MANEJEMEN KEUANGAN NEGARA ISLAMI
Disusun : Alma dan Rista
A. Pendahuluan
Pada zaman Rasulullah sistem keuangan publik islam
telah dilaksanakan. Keuangan publik islam pada zaman Rasulullah telah mengalami
peningkatan yang signifikan terutama pada saat Rasulullah hijrah dari kota
Mekkah ke kota Madinah. Kebijakan-kebijakan yang Rasulullah lakukan mengenai
keuangan publik itu sendiri hasilnya tidak hanya diperuntukkan kepada
pihak-pihak yang terlibat (misalnya pemerintah) tetapi lebih dikhususkan bagi
pihak-pihak yang kekurangan seperti kaum fakir-miskin.
Sumber pendapatan keuangan publik pada masa Rasulullah didapat dari hasil
rampasan perang, pajak dan lain-lain. misalnya seperti jizyah, ushr, ghanimah/anfal/
khums, kharaj dan sebagainya. Pada makalah ini selanjutnya akan dijelaskan secara
terperinci tentang keuangan publik yang terjadi pada masa Rasulullah.
B. Sejarah Keuangan Islam
1.
Keuangan
Publik pada masa Rasulullah Saw.
Bicara mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah
adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala negara. Demikian halnya
dengan para sahabat Khulafaurrasyidin, juga yang ditempatkan sebagai kepala
negara. Sebab, kedudukan sebagai kepala negara adalah identik dengan kedudukan
melayani publik.
Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan menjadi kepala
Negara, keadaan Madinah masih dalam keadaan kacau, belum memiliki pemimpin
ataupun raja yang berdaulat dan kondisi ekonominya pun masih sangat lemah yang
hanya ditopang dari hasil pertanian. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka
Madinah dalam waktu singkat mengalami kemajuan yang pesat.
Dua hal yang telah dijalani dan diubah oleh Rasulullah
pada masa itu adalah: pertama, adanya
fenomena unik, yaitu bahwa islam membuang sebagian besar tradisi, ritual,
norma-norma, nilai-nilai, tanda-tanda, dan patung-patung dari masa lampau dan
memulai yang baru dengan Negara yang bersih. Semua peraturan dan deregulasi
disusun berdasarkan Al-Qur’an dengan karakteristik dasar islam seperti,
persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Kedua, Negara baru dibentuk tanpa menggunakan sumber keuangan
ataupun moneter karena Negara baru dibentuk ini sama sekali tidak diwarisi
harta, dana maupun persediaan dari masa lampaunya. Sementara
sumber keuangan pun belum ada.[1]
a. Sumber utama keuangan Negara
Sumber utama keuangan Negara pada masa Rasulullah
adalah sebagai berikut:
1)
Sedekah fitrah (zakat), sedekah fitrah ini diwajibkan
setiap bulan Ramadhan.
2)
Jizyah. Yaitu pajak yang dibayarkan
oleh orang non-muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa,
harta atau kekayaan, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.
Besarnya pembayaran Jizyah adalah
satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnnya dan
pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang
dan jasa.
3)
Kharaj atau pajak tanah yang dipungut
dari non-muslim ketika Khaibar ditaklukkan. Jumlah Kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi. Kharaj menjadi sumber pendapatan yang penting ketika masa
Rasulullah.
4)
Ushr adalah bes impor yang dikenakan
kepada semua pedagang, yang dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya
berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
Zakat dan Ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi Negara pada
masa Rasulullah. Zakat dan Ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah
satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Al-qur’an
(At-Taubah:60) sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan
pengeluaran umum Negara.[2]
b. Sumber sekunder keuangan Negara
Selain
sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan sebagai penerimaan fiscal
pemerintahan pada masa Rasulullah terdapat juga sumber pendapatan sekunder. Diantaranya yaitu :
1)
Uang tebusan untuk para tawanan perang.
2)
Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukkan kota mekkah)
untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari judhaima atau sebelum
pertempuran Hawazin yaitu 30.000 dirham (20.000 dirham menurut bukhari) dari
Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan
dari Sofyan bin Umaiyah.
