GADAI
(RAHN)
A. Pendahuluan.
Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling
tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara
pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan
kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan.
Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur
sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman
dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada
sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai
juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga
yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang
muncul pula Pegadaian Syariáh.
Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus
sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang
dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut
pandangan islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah
islam, landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang
sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta
penyelesaian gadai.
B. Pengertian
Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs
yaitu penetapan dan penahanan. [1]
Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah menahan
sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai
harta menurut pandangan syari’ah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang
bersangkutan boleh mengambil hutangnya semua atau sebagian. Dengan kata lain Rahn
adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan
hutang sebagai gantinya.[2]
Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu
benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan
dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang
dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang
berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.[3]
Dalam
buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :
1.
menjadikan
suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang
memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan
pinjaman.[4]
3.
Gadai
adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang.
4.
Menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda
itu.
5.
Gadai
adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam
utang-piutang.[6]
C. Landasan
Hukum Rahn
Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan,
karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi
gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijma’.
1. Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum
perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan 283, diantaranya adalah:
“
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah : 282)
“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).” (QS. Al-Baqarah : 283) [7]
2. Hadits
a. Hadis
riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan
baju besi beliau sebagai jaminan. (shahih muslim)
b.
Dari
Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
resikonya. (HR. Asy-Syafii, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c. Nabi bersabda : Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan
boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan
dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan
dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR.
Jamaah kecuali Muslin dan An-Nasa’i)
d. Dari
Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda : apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila
ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang
yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang
yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR.
jamaah kecuali Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i)[8]
3. Ijma’
Berkaitan dengan
pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka
tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat
bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian,
berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.[9]
D. Rukun
dan Syarat Rahn
Demi
keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun yang harus
dipenuhi yaitu:
1. Ijab
Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun
lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di
antara para pihak.
2. Orang
yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi
gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat,
dan atas keinginan
sendiri.
3.
Adanya
barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan
digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan,
bermanfaat, milik Rahin secara
sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan
harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang
tidak dapat diperjualbelikan tidak dapat digadaikan.
4. Hutang
(Marhun Bih)
Menurut
ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijaadikan alas
hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang
tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin
dan Murtahin.[10]
Adapun
syarat dalam gadai adalah :
1.
Orang
yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan
transaksi jual-beli.
2. Orang
yang berakal.
3. Baligh
(dewasa).
Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia,
barang-barang yang dapat digadaikan di
lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata
hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa
pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan.
Barang-barang tersebut antara lain:
1.
Barang
milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2. Hewan
yang hidup dan tanaman.
3.
Segala
makanan dan benda yang mudah busuk.
4.
Barang
yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
5.
Benda
yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan
keterengan-keterangan tentang barang yang digadaikan.[12]
E. Memanfaatkan
Barang yang Digadaikan
Dalam memanfaatkan barang yang
digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat
barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin
mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Sedangkan menurut Imam Ahmad,
Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang gadaiaan berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil
susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama
kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah Saw. bersabda yang
artinya : “Binatang tunggangan boleh
ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil
susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang
memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada
benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan
sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban
tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang
gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian
berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya
pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[13]
F.
Implementasi
Akad Rahn dalam Praktik Perbankan Syari’ah
Rahn atau gadai tidak hanya diterapkan oleh perusahaan
penggadaian saja, tetapi perbankan syariah juga menyediakan produk berupa rahn
dalam operasionalnya.
Rahn dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai
menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan
oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam
konteks perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama.
Manfaat
yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut :
1.
Menjaga
kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan oleh bank.
2.
Memberikan
keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset
atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
3.
Jika
rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat
membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[14]
G. Riba dalam Gadai
Perjanjian
dalam gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam
gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai
ditentukan bahwa rahin harus
memberikan tambahan kepada murtahin
ketika membayar utangnya.
Bila
rahin tidak mampu membayar utangnya hingga
waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin
menjual marhun dengan tidak
memberikan kelebihan harga marhun
kepada rahin, maka dalam transaksi
gadai yang seperti ini juga terdapat riba.[15]
H. Penyelesaian Gadai
Untuk
menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi
hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun (barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”,
sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk
membayar utang harga marhun akan
lebih kecil daripada utang rahin yang
harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang
akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai,
maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu
diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak
murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi
dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya,
dengan akibat apabila harga penjualan marhun
lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga
penjualan marhun kurang dari jumlah
utang, rahin masih menanggung
pembayaran keduanya.[16]
I. Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian
atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai
jaminan atau tanggungan utang.
Dalam
islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada
Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits dan ijma’. Adapun rukun dalam
gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan
pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan
yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan
baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan
barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barag
yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari
rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang
digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan
atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya
perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan
disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
Rahn tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum
pegadaian saja, namun juga praktik rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan
dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai
pelengkap. Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn
ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa
dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena
ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
Dalam transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba bisa
terjadi jika rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah
ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan
harga marhun kepada rahin, maka hal tersebut termasuk riba.
Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila
pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin
belum dapat membayar utangnya, hak murtahin
adalah menjual marhun, pembelinya
boleh murtahin sendiri atau yang
lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya,
dengan akibat apabila harga penjualan marhun
lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga
penjualan marhun kurang dari jumlah
utang, rahin masih menanggung
pembayaran keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul
Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007.
Lubis, Suhrawardi
K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta:
Sinar Grafika, 2000.
Muhammad Uwaidah,
Syaikh Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005.
Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2006.
Ya’qub, Hamzah. Kode
Etik Dagang Menurut Islam. Bandung: DIPONEGORO, 1984.
Yanggo, Chuzaimah
T.Hafiz Anshary, Problematika Hukum islam
Kontemporer (III). Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 1995.
[1]
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005)
[2]
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah
di Indonesia. ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007)
[4]
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam. (Bandung: DIPONEGORO,
1984)
[5] Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika
Hukum islam Kontemporer (III), (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995)
[6] Hendi Suhendi, Op. Cit.
[7]
Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit.
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11]
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih
Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
[12] Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
[13] Hendi Suhendi, Op. Cit.
[14] Abdul Ghafur Anshori, Op. Cit.
[15] Ibid,
[16]
Hendi Suhendi, Op. Cit.
No comments:
Post a Comment