Hukum Perkawinan
Pendahuluan
Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional
yang mengatur dalam bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.
A.
Pengertian
Perkawinan
Menurut UU No. 1
tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[1]
Sebagai ikatan
lahir, perkawinanmerupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. ikatan lahir batin ini
merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan
dirinya maupun bagi orang laian atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi
dengan adanya upacara perkawinan yakni upacara akad nikah bagi yang Beragama
islam.
Sebagai ikatan
bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan
yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami istri. dalam tahap permulaan, iktan bathin ini diawali
dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan
perkawinan.
Selanjutnya,
dalam hidup bersamam ikatan bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami
istri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan
dasar utama dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.[2]
Dalam rumusan
perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 itu tercantum tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau
untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup
atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak
diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja
seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya
diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa.[3]
Selanjutnya,
dalam pengertian perkawinan itu juga dinyatak dengan tegas bahwa pembentukan
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan
kepercayaan masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
dinyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945”.[4]
UU No.1 tahun
1974 dan hukum islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari
aspek formal semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial.aspek
agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah
menyangkut aspek administrative, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil.[5]
Sajuti Thalib,
SH dalam bukunya Hukum Keluarga Indonesia
mengatakan: “Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
Dr. Anwar
Haryono SH, dalam bukunya Hukum Islam juga
mengatakan: “pernikahan adalah suatu petjanjian suci antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.[6]
Menurut hukum
islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu
pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan
suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh
dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi.[7]
B.
Syarat-Syarat
dan Momentum Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat
melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Nomor 1
Tahun 1974. Didalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat
melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern.
Syarat intern
yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan.
Syarat-syarat intern meliputi:
1) Persetujuan kedua belah pihak;
2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun;
3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan
atau camat atau bupati;
4) Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin;
5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang
putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
1) Persetujuan kedua belah pihak;
2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun;
3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan
atau camat atau bupati;
4) Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin;
5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang
putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
Syarat ekstern
yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan
perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:
1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk;
2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:
1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk;
2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:
a.
Nama, umur, agama/kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
orang tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan.
orang tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan.
Dalam KUH Perdata, syarat untuk
melangsungkan perkawinan dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil,
dan (2) syarat formil.
Syarat
materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan initi atau pokok
dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:
1. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat
yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk
melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi:
a.
Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami
(Pasal 27 BW);
b.
Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28
KUH Perdata);
c. Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi
laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH
Perdata);
d.
Seorang wanita yang pernah kawin dan
hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan
terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata);
e.
Harus ada izin sementara dari orang
tuanya atau walinya bagi anak-anak ynag belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal
34 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata).
2.
Syarat materiil relative, ketentuan yang
merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan
itu meliputi:
a.
Larangan kawin dengan orang yang sangat
dekat dalam kekeluargaan sedarah dank arena perkawinan;
b.
Larangan kawin karena zina;
c.
Larangan kawin untuk memperbarui
perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat
Formil adalah syarat yang berkaitan dengan
formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua
tahapan.[8]
Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum
perkawinan dilangsungkan adalah:
a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya
perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai
Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,dalam jangka waktu
sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan
4 PP No. 9 Tahun 1975).
b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan
menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud
pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang
berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada
Undang-Undang yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut
dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat
kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai.[9]
C.
Tujuan
Perkawinan
Tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi,
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
Dilihat dari
tujuan perkawinan, maka perkawinan itu :
a. Berlangsung seumur hidup
b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir.
c. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri
a. Berlangsung seumur hidup
b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir.
c. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri
Suatu keluarga
dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah
dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan, sandang, pangan,
kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya
seorang anak yang berasal dari darah daging mereka.[10]
D. Pencegahan dan Pembatalan
Perkawinan
Pencegahan
perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu perkawinan antara calon
pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk malangsungkan perkawinan.
Tujuan
pencegahan hukum perkawinan adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan
perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami istri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut
hukum islam dan peraturan perundang-undangan Pencegahan
perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini, yaitu:
1) Pasal
13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974;
2) Pasal
59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata;
3) Pasal
37 PP Nomor 9 Tahun 1975;
4) Pasal
70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sedangkan pembatalan Perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 99 BW.
Orang yang dapat melakukan
pencegahan perkawinan adalah:
a. Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b. Saudara;
c. Wali
nikah;
d. Wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan;
e. Ayah
kandung;
f. Suami
atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri
atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;
g. Pejabat
yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.[11]
Tata cara pencegahan perkawinan
dikemukakan berikut ini:
1) Orang yang berwenang untuk melakukan
pencegahan itu harus mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke pengadilan
di wilayah hukum tempat akan dilangsungkannya perkawinan (Pasal 17 Nomor 1
Tahub 1974).
2) Orang tersebut harus memberitahukan
kepada pegawai pencatat nikah. Pegawai pencatat nikah inilah yang akan
memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan tersebut.
3) Apabila hakim telah menerima permohonan
itu, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pengadilan memutuskan permohonan
percegahan tersebut. Putusan itu berisi menolak atau menerima permohonan
pencegahan tersebut.
