PEMBARUAN
DI SUDAN
MAHMUD MUHAMMAD THAHA
Ø Biografi dan Karya Tulis
Ada satu benang merah yang bisa
ditarik dari para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat
untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan
dan kejumudan sejak –paling tidak—lima
abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan
bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan
membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka,
kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Pada dasarnya, gerakan kebangkitan
Islam yang dimulai sejak awal abad ke-19 di hampir seluruh dunia Islam adalah
gerakan liberal. “Liberal” di sini bisa bermakna ganda. Pada satu sisi, ia
berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme dan penjajahan yang
pada saat itu memang menguasai hampir seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia
berarti liberasi kaum muslim dari cara-cara berpikir dan berperilaku
keberagamaan yang menghambat kemajuan. Periode liberasi atau apa yang oleh
Albert Hourani disebut dengan “liberal age”[sesungguhnya
tak hanya terjadi di dunia Arab saja. Negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia,
juga ikut meramaikan wacana liberal ini. Kita mengenal beberapa tokoh intelektual
liberal Tanah Air yang memiliki concern yang sama dengan tokoh-tokoh
liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), M. Thaib
Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933), dan Hadji Agus Salim (1884-1954).
Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari
para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk
membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan sejak –paling tidak—lima
abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan
bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan
membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka,
kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki. Kendati berbeda dalam metodologi dan
pendekatan, para intelektual muslim tersebut memiliki kesamaan dalam menyikapi
kondisi kaum muslim. Yakni, bahwa hanya pembebasan dirilah (self-liberating)
yang dapat mengeluarkan mereka dari kondisi itu.
Pada level praktis,
pembebasan itu adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik, dan pada
level teoritis, pembebasan itu harus dimulai dengan membuka pintu ijtihad
seluas-luasnya, memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama,
dan mengkaji ulang tradisi dan khazanah (turats) keagamaan kaum muslim.
Secara metodologis, dalam menerapkan gagasan-gagasan liberalnya, para
intelektual muslim sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan, ekonomi, dan
sosial mereka. Inilah yang kemudian memunculkan banyaknya kecenderungan dan
aliran pemikiran Islam. Sesungguhnya, sama seperti di masa silam ketika
pemikiran Islam terpecah-pecah menjadi aliran-aliran pemikiran, seperti
Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah,
Hanafiyah, dan lain-lain, di masa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur dan
neologi yang beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah menjadi
Tradisionalis, Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis, Neorevivalis,
dan nama-nama lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam Islam.
Saya menganggap
bahwa istilah-istilah itu hanyalah sekedar untuk memudahkan kita memahami
fenomena pemikiran Islam yang begitu beragam. Anda bisa menyebut Muhammad
Abduh, intelektual Mesir, sebagai seorang “tradisionalis” karena dia masih
berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama, tapi Anda juga bebas
menyebutnya sebagai seorang “modernis,” karena dia memiliki pandangan keagamaan
yang maju. Begitu juga, Anda bisa menganggap Muhammad Iqbal, intelektual
Pakistan, sebagai seorang “revivalis” karena dia yang menggagas konsep “negara
Islam” yang kemudian diikuti dan dibela mati-matian oleh Abul A’la al-Maududi,
teman dan juniornya yang kemudian menjadi notorious sebagai seorang
“fundamentalis;” atau menganggapnya sebagai seorang “tradisionalis” karena “ketergantungan”-nya
yang begitu besar terhadap tradisi tasawuf dan spiritualisme; atau juga
memasukkannya dalam deretan intelektual “modernis” karena gagasan-gagasannya
yang sangat cocok dengan semangat modernitas. Charles Kurzman berusaha
mentransendensikan taksonomi pemikiran Islam itu dengan membuat pendekatan
berbeda. Jika selama ini pemikiran Islam dilihat secara katagoris, dia mencoba
melihatnya dari perspektif holistik dengan mengambil liberalisme –benang merah
gagasan awal kebangkitan Islam—sebagai standar untuk memahami gagasan-gagasan
pemikiran dan metode-metode yang digunakan para intelektual muslim, sejak era
kebangkitan hingga sekarang. Liberalisme yang menjadi raison d’etre kebangkitan
Islam awal abad ke-19 dijadikan Kurzman sebagai “parameter” atau “timbangan”
untuk mengukur sejauh mana seorang intelektual muslim memiliki komitmen
terhadap raison tersebut dan selanjutnya terhadap kebangkitan Islam itu
sendiri.
