Wednesday, February 12, 2014

Antara Takdir dan Kehendak Bebas Manusia (Qodho dan Qodar)


Definisi
Kata qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir) yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha  berarti menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi.  Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib. Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah Swt. telah  menciptakan segala sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat teralisasi di dalam rangkaian sebab-sebab. Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyam-paikan sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih dahulu dari tahap qadha’, karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya.  
Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai mem-bentuk janin yang sempurna. Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada takdir itu.
Adapun tahap qadha’ bersifat seketika dan serentak (daf’i). Qadha’ ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami perubahan. Allah Swt. berfirman:
“Apabila Allah menetapkan suatu  perkara,  Ia akan mengatakan: “Jadilah” maka terjadilah.” (Qs. Alimran: 47)[1]
Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha’ dan qadar ini juga bisa digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah qadha’ dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha’ dan qadar yang pasti (hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh  kepada kedua orang tua, silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha’.

Qadha’ Qadar Ilmi dan Aini
Terkadang taqdir dan qadha’ Ilahi pun digunakan dengan arti ilmu Allah, yakni  ketika sebab-sebab serta syarat-syaratnya telah terpenuhi. Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha’ qodar juga digunakan untuk ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti qadha’ qadar ini dinamakan sebagai qadha qadar ilmi.
Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penis-bahan proses penciptaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah Swt. Hal itu dinamakan qadha’ qadar ‘aini.
Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini, ilmu Allah dipercayakan kepada pada lauh mahfuz, yaitu makhluk Ilahi yang tinggi dan mulia ang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di dunia luar (khariji). Dan setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh mahfuz itu dengan ijin Allah swt. 
Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang. Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat  dan derajatnya lebih rendah dibanding lauh mahfuz, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Dan setiap orang yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur’an ini menjelaskan ihwal kedua lauh tersebut:
“Sesungguhnya Allah Swt akan menghapus  apa-apa  yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab (kitab induk)” (Qs. Ar-Ra’ad: 39).
Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti semacam ini diistilahkan dengan bada’. Dengan ini, iman kepada qadh’a dan qadar ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang telah kata pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Dan telah jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut.
Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal  keyakinan terhadap qadha’ dan qadar ‘aini, khususnya dalam hal keimanan terhadap nasib yang pasti. Dan kita akan berusaha untuk mengatasi dan menjawab masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara global telah diungkapkan dalam persoalan Tauhid dengan pengertian pengaruh yang mandiri.

Antara Qadha’, Qadar dan Kehendak Bebas Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa keyakinan terhadap qadha’ dan qadar ‘aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap  pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat  yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak. Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan  proses mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak Allah swt.
Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt., dan tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan kepada qadha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah derajat tauhid  yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud mereka kepada qadha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik  perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha’ Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu kaum Mu’tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum Mu’tazilah mengingkari qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.
Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa  perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan kehendaknya, dan bahwa per-buatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha’ Allah swt. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha’ Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan meng-kompromikan perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya kepada qadha’ Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah Swt.

Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan:
Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama memberikan pengaruh atas sesuatu. Misalnya, ber-kumpulnya biji dan air, panas dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan.
Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya, beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya sebuah pesawat.
Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat perhatikan pengaruh kehen-dak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan menulis.
Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab  vertikal, dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini  berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak berhubungan dengan kehendak manusia.
Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya (pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin) terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan ber-kehendak bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah swt.
Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu  akibat. Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah).

Jawaban atas keraguan
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu kepada Allah swt. tidak bertentangan dengan penyandarannya kepa-da manusia itu sendiri, karena dua penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di antara keduanya.
Dengan kata lain, penyandaran suatu perbuatan kepada manusia sebagai pelaku berada pada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbuatan yang sama kepada Allah Swt. berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua inilah  keberadaan manusia sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah Swt.
Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah Swt. Karena Dialah dzat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah dzat yang menganugrahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena, makhluk-makhluk ciptaannya itu tidaklah mandiri.
Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah swt., dan tidak mungkin keluar dari kehendak Ilahi. Seluruh sifat-sifat makhluk, ciri-ciri khusus dan berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan bergantung kepada takdir dan qadha’ Allah Swt.
Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak ini tidak berada pada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu kedua-keduanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan berbagai per-buatan secara bergantian.
Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan wujud dirinya sendiri,  senantiasa berhubung  dan bergantung kepada  kehendak Allah,  dan sesungguhnya kehendak Allah Swt.  itu niscaya untuk terwujudnya kehendak manusia tersebut.
Allah swt. berfirman:
“Dan kalian tidak berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yang berkehendak.” (Qs. At-Takwir: 29).

Manfaat Keyakinan  pada Qadha’ dan Qadar
Keyakinan pada qadha’ dan qadar, di samping merupakan peringkat yang tinggi ma’rifatullah  dalam dimensi penalaran dan mendorong manusia menuju kesempurnaan insaninya,  secara praktikal menyimpan manfaat yang melimpah. Sebagian  manfaat ini telah kami kemukakan, dan berikut ini akan  kami jelaskan sebagian lainnya.
Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa lepas dari kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari takdir dan qadha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak, pasti akan terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan sebagainya.
Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia tidak akan tertimpa penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi sebagai sarana untuk mencapai status sosial.
Allah Swt. menyinggung  manfaat-manfaat besar ini melalui ayat-Nya:
“Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam  kitab lauh mahfuz, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid: 22-23).
Hendaknya kita berusaha menghindari pengaruh-pengaruh yang berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah qadha’, qadar dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas masalah-masalah tersebut akan mengaki-batkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di hadapan tin-dak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, serta lari dari  tanggung jawab. Kiranya perlu kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas dan sengaja manusia sendiri. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk yang ia kerjakan pula.” (Qs. Al Baqarah:286)
“Dan manusia tidak akan mendapat balasan apa-apa melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri.” (Qs. An-Najm :39)