4) Dengan adanya putusan ini, maka Pegawai
Pencatat Nikah dapat melangsungkan perkawinan tersebut.[12]
Pembatalan perkawinan juga diatur dalam
Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan
itu disebutkan bahwa pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
(1) Perkawinan batal, dan (2) Perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan
batal adalah suatu perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada.
Perkawinan batal apabila:
1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia
tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri,
sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i;
2) Seseorang menikahi bekas istrinya yang
pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istrinya tersebut pernak
menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
3)
Perkawinan dilakukan antara dua orang
yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawina menurut Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu;
a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua, anak
tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
c. Berhubungan susuan, yaitu orang tua
susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan;
d.
Istri adalah saudara kandung atau
sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah
suatu perkawinan yang telah berlangsung antara calon pasangan suami-istri,
namun salah satu pihak dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu
dibatalkan. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.
Suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama;
b.
Perempuan yang masih dikawini ternyata
kemudian diketahui masih menjadi istri orang lain;
c.
Perempuan yang dikawini masih dalam iddah
dari suami;
d. Perkawinan melanggar batas umur
perkawinan sebagaimana yang ditatapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974;
e.
Perkawinan dilangsungkan tanpa walu atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan
paksaan.[13]
Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan ke pengadilan yang meliputi wilayah tempat tinggal suami atau istri
atau tempat perkawina dilangsungkan. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak
putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Batalnya perkawina tidak akan memutuskan hunungan
hukum antara anak denga orang tuanya.[14]
E.
Larangan
Perkawinan
Larangan untuk
melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 UU Nomor 1
Tahun 1974. Ada larangan perkawinan antara laki dan wanita, yaitu:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
sususan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seseorang suami beristri lebih dari seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;
7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain;
8) Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua
kalinya, mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
sususan;
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seseorang suami beristri lebih dari seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin;
7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain;
8) Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua
kalinya, mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Di dalam KUH Perdata juga diatur tentang
larangan perkawinan antara calon pasangan suami istri. Larangan untuk kawin
diatur didalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUH Perdata. Ada tiga larangan
untuk melangsungkan perkawinan, yaitu:
a) Larangan kawin dengan orang yang sangat
dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan;
b) Larangan kawin karena zina;
c) Larangan kawin untuk memperbarui
perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
Di dalam KUH Perdata tidak mengenal
larangan kawin bagi orang sesusuan maupun karena agama. Karena dalam konsep KUH
Perdata,, perkawinan itu hanya dipandang dari hubungan keperdataan saja dan
tidak mempunyai hubungan dengan agama, maupun konsep lainnya.[15]
F.
Perjanjian
Kawin
Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU
No. 1 Tahun 1974 dan pasal 139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian
kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan
terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada
saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam
bentuk akta notaries. Tujuannya adalah:
a. Keabsahan
perkawinan
b. Untuk
mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawina itu
untuk seumur hidup.
c. Demi
kepastian hukum
d. Alat
bukti yang sah
e. Mencegah
adanya penyelundupan hukum
Perjanjian kawin
juga diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51 Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah seperti berikut:
1)
Perjanjian kawin dapat dilakukan pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
2) Bentuk perjanjian kawin adalah dalam
bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum
islam. Biasanya bentuk perjanjian lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3) Isi perjanjian kawin meliputi
percampuran harta pribadi, yang meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing pihak dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan; pemisahan harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
4) Kewenangan masing-masing pihak untuk
melakukan pembebasan atas hipotek atau hak tanggungan atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat.
Momentum mulai berlakunya perjanjian
perkawinan adalah terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan. Sejak saat
itu perjanjian kawin itu mengikat para pihak dan pihak ketiga.[16]
G.
Akibat
Perkawinan
Di dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga
akibat perkawinan, yaitu:
1. Adanya hubungan suami-istri
2. Hubungan orang tua dengan anak
3. Masalah harta kekayaan
Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban suami-istri menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 1974)
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
3. Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974)
1. Adanya hubungan suami-istri
2. Hubungan orang tua dengan anak
3. Masalah harta kekayaan
Hubungan hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi perkawinan. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban suami-istri menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 1974)
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
3. Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974)
4. Suami istri wajib mempunyai tempat
kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974)
5. Suami-istri wajib saling mencintai,
hormat-menghormati, setia dan member bantuan lahir batin
yang satu kepada yang
lain (Pasal 33 UU Nomor 1 Tahun 1974)
6. Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai
dengan kemampuannya
(Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974)
7. Istri wajib mengatur utusan rumah tangga
sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974).
Apabila
kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang
hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
1) Suami
adalah kepala rumah tangga;
2) Suami
harus membantu istri;
3) Suami
harus mengurus harta bawaan istri;
4) Suami
harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik;
5) Suami
tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan istri.