Karena parameter
liberalisme berbeda dari sekadar katagorisasi ide seperti dilakukan dalam
taksonomi-taksonomi lama, maka sosiolog dari University of North Crolina, AS,
ini, memberikan ruang yang begitu besar bagi terjadinya amalgamasi, interaksi,
dan interkoneksi antara satu pemikir dengan pemikir yang lain, atau antara satu
gagasan pemikiran dengan pemikiran lainnya. Bagi para penganut paradigma
taksonomi lama, pemberian ruang yang begitu besar itu menjadi lahan yang empuk
bagi mereka untuk mengkritik Kurzman. Penulis buku Liberal Islam ini,
menurut mereka, telah semena-mena menyandingkan tokoh-tokoh yang selama ini
dianggap “tradisional” atau “konservatif” dengan tokoh-tokoh yang “progresif”
dan “dinamis.” Kurzman sendiri tampaknya tak terlalu peduli dengan
kritik-kritik semacam ini. Seperti yang dia sampaikan kepada saya lewat beberapa
e-mailnya, orang bisa saja tak setuju dengan “alat ukur” baru itu, karena concern
utama dia bukannya apakah seseorang layak disebut liberal atau tidak, tapi
apakah pemikiran-pemikirannya dapat mendukung gagasan liberalisme atau tidak.
Saya memahami ruang luas yang diberikan Kurzman sebagai sebuah
tingkatan-tingkatan (gradasi) liberalisme dalam Islam. Adalah merupakan common
sense belaka bahwa setiap orang memiliki tekanan liberalitas yang berbeda
dalam menyuarakan gagasan-gagasan pemikirannya. Yang terpenting di sini adalah
bahwa pemikiran-pemikiran mereka dapat memenuhi standar liberalisme Islam yang
oleh Kurzman diukur berdasarkan enam state of mind, yakni sikap terhadap
teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir,
dan progresifitas atau kemajuan.
Berdasarkan
kriteria liberalisme itu, siapa saja – terlepas ia berada di mana dalam
taksonomi lama-- bisa masuk dalam barisan “Islam Liberal,” selama mereka
memiliki state of mind yang jelas terhadap enam kriteria di atas. Para intelektual
itu, bisa seorang akademisi (Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun), ulama (Ali Abd
al-Raziq, Mahmud Taleqani, Yusuf Qardhawi), aktivis (Chandra Muzaffar, Fatima
Mernissi), ahli ekonomi (Jomo K.S, Timur Kuran), maupun politisi (Muhammad
Natsir, Benazir Bhutto). Karena itu, saya melihat tidak tepat agaknya
mempertentangkan “Islam Liberal” dengan taksonomi lama (tradisionalis,
modernis, revivalis) atau yang baru (neomodernis, posmodernis, atau apapun
namanya). Karena gagasan “Islam Liberal” itu sesungguhnya merupakan kombinasi
dari unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-kelompok pemikiran modern itu.
Ø
Konservatisme
dan Fundamentalisme
Jika
Islam Liberal tak bisa dipertentangkan dengan kelompok-kelompok dalam taksonomi
(model) lama, maka apakah yang menjadi “musuh” utama kelompok ini? Dalam
kaitannya dengan pembaruan pemikiran keagamaan, saya melihat ada dua “musuh”
utama Islam Liberal. Pertama, konservatisme yang merupakan musuh
historis yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam pertama kali muncul. Kedua,
fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan politik setelah
negara-negara muslim meraih kemerdekaannya. Konservatisme telah lama dianggap
sebagai “ideologi” yang bertanggung-jawab terhadap kemunduran dan
keterbelakangan kaum muslim. Pandangan-pandangan konservatif selalu dianggap
berbahaya karena ia bertentangan dengan semangat pembaruan dan kemajuan. Sejak
gerakan kebangkitan Islam muncul di Mesir pada awal abad ke-19, konservatisme
menjadi target utama para pembaru muslim.
