Nurcholish Madjid dan Pemikiran Islam
HARI ini, 17 Maret
2005, Cak Nur- panggilan akrab Prof Dr Nurcholish Madjid-genap berusia 66
tahun. Dan dalam rangka Dies Natalis VII Universitas Paramadina digelar
Simposium Refleksi atas Pemikiran Cak Nur.
Merupakan hal wajar
jika pemikiran Cak Nur, yang telah memengaruhi wacana pemikiran Islam di
Indonesia, dibedah dalam simposium tiga hari di Auditorium Universitas
Paramadina. Rasanya sulit memisahkan nama Cak Nur dengan pemikiran Islam di
Indonesia. Bahkan boleh dikatakan, pemikiran Islam pasca-Cak Nur merupakan
kelanjutan usaha kerja kerasnya selama 35 tahun, sejak ia menjadi kontroversial
pada 1970, saat ia mengemukakan gagasan-gagasan yang amat progresif tentang
liberalisasi pemikiran Islam, sekularisasi, kebebasan intelektual, dan
pentingnya mengapresiasi gagasan kemajuan.
Cak Nur adalah
pribadi yang sering dijuluki "Guru Bangsa" karena banyak memikirkan
bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi.
Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga
meliputi pemikiran tentang ke Indonesiaan modern. Ia telah menulis sebuah buku
Indonesia Kita (2003), yang berisi platform reformasi yang harus dilakukan
untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dan politik negara dan bangsa
Indonesia.
Ia pun menjadi
pelopor banyak isu pembaruan politik, seperti ide pentingnya oposisi loyal,
civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa di tengah
nilai-nilai keagamaan, pluralisme, hak asasi manusia. Kontribusi pemikiran Cak
Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.
Visi
Neomodernis
Cak Nur dilahirkan
dari lingkungan pesantren dan menjadi representasi-istilahya sendiri-
"santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas
dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia
modern. Hal ini menjadi concern utamanya. Menurutnya, umat Islam harus
disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan
isu-isu pemikiran baru atau modern.
Dalam analisisnya,
tahun 2020 nanti akan terjadi keseimbangan antara golongan santri dan modernis
karena mayoritas masyarakat santri saat itu telah memperoleh pendidikan tinggi
yang cukup dan merupakan golongan profesional, yang akan mengimbangi golongan
modernis yang telah mendapatkan pendidikan tinggi lebih awal.
Keseimbangan ini
berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum
santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa
Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan
adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya
Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara
kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru
yang lebih baik" (al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih, wa al-akhz bî
al-jadîd al-ashlah). Visi inilah yang disebutnya "neomodernis".
Dalam bingkai
neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan fondasi pemikiran Islam.
Gagasannya jauh ke depan karena ia amat menyadari, kalau menanam jagung,
diperlukan waktu tiga bulan, menanam kelapa diperlukan waktu tujuh tahun.
Tetapi, menanam manusia, diperlukan satu generasi. Untuk mengubah karakter umat
Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum, diperlukan investasi waktu
sekitar 25 tahun. Apa yang ditanam kini baru diketahui hasilnya baik atau buruk
25 tahun mendatang. Jika kita gagal menanam manusia Indonesia dengan baik,
diperlukan satu generasi lagi untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu alasannya
mengapa Cak Nur begitu penuh perhatian memikirkan kondisi keberagamaan umat
Islam Indonesia. Wajah Indonesia, dalam keyakinan Cak Nur, akan ditentukan oleh
wajah umat Islam di Indonesia. Dan wajah Islam Indonesia akan ditentukan oleh
apa yang ditanam sekarang.
Atas dasar itu, Cak
Nur memikirkan perlunya menumbuhkan wajah Islam yang hanif, yaitu Islam yang
toleran dan penuh kelapangan, Islam yang universal dan berorientasi pada
kemanusiaan dan peradaban. Dihadapkan persoalan pasca-11 September 2001, di
mana ada pembicaraan global mengenai kebangkitan fundamentalisme Islam, Cak Nur
memberikan solusi Islam yang hanif itu, dengan menegaskan pentingnya kerja sama
dan solidaritas agama-agama. Karena tiap agama bisa memberi kontribusi etika
keagamaannya pada masalah global.
Atas keyakinan ini,
salah satu isu yang amat penting, yang terus dikemukakan Cak Nur dalam banyak
kesempatan, adalah pluralisme. Sebuah masalah yang rupanya masih kontroversial
pada masyarakat di Indonesia. Cak Nur menganggap penting pluralisme, bukan
hanya dari segi teologis, karena ia sudah meyakini bahwa pluralisme adalah
bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Tetapi, ia mengembangkannya
lebih jauh sehingga merentang pada pentingnya isu pluralisme ini dalam hubungan
agama-agama di Indonesia, dengan menaruh pluralisme dalam bingkai civil
society, demokrasi, dan peradaban. Jika bangsa Indonesia mau membangun
peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu-termasuk di dalamnya,
dengan sendirinya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.
