Tuesday, June 4, 2013

Hukum Waris Beda Agama Dalam Islam


HUKUM WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.    Pendahuluan
Hukum kewarisan islam pada dasarnya berlaku untuk umat islam dimana saja di dunia ini. Corak suatu negara islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum pewarisan di daerah itu. Dasar pokok dari semuanya adalah hukum kewarisan islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, kemudian diterapkan pada masyarakat indonesia.
Hukum waris Islam juga merupakan ekspresi penting bagi hukum keluarga Islam, ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang.
Hukum kewarisan dalam islam mendapat perhatian besar karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh pewarisnya. Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Salah satu hal yang memungkinkan terjadinya sengketa waris adalah perbedaan agama antara pemilik harta dan penerima harta dalam keluarga.
Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi, Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim, sedangkan hadits juga tidak memberikan penjelasan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris non muslim, namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya.
Seiring dengan berkembangnya waktu, kasus-kasus yang terjadi dalam hukum kewarisan beda agama ini semakin marak. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidak-setujuan ahli waris (non-muslim) terhadap pembagian harta yang dinilai tidak adil. Atas pertimbangan kasus inilah maka Mahkamah Agung terdorong untuk mengeluarkan putusan-putusan baru dalam hukum kewarisan beda agama. Namun, putusan Mahkamah Agung disini dinilai tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hukum islam tentang kewarisan beda agama.
Selanjunnya dalam makalah ini, pemakalah akan membahas mengenai hukum kewarisan beda agama serta putusan-putusan Mahkamah Agung terkait dengan hukum kewarisan beda agama.

B.     Pengertian Waris
Secara bahasa kata waris berasal dari bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[1]
Sedangkan secara terminologi, mirats berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Mirats (waris) menurut syari’ah adalah member undang-undang sebagai pedoman antara orang yang meninggal dunia dan ahli waris, dan apa saja yang berkaitan dengan ahli waris tersebut.[2]
Pengertian hukum waris menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 Ayat 1, yang dimaksud dengan Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.[3]
Hukum waris menurut KUH Perdata adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[4]
Adapun pewarisan harta meliputi semua harta yang dimiliki berkaitan dengan harta kekayaan dan hak-hak lain yang tergantung kepadanya, misalnya utang piutang, hak ganti rugi. Ada pula beberapa kewajiban yang dapat diwariskan, yang dapat diwarisi di luar harta peninggalan. Apa yang ditinggalkan setelah kebutuhan terakhir orang yang meninggal yang harus diselesaikan oleh ahli waris, yakni setelah pelunasan biaya pemakaman, wasiat dan utang piutang yang harus diselesaikan sesuai dengan hukum waris berdasarkan ajaran Al-Qur’an.[5]

C.    Rukun dan Syarat Waris
1.      Syarat-syarat waris ada 3 macam, yaitu :
a.       Meninggalnya orang yang mewariskan, baik meninggal menurut hakikat maupun menurut hukum.
b.      Ahli waris betul-betul masih hidup, ketika orang yang mewariskan meninggal dunia.
c.       Diketahui jahatnya dalam mewarisi, atau posisi penerima warisan diketahui dengan jelas.
2.      Rukun-rukun waris juga ada 3 macam, diantanya yaitu :
a.       Adanya orang yang mewariskan yaitu si pewaris itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang hilang dan dinyatakan mati, sehingga orang lain berhak mendapatkan warisan darinya apa saja yang ditinggalkan sesudah matinya.
b.      Ada pewaris yaitu orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan si pewaris, sehingga dia memperoleh warisan. Misalnya hubungan kekerabatan, pernasaban, perkawinan, dan sebagainya.
c.       Adanya harta yang diwariskan yang disebut juga peninggalan atau tirkah, yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.[6]

D.    Sebab-sebab menerima waris
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
hubungan kekerabatan atau hubungan nasab seperti kedua orang tua, anak, cucu, saudara serta paman dan bibi. Allah SWT berfirman :
Artinya :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.[7]
2.      Karena hubungan pernikahan
Hubungan Pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri sekalipun belum terjadi persetubuhan. Adapun suami-istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris.
3.      Karena Wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapat warisan.[8]