Tokoh-tokoh
seperti Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi, Muhammad Abduh, dan Ali Abd al-Raziq, baik
secara radikal maupun perlahan-lahan mengikis ajaran-ajaran konservatif. Begitu
juga, tokoh-tokoh dari generasi selanjutnya, termasuk generasi pasca-67,
semacam Hassan Hanafi di Mesir, Tayyib Tizzini di Suriah, dan Mohammed Abed
al-Jabiri di Maroko, mendeklarasikan perang yang sama terhadap konservatisme.
Begitu juga dengan fundamentalisme yang dianggap sebagai “ideologi” berbahaya
bagi pluralitas dan inklusivitas Islam. Islam Liberal melihat fundamentalisme
sebagai penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya tentang kedamaian
(salam) dan keberagaman (syu’ub wa qabail). “Ideologi” ini
menolak pluralitas karena menganggap “kebenaran” hanya satu, yaitu kebenaran
dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrim, kelompok-kelompok fundamentalis
tak jarang memaksakan keinginan mereka dengan cara-cara kekerasan. Tentu saja,
Islam model ini, bagi para pemikir liberal, adalah sebuah versi Islam yang
salah tafsir. Kita bisa melihat sikap-sikap konservatif dan fundamentalis
dengan menggunakan enam kriteria yang dijadikan parameter oleh Kurzman.
Dalam
bidang politik misalnya, kaum konservatif cenderung tak mau tahu atau tak
pernah tegas dengan pilihan bentuk negara. Ketidaktegasan atau ketidakmautahuan
ini kembali kepada sikap keberagamaan mereka yang tidak terbuka dan cenderung
protektif terhadap isu-isu perubahan. Sementara kaum fundamentalis, dalam
persoalan ini, sering kali bersifat ahistoris, karena mengambil model negara
yang tak pernah memiliki preseden dalam sejarah Islam sendiri. Sementara bagi
para intelektual liberal, persoalan politik adalah persoalan pendapat (ijtihad)
manusia yang harus sepenuhnya disikapi secara manusiawi. Mereka menolak gagasan
negara teokrasi atau pemerintahan Tuhan, semata-mata karena Islam pada dasarnya
tidak menekankan ideologi negara, tapi lebih pada penciptaan masyarakat yang
adil dan makmur. Sebagai media (washilah) untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur tersebut, bentuk negara sepenuhnya diserahkan kepada
manusia, tak jadi soal apakah bentuknya republik, sosialis, demokratis, atau
sistem-sistem lain yang memungkinkan tujuan (ghayah) itu tercapai.
Para intelektual liberal, sejak
awal kebangkitan, telah menuntaskan persoalan ini dengan menyatakan bahwa
bentuk negara adalah sesuatu yang didiamkan oleh syariah (silent sharia).