Pengaruh
pada pemikiran Islam
Dalam masa 35
tahun, Cak Nur menyemai bentuk pemikiran Islam yang progresif di Indonesia.
Puluhan mahasiswa dari universitas terkemuka di Amerika, Eropa, dan Australia yang
menulis disertasi mengenai pemikiran Cak Nur. Charles Kurzman dalam buku daras
pemikiran Islamnya, Liberal Islam, A Sourcebook (1998), menganggap Cak Nur
sebagai salah satu dari sedikit pemikir Islam liberal di dunia Muslim. Ia
menganggap Cak Nur sebagai tokoh liberal syari’ah, maksudnya, Cak Nur mempunyai
pemikiran-pemikiran tentang Islam yang amat liberal, dan keliberalannya justru
didasarkan pada Al Quran. Mengamati segi ini pada Cak Nur amat menarik, di satu
segi ia amat Quranic, karena banyak mengupas hermeneutik Al Quran secara
tekstual, tetapi kesimpulan yang dihasilkan amat liberal. Cak Nur pernah
mengemukakan, "Kalau begitu yang liberal adalah Al Qurannya sendiri!"
Jika Charles
Kurzman benar, bahwa ada enam isu pemikiran Islam kontemporer yang kini menjadi
pembicaraan global di dunia Muslim, yaitu: (1) Perlawanan terhadap ide teokrasi
atau negara Islam; (2) Pemikiran demokrasi; (3) Masalah hak-hak perempuan; (4)
Masalah hak-hak non-Muslim; (5) Kebebasan berpikir; dan (6) Masalah kemajuan,
maka Cak Nur selama kariernya telah menggali dan mengemukakan
pikiran-pikirannya mengenai keenam isu ini. Hampir semua tulisannya bisa
dikategorikan pada salah satu dari enam isu ini.
Begitu banyak
karangan yang telah ditulisnya sehingga bisa membuat sebuah "Ensiklopedi
Cak Nur". Dan Cak Nur bukan hanya seorang profesor, tetapi juga seorang
ensiklopedis. Begitu banyak pengetahuan mengenai Islam dan dunia kemodernan,
sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan,
ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh
kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber
inspirasi pemikiran. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan
hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kita
boleh mengatakan, begitu komprehensifnya pemikiran keislaman Cak Nur, sehingga
pikiran-pikiran Islam pasca-Cak Nur, hanya catatan kaki atas pemikiran Cak
Nur-setuju atau tidak setuju.
Belum ada pemikiran
Islam pasca-Cak Nur, yang melampaui Cak Nur. Perkembangan pemikiran Islam kini,
jauh lebih semarak dari masa muda Cak Nur. Dan ini memberi harapan pada
pemenuhan mimpi Cak Nur mengenai kebangkitan dunia Islam dari Indonesia. Sebuah
mimpi yang penuh harapan, karena pada dasarnya Islam di Indonesia itu moderat.
Dengan pemikirannya yang liberal, akan membawa wajah Islam Indonesia berbeda
dari wajah Islam Timur Tengah.
Jika
pemikiran Cak Nur kontroversial, itu biasa. Bukan karena ia mengada-ada,
seperti banyak pengkritiknya mengatakan begitu, tetapi karena ia mempunyai visi
ke depan, melampaui pikiran-pikiran generasinya. Karena itu kritisisme
merupakan spirit pemikiran Cak Nur. Ia sering mengemukakan, To avoid criticism,
do nothing, say nothing, and be nothing! Dan Cak Nur bukan seorang yang
nothing. Ia adalah seorang yang-dalam istilah leadership yang dikemukakan
Stephen Covey, dalam The 8th Habit (2004)-telah menemukan inner voice-nya. Ia
bukan saja telah menemukan, tetapi bekerja untuk pemenuhan inner voice-nya. Cak
Nur telah memenuhi calling-nya, dan memberi inspirasi pada kita untuk menemukan
inner voice kita sendiri. Misi hidupnya amat jelas, menyiapkan umat Islam dan
bangsa Indonesia, mewujudkan sebuah bangsa yang berperadaban, adil, terbuka,
dan demokratis. Selamat ulang tahun Cak Nur, Doa kami semua untuk kesembuhan
Cak Nur.
No comments:
Post a Comment