3)
Khumuz atau Rikaz yaitu harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4)
Amwal fadhla berasal dari harta benda kaum
muslimin yang meninggal tanpa waris, atau berasal dari barang-barang seorang
muslim yang meninggalkan Negarinya.
5)
Wakaf, harta benda yang didedikasikan
kepada umat islam yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan
didepositokan di Baitul Maal.
6)
Nawaib, yaitu pajak yang jumlah cukup
besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat.
7)
Zakat fitrah.
c. Lembaga Keuangan Negara : Baitul Maal
Lima belas abad yang lampau tidak ada
konsep yang jelas mengenai cara mengurus keuangan dan kekayaan Negara di
belahan dunia manapun. Pemerintah suatu
Negara adalah badan yang dipercaya untuk menjadi pengurus tunggal kekayaan
Negara dan keungan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan
konsep baru di bidang keungan pada abad ke tujuh, yaitu semua hasil pengumpulan
Negara harus dikumpul terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan
kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik
individu. Tempat pengumpulan ini disebut baitul maal atau bendahara.
Semasa rasulullah masih hidup, masjid
nabawi digunakan sebagai kantor pusat Negara sekaligus sebagai tempat
tinggalnya dan baitul maal. Namun, binatang-binatang tidak bias disimpan
di baitul maal. Sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan
di padang terbuka.[4]
2.
Keuangan
Publik pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Pada Masa Kekhalifahan Abu Bakar Sidiq
Abu Bakar Sidiq terpilih menjadi khalifah dalam kondisi miskin, sebagai
pedangan yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sejak menjadi khalifah
kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari baitul maal ini. Menurut
beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga
perempat dirham setiap harinya dari baitul maal dengan tambahan makanan berupa
daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu tunjangan
tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan
menurut keterangan lain 6.000 dirham pertahun.
Selama sekitar 27 bulan di masa
kepemimpinannya, Abu Bakar Sidiq telah banyak menangani masalah murtad, cukai
dan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar sangat
memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap
periode dengan tanpa sisa. System pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan
hingga beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam pembendaharaan
keuangan. Sumber pendanaan Negara yang semakin menipis, menjelang mendekati
wafatnya menyebabkan kekayaan pribadinya dipergunakan untuk kepentingan Negara.[5]
b. Pada Masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab Al Faruqi
Pada masa khalifah umar, ada beberapa hal
penting yang perlu dicatat berkaita dengan masalah kebijakan keuangan Negara,
diantaranya adalah :
1)
Baitul Maal
Pada tahun 16 H, umar
mengumpulkan Kharaj senilai 500.000 dirham, hasil dari Abu Huraira, Amil
Bahrain, untuk disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai angkatan perang,
dan kebutuhan untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka Baitul Maal regular
dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibu kota,
kemudian dibangun cabang-cabang di ibu kota
provinsi.
2)
Tanah kepemilikan
Sepanjang kepemimpinan Umar, banyak
daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Di sinilah mulai timbul
permasalahan bagaimana pembagiannya, diantara sahabat yang ada yang menuntut
agar didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Oleh karena
itu, dicarilah suatu rencana yang cocok baik untuk mereka yang pertama maupun
yang dating terakhir.
Daerah penumpukan Kharaj mencakup
bagian yang cukup besar dari kerajaan Roma dan Sassanit, karena itu system
terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian, pengumpulan dan pendistribusian
penghasilan yang diperoleh dari tanah-tanah tersebut. Berdasarkan itu, Umar
mengirim Utsman Ibnu Hunaif Al-ansari, untuk membuat survey batas-batas tanah di
Sawad. Berdasarkan hasil survey luas tanah didaerah tersebut 36 juta Jarib.