Karena didiamkan, maka menjadi hak dan tugas manusialah untuk mencarikan
bentuknya. Di antara intelektual yang berbicara tentang masalah ini adalah Ali
Abd al-Raziq di masa silam atau Nurcholish Madjid di masa sekarang. Dalam
persoalan menyangkut hak-hak kaum perempuan, pandangan konservatisme mendukung
sikap fundamentalisme. Kaum perempuan selalu dipandang sebagai makhluk nomor
dua yang tak banyak bisa diandalkan. Kalangan konservatif dan sebagian besar
kaum fundamentalis menganggap perempuan hanya separuh harga laki-laki, baik
dalam hal ekonomi (warisan), hukum (kesaksian), politik (tak boleh jadi
pemimpin), dan hak-hak individu (harus selalu lewat laki-laki). Kendati banyak
sekali ajaran-ajaran Islam yang secara eksplisit maupun implisit menghormati
kedudukan kaum perempuan, kaum konservatif dan fundamentalis agaknya lebih suka
meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki, baik dalam pengertiannya
yang harafiah maupun takwiliyah. Bagi intelektual liberal, seperti yang bisa
dilihat pada figur-figur semacam Qassim Amin (Mesir), Fatima Mernissi (Maroko),
Amina Wadud Muhsin (Amerika Serikat), dan Muhammad Shahrour (Suriah), persoalan
hak-hak kaum perempuan harus dilihat dari kacamata yang lebih luas dan
“obyektif.” Doktrin-doktrin awal Islam yang cenderung memojokkan kaum perempuan
harus dilihat dalam konteks dan lokalitas khusus. Karena itu, penafsiran
terhadap syariah (interpreted sharia) menjadi penting, demi untuk menyelaraskan
prinsip-prinsip Islam paling mendasar tentang kaum perempuan dengan konteks
sosio-historis doktrin-doktrin Islam tentang perempuan.
Persoalan
yang berkaitan dengan hak-hak non-muslim menjadi tolok ukur lainnya yang
membedakan antara pemikiran liberal dengan pemikiran konservatif dan
fundamentalis. Jika kaum konservatif dan fundamentalis melihat persoalan ini
lewat teologi lama dengan meletakkan kaum non-Islam sebagai kelas dua (dzimmi,
harbi, dll), Islam Liberal melihatnya sebagai bagian dari komunitas (ummah)
yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Agama adalah sarana bagi
orang-orang beriman untuk memperbaiki kualitas moral mereka, bukan untuk saling
memusuhi dan meniadakan. Alquran, seperti diyakini orang-orang liberal, adalah
kitab suci yang sangat menghargai kaum beriman dan menempatkan mereka di tempat
yang tinggi (lihat dan bandingkan ayat-ayat berikut: 2:62, 3:64, 5:66, 5:69,
49:10-13). Karena itulah, Alquran juga mengajak kaum beriman untuk mencari
kesamaan-kesamaan (kalimat sawa) di antara mereka sebagai makhluk Tuhan.
Para pemikir liberal seperti Farid Esack (Afrika Selatan), Asghar Ali Engineer
(India), Hassan Hanafi (Mesir), dan Djohan Effendi (Indonesia), meyakini bahwa
hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan dialogis dan bukan hubungan
konfrontatif.
Agama
adalah persoalan keyakinan yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang.
Keimanan adalah masalah “hidayah” yang tak boleh dipaksakan. Karena itu, bagi
Djohan Effendi, kita dituntut untuk bersikap toleran, bukan hanya kepada
pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang tidak meyakini agama. Alasannya
sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa “hidayah” Tuhan tak bisa
dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara pemaksaan hanya akan memunculkan
hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang sangat dikecam Islam. Dalam
masalah kebebasan berpikir atau kebebasan berpendapat sikap Islam Liberal jauh
lebih tegas ketimbang sikap kalangan konservatif yang cenderung inaktif dan
sikap kalangan fundamentalis yang cenderung rejektif. Bagi intelektual liberal,
seperti Abdul Karim Soroush (Iran), Shabbir Akhtar (Pakistan), dan Abdullahi
Ahmad an-Naim (Sudan), kebebasan berpendapat adalah bagian dari wilayah ijtihad
yang selama berabad-abad --oleh ulama konservatif-- ditutup. Para
intelektual liberal itu meyakini, pintu ijtihad tak pernah ditutup dan kalaupun
pernah ditutup, maka ia harus dibuka. Syarat-syarat klasik yang biasanya
menjadi kualifikasi terberat dalam melakukan ijtihad sudah seharusnya ditinjau
ulang. Karena, syarat-syarat itu, selain tidak masuk akal, hanya akan membatasi
kemajuan kaum muslim. Argumen utama kaum liberal adalah bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dalam keadaan bebas.