Hak dan
kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah
sebagai berikut:
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang
tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU
nomor 1 Tahun1974)
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974)
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974)
4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kuasa orang
tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974)
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang
tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sensiri (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU
nomor 1 Tahun1974)
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974)
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974)
4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kuasa orang
tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974)
5. Orang
tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974)
6. Orang
tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang
dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan,
kecuali kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 48
UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35
sampai dengan pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan
antara harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan, sedangkan yang diartikan dengan harta bawaan
masing-masing suami-istri adalah harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan.
Harta warisan itu berada di bawah penguasaan
masing-masing pihak, sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat
(2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan antara suami-istri putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama
itu dibagi sama rata antara suami-istri.[17]
H.
Putusnya
Perkawinan
Putusnya
perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan
suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian, perceraian,
dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH
Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:
1) Kematian salah satu pihak;
2) Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru;
3) Adanya putusan hakim;
4) Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
1) Kematian salah satu pihak;
2) Tidak hadirnya suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru;
3) Adanya putusan hakim;
4) Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
Putusnya perkawinan karena kematian
adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah satu pihak baik suami
maupun istri meninggal dunia.
Perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal,
yaitu:
a. Talak, atau
b. Berdasarkan gugatan perceraian.
a. Talak, atau
b. Berdasarkan gugatan perceraian.
Talak adalah ikrar suami di hadapan
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Gugatan
perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan lebih dahulu oleh
salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.
Talak dibagi
menjadi lima macam, yaitu:
1. Talak raj’I, yaitu talak satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah;
2. Talak bain shughraa, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah;
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 Ayat 1). Maksud pasal ini adalah untuk mempersulit perceraian, mengingat tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[19]
1. Talak raj’I, yaitu talak satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah;
2. Talak bain shughraa, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam iddah;
3. Talak
bain khubraa, yaitu talak yang terjadi untuk kedua kalinya, talak ini tidak
dapat dirujuk dan
tidak dapat dinikahkan lagi, kecuali pernikahan itu dilakukan
setelah bekas istri menikah dengan
orang lain kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa
‘iddahnya;
4. Talak
suny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci
dan tidak dicampuri dalam waktu suci itu;
5. Talak
bad’I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri
dalam keadaan
suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 118
sampai dengan pasal 122 Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam).[18] Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 Ayat 1). Maksud pasal ini adalah untuk mempersulit perceraian, mengingat tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[19]
I.
Akibat
Putusnya Perkawinan
Bila perkawinan putus karena
perceraian, bekas suami-istri yang bersangkutan yang merupakan ayah dan ibu
dari anak-anaknya, tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata untuk kepentingan anaknya.[20]
Bila terjadi perselisihan mengenai
anak-anak tersebut, pengadilan memberikan keputusan ikut bersama siapa anak-anak
itu (Pasal 1 ayat 1).
Meskipun anak-anak itu ikut bersama
ibunya, tetapi ayahnya bertanggung jawab sepenuhnya atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Kecuali bilamana ayah dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut (Pasal 4 ayat 2).
Pengadilan dapat juga mewajibkan bekas
suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas istrinya (Pasal 41 ayat 3).
Kemudian mengenai harta bersama akibat
putusya perkawinan, sebagaimana telah diterangkan, Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 pada pasal 37 menyerahkan pengaturannya kepada masing-masing yaitu hukum
agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[21]
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1).
Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian
antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di
lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan
oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah
dibina oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan
menjadi empat macam, yaitu: Kematian salah satu pihak, tidak hadirnya
suami-istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru, adanya putusan hakim,
Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata).
Lihat Juga:
Hak Paten
Hukum Perorangan
Hukum Perkawinan
Jenis-jenis Perjanjian
Hukum Jaminan
Hukum Keluarga
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang
Perikatan Yang Timbul Karena Undang-undang
Lihat Juga:
Hak Paten
Hukum Perorangan
Hukum Perkawinan
Jenis-jenis Perjanjian
Hukum Jaminan
Hukum Keluarga
Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang
Perikatan Yang Timbul Karena Undang-undang
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo,
sudikno. 2002, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.
Komariah,
2002. Hukum Perdata. Malang: UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Saleh,
K. Wantjik, 1976. Hukum Perkawinan
Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Syahrani,
Riduan. 2006. Seluk-Beluk Asas-asas Hukum
Perdata, Banjarmasin: PT. Alumni.
[1] Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002) [2] K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1976)
[3]Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas hukum perdata, (Banjarmasin; PT. Alumni, 2006)
[4] Ibid,
[5] Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika, 2002)
[6] Riduan Syahrani, Loc. Cit.
[7] Komariah, Hukum Perdata, Loc. Cit.
[8] Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit.
[9] Komariah, Hukum Perdata, Op. Cit.
[10] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.
[11] Ibid.
[12] Ibid,
[13] Ibid.
[14] Ibid,
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid,
[19] Komariah, Loc. Cit.
[20] Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban perceraian kedua
orang tuanya. Selanjutnya dapat dilihat dalam PAsal 8 pp No. 10/1983 untuk pegawai negeri sipil.
[21] Riduan Syahrani, Loc. Cit.
sangat membantu
ReplyDelete