menghargai kaum beriman dan menempatkan mereka di tempat yang tinggi (lihat dan bandingkan ayat-ayat berikut: 2:62, 3:64, 5:66, 5:69, 49:10-13). Karena itulah, Alquran juga mengajak kaum beriman untuk mencari kesamaan-kesamaan (kalimat sawa) di antara mereka sebagai makhluk Tuhan. Para pemikir liberal seperti Farid Esack (Afrika Selatan), Asghar Ali Engineer (India), Hassan Hanafi (Mesir), dan Djohan Effendi (Indonesia), meyakini bahwa hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan dialogis dan bukan hubungan konfrontatif.
Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Keimanan adalah masalah “hidayah” yang tak boleh dipaksakan. Karena itu, bagi Djohan Effendi, kita dituntut untuk bersikap toleran, bukan hanya kepada pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini agama. Alasannya sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa “hidayah” Tuhan tak bisa dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara pemaksaan hanya akan memunculkan hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang sangat dikecam Islam. Dalam masalah kebebasan berpikir atau kebebasan berpendapat sikap Islam Liberal jauh lebih tegas ketimbang sikap kalangan konservatif yang cenderung inaktif dan sikap kalangan fundamentalis yang cenderung rejektif. Bagi intelektual liberal, seperti Abdul Karim Soroush (Iran), Shabbir Akhtar (Pakistan), dan Abdullahi Ahmad an-Naim (Sudan), kebebasan berpendapat adalah bagian dari wilayah ijtihad yang selama berabad-abad --oleh ulama konservatif-- ditutup. Para intelektual liberal itu meyakini, pintu ijtihad tak pernah ditutup dan kalaupun pernah ditutup, maka ia harus dibuka. Syarat-syarat klasik yang biasanya menjadi kualifikasi terberat dalam melakukan ijtihad sudah seharusnya ditinjau ulang. Karena, syarat-syarat itu, selain tidak masuk akal, hanya akan membatasi kemajuan kaum muslim. Argumen utama kaum liberal adalah bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan bebas.
Dan kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu yang tak seorangpun berhak mencegahnya. Bahkan, dalam sebuah ayat Alquran, Tuhan pun tak mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. 2:30). Kebebasan berpikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah masyarakat mandek yang tak memiliki masa depan. Parameter terakhir yang membedakan antara pemikiran konservatif atau fundamentalis dengan pemikiran liberal adalah penyikapan terhadap progresifitas dan kemajuan. Jika Islam konservatif bersikap sangat pasif dan bahkan cenderung defensif terhadap perubahan, Islam Liberal berusaha untuk selalu melihat perubahan sebagai bagian dari dinamika untuk meraih kemajuan dan perbaikan hidup. Karenanya, alih-alih berorientasi ke masa silam seperti yang dilakukan oleh kaum konservatif dan fundamentalis, Islam Liberal mengarahkan orientasinya ke masa depan. Para pemikir liberal semacam Mahmud Mohamed Taha (Sudan), Fazlur Rahman (Pakistan), dan Mohamed Arkoun (Aljazair) menganggap progresifitas sebagai bagian tak terpisah dari Islam.
Arkoun bahkan menganggap Islam sebagai modernitas itu sendiri. Prinsip progresifitas inilah yang mengilhami Mahmud Taha untuk mengambil hanya ayat-ayat Makkiyah (diturunkan di Mekah) yang universal, ketimbang ayat-ayat Madaniyah (diturunkan di Madinah) yang lokal dan temporal. Ayat-ayat Madaniyah, menurut Mahmud Taha, bisa menghambat progresifitas kaum muslim jika tidak dipahami dalam konteks ruang-waktu di mana ayat-ayat itu diturunkan. Sebagai sebuah pemikiran, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada sejak gagasan kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam muncul pada awal abad ke-19. Penamaan “Islam Liberal” yang baru beberapa tahun belakangan populer, hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara eksplisit maupun implisit oleh penulis-penulis sebelum Kurzman, seperti Albert Hourani dan Asaf Ali Asghar Fyzee. Penggunaan kembali istilah “Islam Liberal” sesungguhnya merupakan upaya untuk mengembalikan semangat kebangkitan (nahdhah) pemikiran Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan fundamentalisme agama. Bagaimanapun, istilah “Islam Liberal” hanyalah tatakata (nomenklatur) sekadar untuk memudahkan kita merujuk sebuah gagasan atau gerakan yang memiliki cita-cita untuk membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan, satu hal yang sesungguhnya merupakan raison d’etre kebangkitan Islam sejak dua ratus tahun silam. Pena lebih tajam daripada pedang.