Dan
kebabasan adalah anugerah terpenting yang diberikan Tuhan kepada manusia. Kebabasan
berpendapat, selain itu, juga merupakan hak individu yang tak seorangpun berhak
mencegahnya. Bahkan, dalam sebuah ayat Alquran, Tuhan pun tak mampu mencegah
makhluknya untuk berpendapat (QS. 2:30).
Kebebasan berpikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat.
Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah
masyarakat mandek yang tak memiliki masa depan. Parameter terakhir yang
membedakan antara pemikiran konservatif atau fundamentalis dengan pemikiran
liberal adalah penyikapan terhadap progresifitas dan kemajuan. Jika Islam
konservatif bersikap sangat pasif dan bahkan cenderung defensif terhadap
perubahan, Islam Liberal berusaha untuk selalu melihat perubahan sebagai bagian
dari dinamika untuk meraih kemajuan dan perbaikan hidup. Karenanya, alih-alih
berorientasi ke masa silam seperti yang dilakukan oleh kaum konservatif dan
fundamentalis, Islam Liberal mengarahkan orientasinya ke masa depan. Para
pemikir liberal semacam Mahmud Mohamed Taha (Sudan), Fazlur Rahman (Pakistan),
dan Mohamed Arkoun (Aljazair) menganggap progresifitas sebagai bagian tak
terpisah dari Islam.
Arkoun
bahkan menganggap Islam sebagai modernitas itu sendiri. Prinsip progresifitas
inilah yang mengilhami Mahmud Taha untuk mengambil hanya ayat-ayat Makkiyah
(diturunkan di Mekah) yang universal, ketimbang ayat-ayat Madaniyah (diturunkan
di Madinah) yang lokal dan temporal. Ayat-ayat Madaniyah, menurut Mahmud Taha,
bisa menghambat progresifitas kaum muslim jika tidak dipahami dalam konteks
ruang-waktu di mana ayat-ayat itu diturunkan. Sebagai sebuah pemikiran, Islam
Liberal sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Ia telah ada sejak gagasan
kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam muncul pada awal abad ke-19. Penamaan
“Islam Liberal” yang baru beberapa tahun belakangan populer, hanyalah merupakan
reinkarnasi dari istilah yang pernah digunakan baik secara eksplisit maupun
implisit oleh penulis-penulis sebelum Kurzman, seperti Albert Hourani dan Asaf
Ali Asghar Fyzee. Penggunaan kembali istilah “Islam Liberal” sesungguhnya
merupakan upaya untuk mengembalikan semangat kebangkitan (nahdhah)
pemikiran Islam yang sejak satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan
fundamentalisme agama. Bagaimanapun, istilah “Islam Liberal” hanyalah tatakata
(nomenklatur) sekadar untuk memudahkan kita merujuk sebuah gagasan atau gerakan
yang memiliki cita-cita untuk membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
kejumudan, satu hal yang sesungguhnya merupakan raison d’etre kebangkitan
Islam sejak dua ratus tahun silam. Pena lebih tajam daripada pedang.