Setiap jarib dinilai angka dan jumlahnya keudian dikirimkan proposalnya ke
khalifah untuk persetujuan. Umar menerapkan beberapa peraturan
mengenai kepemilikan sebagai berikut:
a) Wilayah
Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian
damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut tidak
dapat dialihkan.
b) Kharaj dibebankan
pada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik
tersebut kemudian memeluk islam. Dengan demikian, tanah
seperti itu dapat dikonversikan tanak Ushr.
c)
Bekas
pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj dan
jizyah.
d)
Sisa
tanah yang tidak ditempati atau ditempati (tanah mati) atau tanah yang diklaim
kembali (seperti basra) bila ditanami oleh kaum muslim diperlakukan sebagai
tanah ushr.
e)
Di
Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran local)
gandum dan Barley (sejenis gandum), dengan anggapa tanah tersebut
dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada Ratbah (rempah atau
cengkeh) dan perkebunan.
f)
Di
Mesir, menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga
idrab gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu, rancangan ini
disetujui oleh khalifah.
g)
Perjanjian
damaskus (syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum
muslimin. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit
berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.[6]
3)
Zakat dan Ushr
Pada masa Umar, gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik
sarang-sarang tawon tidak membayar ushr, tetapi menginnginkan sarang
tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengataka bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang
tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak, tidak akan mendapat perlindungan.
Menurut laporan Abu Ubaid, umar membedakan madu yang diperoleh dari daerah
pegunungan dan yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah
seperduapuluh untuk madu yag pertama dan sepersepuluh untuk jenis madu kedua.
4)
Pembayaran sedekah ke non-muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya
kecuali orang Kristen Banu Taghlib yang keseluruhan kekayaan terdiri dari ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum
muslimin. Banu Taghlib suku arab Kristen yang menderita akibat peperangan. Umar
mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga
menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
Namun, Ibnu Zuhra memberika alasan
untuk kasus mereka. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana
memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi
asset Negara. Umar pun memanggilkan mereka dan menggandakan sedekah yang harus
mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk
tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan
mereka. Mereka
pun menyetujui dan menerima membayar sedekah ganda.
5)
Mata Uang
Pada masa nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata
uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia,
seperti: dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau
sama dengan dua puluh qirat atau seratus Grain Barley. Bobot
dirham tidak seragam, untuk menghindari kebingungan, umar menetapkan bahwa
dirham perak seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Rasio antara satu dirham
dan satu mistqal adalah tujuh per sepuluh. Meskipun demikian, perlu diketahui
bahwa sebelum nabi lahir, perekonomian saat itu telah menggunakan emas dan
perak sebagai alat transaksi.[7]
6)
Klasifikasi pendapatan Negara
Pada periode awal islam, para
khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut
berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi
dalam empat jenis, yaitu:
a) Zakat
dan Ushr
Dana ini dipungut
secara wajib diperoleh dari kaum muslimin dan didistribusikan kepada delapan
asnaf dalam tingkat local. Kelebihan
disimpan di Baitul Maal pusat dan akan dibagikan kembali.
b) Khums
dan Sedekah
Dana ini dibagikan
kepada orang yang sangat membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai
kegiatan mereka dalam mencari kesejahteraan tanpa diskriminasi.
c) kharaj,
fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah
dana ini diperoleh dari pihak luar (non-muslim dan non-warga) dan
didistribusikan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta menutupi
pengeluaran administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
d)
berbagai
macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Dana ini dikeluarkan
untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
7)
Pengeluaran
Bagian
pengeluaran yang paling penting dari pendapatan keseluruhan adalah dana pensiun
kemudian diikuti dana pertahanan Negara dan dana pembangunan. Secara garis
besar pengeluaran Negara pada masa kekhalifahan Umar dikeluarkan untuk
kebutuhan yang memndapat prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiun bagi
mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik muslim maupun non-muslim. Dana tersebut termasuk juga pensiunan bagi para
pegawai sipil.[8]
c. Pada
Masa Kekhalifahan Utsman
Utsman Bin Affan adalah khalifah yang ketiga. Pada enam
tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani, Kerman, dan Sistan
ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama
setelah Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif
diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliaran air digali,
jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan
dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Khlifah Utsman
tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban
pemerintah dalam hal yang serius. Bahkan ia menyimpan uangnya di bendahara
Negara. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran perahanan dan kelautan,
meningkatkan dana pension dan pembangunan wilayah taklukan baru, khalifah
membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah
dari Mesir.