Ungkapan itu kadang jadi pujian dan penghargaan bagi para penulis. Namun yang terjadi di Sudan justru sebaliknya: buah pena justru ditebas tajamnya pedang. Pena itu bernama Muhammad Thaha Muhammad Ahmad, Pemimpin Redaksi al-Wifâq, koran harian yang terbit di Khortum, ibu kota Sudan. Rabu pagi lalu (6/9) sosok Thaha tak dijumpai di kantornya. Ia justru ditemukan di pinggiran kota Khortum, 40 kilometer dari rumahnya, dalam kondisi mengenaskan. Lehernya sudah ditebas dan batok kepalanya diletakkan di atas tubuhnya yang bersimbah darah terbujur kaku. Peristiwa tragis itu bermula dari beberapa jam sebelumnya, ketika tiga orang tak dikenal mengangkut paksa Thaha dari rumahnya. Setelah keluarganya sadar bahwa itu modus penculikan, mereka menghubungi polisi. Namun semua sudah terlambat. Thaha mati meninggalkan kontroversi dalam umur 51 tahun. Thaha adalah seorang jurnalis yang sangat akrab dengan kontroversi. Bukan hanya melalui tulisan-tulisannya, namun juga karena karakter dan jalan hidupnya. Ia pernah menjadi aktivis Islam—dua karena itu, dua anak laki-lakinya ia beri nama Khomeini dan Abdul Aziz al-Rantisi. Namun ia juga sangat kritis terhadap aksi-aksi kekerasan yang sering diperagakan beberapa kelompok Islamis di Sudan. Pada awal 2005, ia berurusan dengan pengadian gara-gara korannya memuat tiga artikel yang menukil buku Dr. al-Maqrizi yang berjudul al-Majhûl fi Hayâti al-Rasûl (Yang Majhul dari Kehidupan Rasul). Dalam buku itu, al-Maqrizi meragukan keabsahan bersambungnya nasab Nabi Muhammad SAW dengan ayah kandungnya, Abdullah bin Abdul Muthallib. Polemik pun merebak.Tulisan itu dimuatnya dalam rangka menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lewat artikel itu, Thaha bermaksud mengajak umat Islam di Sudan agar membaca sosok Nabi secara kritis. Baginya, Maulid bukan momentum pemujaan, namun penggalian kisah dan pengalaman hidup Nabi secara lebih mendalam. Namun, tulisan itu terlanjur dianggap sebagai bentuk penghinaan dan penodaan terhadap kemulian ajaran-ajaran Islam. Ribuan orang menuntut agar Thaha dipancung. Thaha akhirnya meminta maaf dan menegaskan tidak bermaksud menghina Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis bantahan terhadap buku al-Maqrizi.
Pasca-kejadian itu, Dewan Pers Sudan menjatuhkan sanksi tidak boleh terbit selama tiga hari serta denda 8 juta pound terhadap harian al-Wifaq. Al-Wifaq dianggap telah melanggar kode etik jurnalistik di Sudan. Tapi Thaha melawan dan mengajukan banding. Rupanya, peristiwa tahun lalu itu belum lagi tuntas dan ia berbuntut panjang. Hidup Thaha selanjutnya disibukkan oleh dakwaan pengadilan sekaligus ancaman pembunuhan dari kelompok-kelompok Islam radikal di luar pengadilan. Pada 20 Januari 2006, kantor al-Wifaq diserang puluhan orang tak dikenal. Mereka melempar api ke dalam kantor, melukai Thaha berikut seorang stafnya. Kini Thaha sudah tiada. Tapi namanya mengingatkan saya pada sosok Thaha lainnya yang akhir hayatnya bernasib sama. Thaha kedua adalah Mahmud Muhammad Thaha, guru dari pemikir muslim liberal asal Sudan, Abdullah Ahmad al-Naim. Mahmud Thaha mati setelah digantung oleh rezim Numeiry pada tanggal 18 Januari 1985. Ia adalah tokoh oposisi penting yang paling gencar melawan rezim Numaery. Sebagaimana Muhammad Thaha, Mahmud Thaha selalu mendapat tuduhan menodai Islam. Ia menolak penerapan syariat Islam sebagai agenda politik Numaery. Tuduhan penodaan agama yang ditudingkan pada Mahmud Thaha, terjadi saat ia berani melakukan pengujian secara terbuka dan kritis terhadap isi Alquran dan Sunnah.