Ungkapan
itu kadang jadi pujian dan penghargaan bagi para penulis. Namun yang terjadi di
Sudan
justru sebaliknya: buah pena justru ditebas tajamnya pedang. Pena itu bernama
Muhammad Thaha Muhammad Ahmad, Pemimpin Redaksi al-Wifâq, koran harian yang
terbit di Khortum, ibu kota Sudan. Rabu pagi lalu (6/9) sosok
Thaha tak dijumpai di kantornya. Ia justru ditemukan di pinggiran kota Khortum, 40 kilometer
dari rumahnya, dalam kondisi mengenaskan. Lehernya sudah ditebas dan batok kepalanya
diletakkan di atas tubuhnya yang bersimbah darah terbujur kaku. Peristiwa
tragis itu bermula dari beberapa jam sebelumnya, ketika tiga orang tak dikenal
mengangkut paksa Thaha dari rumahnya. Setelah keluarganya sadar bahwa itu modus
penculikan, mereka menghubungi polisi. Namun semua sudah terlambat. Thaha mati
meninggalkan kontroversi dalam umur 51 tahun. Thaha adalah seorang jurnalis
yang sangat akrab dengan kontroversi. Bukan hanya melalui tulisan-tulisannya,
namun juga karena karakter dan jalan hidupnya. Ia pernah menjadi aktivis
Islam—dua karena itu, dua anak laki-lakinya ia beri nama Khomeini dan Abdul
Aziz al-Rantisi. Namun ia juga sangat kritis terhadap aksi-aksi kekerasan yang
sering diperagakan beberapa kelompok Islamis di Sudan. Pada awal 2005, ia
berurusan dengan pengadian gara-gara korannya memuat tiga artikel yang menukil
buku Dr. al-Maqrizi yang berjudul al-Majhûl fi Hayâti al-Rasûl (Yang Majhul
dari Kehidupan Rasul). Dalam buku itu, al-Maqrizi meragukan keabsahan
bersambungnya nasab Nabi Muhammad SAW dengan ayah kandungnya, Abdullah bin
Abdul Muthallib. Polemik pun merebak.Tulisan itu dimuatnya dalam rangka
menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lewat artikel itu, Thaha
bermaksud mengajak umat Islam di Sudan agar membaca sosok Nabi secara kritis.
Baginya, Maulid bukan momentum pemujaan, namun penggalian kisah dan pengalaman
hidup Nabi secara lebih mendalam. Namun, tulisan itu terlanjur dianggap sebagai
bentuk penghinaan dan penodaan terhadap kemulian ajaran-ajaran Islam. Ribuan orang
menuntut agar Thaha dipancung. Thaha akhirnya meminta maaf dan menegaskan tidak
bermaksud menghina Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis bantahan terhadap buku
al-Maqrizi.
Pasca-kejadian
itu, Dewan Pers Sudan
menjatuhkan sanksi tidak boleh terbit selama tiga hari serta denda 8 juta pound
terhadap harian al-Wifaq. Al-Wifaq dianggap telah melanggar kode etik
jurnalistik di Sudan.
Tapi Thaha melawan dan mengajukan banding. Rupanya, peristiwa tahun lalu itu
belum lagi tuntas dan ia berbuntut panjang. Hidup Thaha selanjutnya disibukkan
oleh dakwaan pengadilan sekaligus ancaman pembunuhan dari kelompok-kelompok
Islam radikal di luar pengadilan. Pada 20 Januari 2006, kantor al-Wifaq
diserang puluhan orang tak dikenal. Mereka melempar api ke dalam kantor, melukai
Thaha berikut seorang stafnya. Kini Thaha sudah tiada. Tapi namanya
mengingatkan saya pada sosok Thaha lainnya yang akhir hayatnya bernasib sama.
Thaha kedua adalah Mahmud Muhammad Thaha, guru dari pemikir muslim liberal asal
Sudan,
Abdullah Ahmad al-Naim. Mahmud Thaha mati setelah digantung oleh rezim Numeiry
pada tanggal 18 Januari 1985. Ia adalah tokoh oposisi penting yang paling
gencar melawan rezim Numaery. Sebagaimana Muhammad Thaha, Mahmud Thaha selalu
mendapat tuduhan menodai Islam. Ia menolak penerapan syariat Islam sebagai
agenda politik Numaery. Tuduhan penodaan agama yang ditudingkan pada Mahmud
Thaha, terjadi saat ia berani melakukan pengujian secara terbuka dan kritis
terhadap isi Alquran dan Sunnah.
Dari
situ dia melahirkan konsep tentang dua periode sekaligus dua doktrin Islam:
Islam Mekah dan Islam Madinah. Bagi Mahmud Thaha, pesan-pesan Alqur’an di Mekah
banyak menekankan segi universalitas Islam, isu persamaan, kebebasan, dan
antikekerasan. Sementara Islam Madinah justru terlalu kompromi pada konteks
setempat, sehingga syariat Islam terpaksa mengadopsi kekerasan, konflik,
diskriminasi jender, ras, dan keyakinan. Di Sudan, syariat Islam versi inilah
yang justeru ingin diterapkan saat itu dan menjadi agenda kelompok Islam
politik. Atas alasan itu, Mahmoud Thaha menolak penerapan syariat Islam. Saya
membayangkan, jika dua Thaha itu hidup di Indonesia, mungkin mereka akan
terjerat pasat 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); sebuah pasal
tentang penodaan agama yang telah banyak memakan korban.Mahmud Muhammad
Thaha merupakan seorqang pemimpin suatu organisasi di Sudan, organisasi itu
bernama Persaudaraan Republik (The Republick Broherhood).