Lahan luas yang
dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi dia
menyimpannya sebagai lahan Negara yang tidak dibagika-bagikan. Sementara itu
Usman membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi
sebagai bagian yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa
lahan ini pada masa Umar menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi pada masa Utsman
ketika lahan telah dibagikan kepada individu-individu, penerimaannnya meningkat
menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan
tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar
tidak demikian.[9]
d. Pada Masa Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman, Ali terpilih sebagai
khalifah dengan suara bulat. Ali menjadi khalifah selama lima tahun. Kehidupan
Ali sangat sederhana dan dia sangat ketat dalam menjalankan keungan Negara.
Gubernur Ray dijebloskan kepenjara oleh khalifah dengan tuduhan penggelapan
uang Negara.
Dalam hal
penerimaan Negara, Ali masih membebanka pungutan khums atas ikan atau hasil
hutan. Menurut Baladhuri, Ali para pemilik hutan (ajmat) 4.000 dirham. Berbeda
dengan khalifah Umar, Khalifah Ali mendistribusikan seluruh pendapatan di Biatul
Maal ke provinsiyang ada di Baitul Maal Madinah, Busra dan Kufa.
System distribusi tiap pecan untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah
hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu semua penghitungan
diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai penghitungan baru.
Dalam alokasi
pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Umar.
Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan
Utsman hamper dihilangkan seluruhnya karena daerah sepanjang garis pantai
seperti Syiria, Palestina dan Mesir dibawah kekuasaan Muawiyah. Namun dengan
adanya penjagaan malam dan patrol (diciptakan oleh Umar), khalifah Keempat tetpa menyediakan
polisi regular yang terorganisasi, yang disebut Shurta, dan pemimpinnya
diberi gelar Sahibush-Shurta. Fungsi lain dari Baitul Maal masih
tetap sama seperti yang dulu dan tidak ada perkembangan aktivitas yang berarti
pada periode ini.[10]
C. Karakteristik Keuangan Islam
1) Pandangan Ahli Fiqih terhadap zakat dan Pajak
Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap
orang islam yang telah memenuhi kriteria tertentu. Dalam Al-qur’an terdapat 32
kata zakat, dan 82 kali diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan
sinonim dari zakat, yaitu kata sedekah dan infaq. Pengulangan tersebut
mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi serta peranan yang
sangat penting dalam islam.
Perintah zakat ditirunkan pada periode mekkah baru
merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang
membutuhkan bantuan. Sedangkan yag diturunkan pada periode madinah, merupakan
perintah yang telah menjdi kewajiban mutlak (ilzami).
Pungutan yang diwajibkan oleh pemerintah selain zakat dan
kharaj di dalam Negara islam disebut dengan Dharibah.
Dharibah dikenal dengan istilah pajak yaitu harta yang diwajibkan membayar
oleh kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran
yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di Baitul Maal tidak ada
uang/harta.
Dharibah lahir dengan landasan hukum bahwa Allah juga
telah mewajibkan Negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa
kaum muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum muslim tidak ada
yang mendermakan. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak
boleh ada bahaya (dharar) dan (saling) membahayakan.” Allah Swt memberikan hak kepada Negara untuk
mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemashlahatan
tersebut dari kaum muslim. Namun, kewajiban memmbayar dharibah trsebut hanya
dibebankan kepada mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan
pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf.
Ulama fiqih kontemporer mengemukakan bahwa ada kewajiban
material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan keabsahannya karena ternyata
pada waktu itu Negara memerlukan anggaran pendapatan yang besar sekali, yang
keseluruhannya tidak mugkin terpenuhi dengan zakat.