E.     Yang Berhak Menerima Waris
Orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan (mewarisi) orang yang meninggal disebut ahli waris.[9] sebab seseorang menjadi ahli waris adalah karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’).
Adapun yang berhak menerima waris tersebut terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.      Ashabul Furudh
Ashabul furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Alqur’an), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi dalam radd atau ‘aul.[10]
2.      Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan harta sisa setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh. Ashabah terbagi menjadi tiga, yaitu : Ashabah bin Nafsi, Ashabah bil Ghairi dan Ashabah Ma’al Ghairi.[11]
3.      Dzawil Arham
Dzawil arham adalah Semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan darah dengan si mati. Dzawil arham digunakan untuk menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashabul furudh dan ashabah.[12]

F.     Waris Beda Agama
1.      Menurut Hukum Islam
Ada tiga yang menjadi penghalang warisan yaitu pembunuhan, beda agama dan perbudakan. Beda agama adalah apabila antara ahli waris dan pewaris salah satunya beragama Islam dan yang lain tidak beragama Islam.
Apabila seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta untuk dibagi kepada ahli waris yang berbeda agama, maka tidak terjadi pewarisan antara keduanya. Adapun dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah Sabda Rasulullah Saw, yaitu :
ﻻ ﻴﺮﺙ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﻭﻻ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ (ﻤﺗﻔﻕ ﻋﻠﻴﻪ)
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)[13]
Dalam pandangan konsep fiqih konvensional seorang muslim tidak bisa mewarisi harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.[14]
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ahli waris muslim tetap mendapat harta warisan dari pewaris yang kafir. Mereka mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal ra, yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi harta orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang kafir.
Sebagian ulama lainnya mengatakan tidak bisa mewariskan. Jumhur ulama termasuk yang berpendapat demikian adalah keempat Imam Mujtahid yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.[15]
Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor : 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yang menetapkan bahwa :
a.       Hukum Waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim).
b.      pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.[16]
2.      Yurisprudensi Hakim (Putusan Mahkamah Agung)
Terdapat dua putusan Mahkamah Agung tentang status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan iniahli waris non musim tidak dinyatakan sebagai ahli waris.
Sedangkan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.
Dari dua putusan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa melalui yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaharuan hukum waris Islam dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menjadi memberikan harta bagi ahli waris non muslim, dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian harta yang setara dengan ahli waris muslim.
Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c bahwa tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.[17]

G.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang muslim, hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw yaitu : Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 Huruf c juga disebutkan bahwa : yang berhak menjadi ahli waris harus beragama Islam, sehingga dengan demikian apabila antara pewaris dengan ahli waris tidak seagama, maka tidak saling mewaris atau bukan ahli waris dari pewaris yang beragama Islam.
Jika dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama atau ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
Meskipun hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim), tetapi terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Hal tersebut mengacu pada ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama.
Sedangkan Mahkamah Agung RI telah memutuskan tentang status ahli waris non muslim yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor : 368K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor : 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris muslim. Dalam putusan ini, ahli waris non musim tidak dinyatakan sebagai ahli waris.
Sedang dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap sebagai ahli waris.
Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 Huruf c bahwa tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Digital
Haries, Akhmad. Hukum Kewarisan Islam, Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010.
Khairul Umam, Dian. Fiqih Mawaris Cet.1. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Rahman I. Doi, Abdur. Hudud dan Kewarisan, Cet.1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Rahman, Fatchur. Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994.
Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UU hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
www.hukumonline.com


[1] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris Cet.1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
[2] Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan, Cet.1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996)
[3] Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008)
[4] Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab UU hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
[5] Abdur Rahman I. Doi, Op. Cit.
[6] Dian Khairul Umam, Op. Cit.
[7] Al-Qur’an Digital, QS. Al-Anfal : 75
[8] Dian Khairul Umam, Op. Cit.
[9] Ibid,
[10] Akhmad Haries, Hukum Kewarisan Islam, (Samarinda: P3M STAIN Samarinda, 2010)
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1994)
[16] Ibid,
[17] Ibid,

No comments:

Post a Comment