Organisasi
itu didirikan oleh Thaha sebagai partai Republik ditengah-tengah perjuangan
Nasionalis Sudan
pada akhir perang dunia ke II. Thaha menciptakan sebuah alternative bagi
partai-partai politik nasional besar, sebab dia merasa partai-partai itu
didoninasi oleh pemimpin-pemimpin muslim konservatif. Partai Thaha hanya meraih
kemenangan kecil dalam pemilu, tetapi Thaha mulai menekankan perlunya
transformasi Islam dan pembebasan dari dominasi kekuatan-kekuatan sectarian.
Pada dua decade berikutnya, Thaha mengembangkan
Ahmed
An-Naim
Ø BIOGRAFI AHMED AN-NAIM DAN KARYA TULIS
Abdullah Ahmed
An-Naim
lahir di Sudan pada tahun
1950 dan beliau dibesarkan di Sudan.
An-Naim merupakan salah seorang generasi kontemporer yang telah membina
karir kerjasamanya dan melibatkan diri dalam berbagai masalah disudan. Dari
pengalaman tersebut telah membentuk pemikirannya. Dimana pengaruh terbesarnya
itu ia rasakan ketika bergabung dalam suatu organisasi yaitu “Persaudaraan
Republik” (The Republianbrotherhood) yang dipimpin oleh Mahmud Muhammad
Thaha, pada sekitar tahun 1968 bersamaan dengan aktivitas study hukumnya di
Universitas Khartoum, Sudan.
Setelah seleksi
study hukum di Universitas Khartoum ia sudah bertolak ke Eropa untuk kuliah di
Skotlandia. Ia kini mengajar di Universitas Ezmery, Atlanta. Adapun karya tulis dari An-Naim
diambil dari ide-ide Mahmud Muhammad Thaha yang sekaligus guru beliau,
seperti : The Second Message Of Islam, Dekonstruksi Syari’ah dan lain
sebagainya.
Ø KARAKTERISTIK, POLA DAN ASPEK-ASPEK PEMBAHARUAN
Dalam bukunya yang
berjudul “Dekonstruksi Syari’ah” An-Naim lebih menekankan pada tiga (3)
aspek yaitu : 1. Wacana Kebebasan Sipil, 2. Hak Asasi Manusia dan 3. Hubungan Internasional
dalam Islam. Dalam wacana sipil ini An-Naim menyatakan bahwa setiap
warga sipil memiliki hak kolektif ataupun perseorangan untuk menentukan nasib
mereka sendiri baik perorangan maupun kolektif dari pihak lain.
Dalam hak asasi
manusia An-Naim menyatakan bahwa dalam konsep hukum Islam histories ini
apabila menyangkut masalah HAM yang disesuaikan dengan kehidupan manusia modern
ini maka tiga (3) aspek yang sangat bertentangan didalam kehidupan modern ini
seperti masalah perbudakan, agama dan gender. Tiga aspek tersebut sangat bertolak
belakang dengan kehidupan modern ini apabila mengacu kepada piagam PBB.
Dalam hubungan
internasional di dalam islam ini An-Naim menyatakan bahwa negara Islam ini
merupakan negara bangsa yang pada dasarnya / kenyataannya harus memiliki
hubungan Internasional kepada negara-negara lainnya agar tidak menjadi negara
yang tertinggal. Dengan hubungan ini menurut an-naim sistem pemerintahan
dilihat dari segi politik ekonomi dan social ikut mengalami perubahan.
No comments:
Post a Comment