Pada saat ini, dua kewajiban tersebut menyatu dalam diri
seorang muslim bukan saja kewajiban pajak, tetapi juga kewajiban zakat
sekaligus. Kedua kewajiban itu tidak dapat dihindarkan karena jika kewajiban
hanya berlaku terhadap zakat saja dan bebas dari pajak, maka pemasukan terhadap
Negara tidak akan mencukupi dan tidak akan dapat memenuhi anggaran pendapatan
Negara yang dipakai untuk membiayai hal-hal yang jauh lebih banyak dari apa
yang ditentukan dalam zakat.
Atas dasar hal-hal tersebut ulama menolak anggapan
memperhitungkan pajak sebagai memenuhi kewajiban zakat. Yusuf Qardhawi
menyimpulkan, tidak boleh memperhitungkan pajak sebagai kewajiban zakat adalah
karena yang demikian akan menghilangkan lembaga zakat itu sendiri, yang berarti
menghilangkan salah satu syiar islam.[11]
2) Prinsip
Penerimaan Publik
Dari tinjauan sejarah mengenai penerimaan publik islam
dapat ditunjukkan bervariasinya bentuk-bentuk sumber pendanaan publik, baik
yang sudah ditentukan oleh Al-qur’an saperti
zakat, ghanimah, maupun yang
ditentukan oleh pemerintah saat itu seperti kharaj,
khumuz, jizyah, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip yang diterapkan dalam
penerimaan publik islam yaitu :
a.
Sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin
bahwa hanya golongan kaya dan mempunyai kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah.
b.
Berbagai pungutan dharibah tidak dipungut atas besarnya input/sumber daya yang
digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul.
c.
Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil
sebagian harta milik masyarakat secara paksa, meskipun kepada orang kaya.
d.
Islam memperlakukan kaum muslimin dan non-muslim
secara adil. Pungutan dikenakan proorsional terhadap manfaat yang diterima
pembayar.
e.
Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan
pajak menjadi empat jenis, yaitu :
1.
Zakat
2.
Asset atau
kekayaan non keuangan
3.
Dharibah, meliputi jizyah, kharaj, ushr,
nawaib, dan sebagainya.
3) Prinsip
Pengeluaran Publik
Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran
publik islam semasa Rasulullah Saw. dan khulafaurrasyidin serta kaidah fiqih
muamalah pada hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasian dana publik adalah
peningkatan mashlahat tertinggi. Secara umum belanja Negara dikategorikan menjadi empat, yaitu :
a.
Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada
umumnya diambil dari zakat dan ushr.
b.
Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya
diambil dari kharaj, fai, jizyah dan ushr.
c.
Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dana ini
pada umumnya diambil dari dana lainnya yaitu khumus dan sedekah.
d.
Biaya lain, seperti biaya emergency, pengurusan anak
terlantar, dan sebagainya. Dana ini pada uumumnya diambil dari wakaf, utang
publik, dan sebagainya.
Dengan empat jenis alokasi keuangan publik diatas,
besaran dan skala prioritas alokasi tidaklah selalu sama setiap Negara ataupun
waktu. Prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran
publik adalah:
a.
Alokasi zakat
merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil, ataupun pemerintah. amil
hanya berfungsi menjalankan managemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusiannya
yang sesuai ajaran islam.
b.
Penerimaan selainzakat dialokasikan mengikuti
beberapa prinsip pokok, diantaranya :
1.
Belanja Negara harus diarahkan untuk mewujudkan
semaksimal mungkin mashlahah.
2.
Menghindari musyaqqah
kesulitan dan mudharat harus didahulukan
daripada melakukan perbaikan.
3.
Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi
menghindari mudharat dalam skala yang lebih luas.
4.
Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan
individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam
skala umum.
5.
Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang
dengan penderitaan atau kerugian yang ditanggung.
6.