Dari situ dia melahirkan konsep tentang dua periode sekaligus dua doktrin Islam: Islam Mekah dan Islam Madinah. Bagi Mahmud Thaha, pesan-pesan Alqur’an di Mekah banyak menekankan segi universalitas Islam, isu persamaan, kebebasan, dan antikekerasan. Sementara Islam Madinah justru terlalu kompromi pada konteks setempat, sehingga syariat Islam terpaksa mengadopsi kekerasan, konflik, diskriminasi jender, ras, dan keyakinan. Di Sudan, syariat Islam versi inilah yang justeru ingin diterapkan saat itu dan menjadi agenda kelompok Islam politik. Atas alasan itu, Mahmoud Thaha menolak penerapan syariat Islam. Saya membayangkan, jika dua Thaha itu hidup di Indonesia, mungkin mereka akan terjerat pasat 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); sebuah pasal tentang penodaan agama yang telah banyak memakan korban.Mahmud Muhammad Thaha merupakan seorqang pemimpin suatu organisasi di Sudan, organisasi itu bernama Persaudaraan Republik (The Republick Broherhood).
Organisasi itu didirikan oleh Thaha sebagai partai Republik ditengah-tengah perjuangan Nasionalis Sudan pada akhir perang dunia ke II. Thaha menciptakan sebuah alternative bagi partai-partai politik nasional besar, sebab dia merasa partai-partai itu didoninasi oleh pemimpin-pemimpin muslim konservatif. Partai Thaha hanya meraih kemenangan kecil dalam pemilu, tetapi Thaha mulai menekankan perlunya transformasi Islam dan pembebasan dari dominasi kekuatan-kekuatan sectarian. Pada dua decade berikutnya, Thaha mengembangkan
Ahmed An-Naim
Ø  BIOGRAFI AHMED AN-NAIM DAN KARYA TULIS
Abdullah Ahmed An-Naim lahir di Sudan pada tahun 1950 dan beliau dibesarkan di Sudan. An-Naim merupakan salah seorang generasi kontemporer yang telah membina karir kerjasamanya dan melibatkan diri dalam berbagai masalah disudan. Dari pengalaman tersebut telah membentuk pemikirannya. Dimana pengaruh terbesarnya itu ia rasakan ketika bergabung dalam suatu organisasi yaitu “Persaudaraan Republik” (The Republianbrotherhood) yang dipimpin oleh Mahmud Muhammad Thaha, pada sekitar tahun 1968 bersamaan dengan aktivitas study hukumnya di Universitas Khartoum, Sudan.
Setelah seleksi study hukum di Universitas Khartoum ia sudah bertolak ke Eropa untuk kuliah di Skotlandia. Ia kini mengajar di Universitas Ezmery, Atlanta. Adapun karya tulis dari An-Naim diambil dari ide-ide Mahmud Muhammad Thaha yang sekaligus guru beliau, seperti : The Second Message Of Islam, Dekonstruksi Syari’ah dan lain sebagainya.
Ø  KARAKTERISTIK, POLA DAN ASPEK-ASPEK PEMBAHARUAN
Dalam bukunya yang berjudul “Dekonstruksi Syari’ah” An-Naim lebih menekankan pada tiga (3) aspek yaitu : 1. Wacana Kebebasan Sipil, 2. Hak Asasi Manusia dan 3. Hubungan Internasional dalam Islam. Dalam wacana sipil ini An-Naim menyatakan bahwa setiap warga sipil memiliki hak kolektif ataupun perseorangan untuk menentukan nasib mereka sendiri baik perorangan maupun kolektif dari pihak lain.
Dalam hak asasi manusia An-Naim menyatakan bahwa dalam konsep hukum Islam histories ini apabila menyangkut masalah HAM yang disesuaikan dengan kehidupan manusia modern ini maka tiga (3) aspek yang sangat bertentangan didalam kehidupan modern ini seperti masalah perbudakan, agama dan gender. Tiga aspek tersebut sangat bertolak belakang dengan kehidupan modern ini apabila mengacu kepada piagam PBB.
Dalam hubungan internasional di dalam islam ini An-Naim menyatakan bahwa negara Islam ini merupakan negara bangsa yang pada dasarnya / kenyataannya harus memiliki hubungan Internasional kepada negara-negara lainnya agar tidak menjadi negara yang tertinggal. Dengan hubungan ini menurut an-naim sistem pemerintahan dilihat dari segi politik ekonomi dan social ikut mengalami perubahan.

No comments:

Post a Comment