Jika suatu belanja merupakan syarat untuk
ditegakkannya syariah islam, maka belanja tersebut harus diwajibkan.[13]
4) Keseimbangan
Sektor Publik dan Anggaran
Dengan
mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran sektor publik, maka
dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik (surplus) ataupun
deficit sektor publik. Namun, karena alokasi zakat sudah ditentukan oleh Allah
dan bukan merupakan kewenangan amil untuk menentukan, maka dimungkinkan terjadi
pada suatu waktu terdapat sisa dana zakat bersamaan dengan belum terpenuhinya
kebutuhan yang tidak dimungkinkan dibiayai dengan zakat. Misalnya, biaya rutin
pemerintahan dan militer, dalam sepanjang sejarah islam tidak dibiayai dari
zakat, namun dari pendapatan lain jika memungkinkan seperti ghanimah dan
jizyah. Namun disisi lain, hal yang sebaliknya tidak mungkin terjadi, yaitu
ketika terjadi surplus di penerimaan publik non-zakat, maka surplus ini bisa
digunakan untuk menutupi kekurangan-kekurangan distribusi dari zakat.
Meskipun Rasulullah tidak melakukan estimasi tahanan
mengenai berapa besar belanja yang dibutuhkan dan sumber-sumber penerimaannya,
namun beliau telah melakukan penyeimbangan antara tujuan dan instrument
pemerintah, dalam arti penerimaan dan pengeluaran pemerintah. konsep anggaran
yang merupakan suatu rancangan kegiatan dan pendekatan terhadap pengeluaran
pemerintah pada setiap segmen adalah merupakan hal yang relatif baru dalam
sejarah islam. Dengan demikian, tidak diperoleh informasi normatif mengenai
bagaimana proses penyusunan anggaran maupun besarnya dalam perspektif islam.[14]
D. Instrumen Pembiayaan Publik
1.
Zakat
Pengeluaran/pembayaran
zakat dalam islam mulai efektif dilaksanakan sejak setelah hijrah dan
terbentuknya Negara islam di Madinah. Orang yang beriman dianjurkan untuk membayarkan
sejumlah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat merupakan
kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun islam. Kewajiban itu
berlaku bagi setiap muslim yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan
memiliki harta itu setahun penuh dalam memenuhi nisabnya.
2.
Asset dan Perusahaan Negara
Selain mendapatkan penerimaan berupa zakat, Negara islam
memiliki sumber pendanaan Negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fai. Kedua harta ini diperoleh dari masyarakat non-muslim, baik
melalui pemaksaan perang ataupun melalui jalan damai. Harta ghanimah bukanlah
tujuan utama peperangan, tetapi harta ghanimah sebagian besar digunakan untuk
kesejahteraan tentara dan sebagian kecil untuk umat islam. Anggota pasukan akan
mendapatkan bagian sebesar empat perlima atau 80 %, Al-qur’an telah mengatur
hal ini secara jelas dalam QS. Al-Anfal ayat 41. Sedangkan fai merupakan sumber penerimaan dari Negara islam dan sumber
pembiayaan Negara. Gambaran mengenai fai terdapat
pada Al-qur’an surah Al-Hasyr ayat 6-7.[15]
3.
Kharaj
Kharaj atau biasa disebut pajak tanah. Dalam
pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua macam, yaitu proporsional dan
tetap. Secara proporsional artinya dikenakan ssebagai bagian total dari bagi
hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima dan sebagainya. Secara
tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain, kharaj proporsional
tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian.
Kharaj tetap dikenakan pada setahun sekali. Selama pemerintahan islam, kharaj
menjadi sumber penerimaan utama dari Negara islam, dana itu dikuasai oleh
komunitas dan bukan kelompok-kelompok tertentu.
4.
Jizyah
Salah
satu cirri khas masyarakat muslim adalah menjaga saudaranya muslim ataupun
non-muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah, orang-orang
Kristen dan yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi anggota militer di
Negara islam. Mereka memperoleh konsesi bahwa Negara islam akan menjamin
keamanan pribadi dan hak milik mereka. Sebagai gantinya orang-orang non-muslim
diwajibkan dengan mengganti pembayaran jizyah.
Dijelaskan dalam Al-qur’an QS. At-Taubah : 29.
Mesipun jizyah merupakan hal yang wajib, namun dalam
islam ada ketentuan yaitu bahwa jizyah
dikenakan kepada seluruh non-muslim dewasa laki-laki yang mampu membayarnya.
Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai
kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut
bertempur.
5.
Wakaf
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu
hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf)
baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya
digunakan sesuai dengan syari’at islam. Makin banyak hasil harta wakaf yang
dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala yang akan mengalir
kepada wakif.[16]
E. Gagasan Keuangan
Publik dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-qur’an terdapat tiga istilah mengenai
keuangan publik, yaitu Anfal (QS.
Al-Anfal :1), Khumz (QS. Al-Anfal :
41) dan Jizyah (QS. At-Taubah : 24),
meskipun ketiganya hanya muncul satu kali dalam Al-qur’an, tetapi ketiganya
juga menjadi sangat penting dalam pendapatan publik.
1.
Anfal
Istilah Anfal muncul pertama kali ketika terjadi
perang badar, istilah anfal sendiri menjadi salah satu surah dalam Al-qur’an,
yaitu Al-Anfal. Arti anfal sendiri adalah rampasan perang atau kumpulan harta rampasan
perang.
Seperti yang terdapat dalam Al-qur’an
yaitu surah Al-Anfal ayat 1 yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab
itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu;
dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang
beriman”.
Maksud dari harta rampasan
perang kepunyaan Allah dan Rasulnya adalah harta rampasan perang dibagi sesuai
dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan, yaitu seperlima milik Allah dan
Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, ibn sabil dan fakir-miskin.[17]
2.
Khumz
Istilah Khumz sama seperti
anfal, yaitu hanya muncul sekali dalam Al-qur’an. Berdasarkan kaitan historis
diantara kedua ayat tersebut, Ibn Abb. Al-Barr menyatakan bahwa, pendapat yang
memandang ayat khums secara kronologis diturunkan setelah ayat Al-anfal dan
telah mendapat status ijma’.
Secara hukum ayat khums bersifat publik. publik
dalam kasus ini, yang dimaksud adalah kelompok-kelompok yang disebutkan ayat tersebut,
yaitu QS. Al-Anfal : 41 yang artinya: “Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dari
ayat tersebut telah jelas bahwa seperlima atau 20% menjadi kekayaan publik dan
80% menjadi hak masing-masing tentara yang terlibat dimedan pertempuran sebagai
(ghanimah) biasa.[18]
3.
Jizyah
QS. At-Taubah : 29 yang artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Jizyah ialah pajak per
kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam,
sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Walaupun jizyah yang ditegaskan
Al-qur’an hanya ditujukan kepada ahli alkitab yakni orang Kristen dan yahudi,
namun aturan ini juga berlaku/ dikenakan kepada masyarakat selain ahli alkitab.[19]
F. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan
bahwa keuangan publik pada masa Rasulullah bersumber pada keuangan yang
dikelola untuk kepentingan masyarakat, baik yang dikelola secara individual
maupun oleh pemerintah.
Sumber-sumber keuangan publik pada masa Rasulullah
didapat dari hasil rampasan perang maupun pajak yang berupa jizyah, ushr,
kharaj dan sebagainya. Sumber-sumber keuangan publik tersebut juga merujuk
kepada Al-qur’an yang berupa zakat dan ghanimah. Selain berupa zakat, sumber
keuangan publik mayoritas bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk wakaf,, infaq
dan shodaqoh.
Di dalam keuangan publik terdapat sebuah prinsip
yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik yaitu tertuju pada ketentuan
zakat. Bahwa alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil
atau pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan menegemen zakat sehingga
dapat dicapai pendistribusian sesuai dengan syariat islam. Prinsip lainnya
adalah bahwa islam memperlakukan kaum muslim dan non-muslim secara adil.
DAFTAR BACAAN
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI).
2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Ugi Suharto. 2004. Keuangan
Publik Islam :Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat
(PSZ).
[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008)
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam :Reinterpretasi Zakat
dan Pajak. (Yogyakarta: Pusat Studi Zakat
(PSZ), 2004)
[18] Ibid,
[19] Ibid,
No comments:
Post a Comment