Thursday, January 9, 2014

Esensi Ajaran Islam


ESENSI  AJARAN  ISLAM

Secara garis besar esensi ajaran islam terbagi kepada tiga pokok bahasan:

I.          Aqidah Tauhid        II. Ibadah   III. Akhlak

Ketiga hal pokok tersebut diatas merupakan ilmu yang wajib kita pelajari dan amalkan.
Sebelum masuk kepada pokok bahasan terlebih dahulu kita pahami hakikat dan penegrtian islam itu apa ? Islam dari asal kata aslama-yaslimu yang artinya keselamatan dan kedamaian bagi seluruh alam. Rasulullah menerangkan
“Islam ialah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Engkau mengerjakan sholat, membayar zakat yang wajib dan puasa pada bulan ramadhan.
          Kita masuk pada pokok bahasan yang pertama dari pada esensi ajaran islam.

I.          Aqidah Tauhid

Kita bahas tentang aqidah atau yang di sebut dengan tauhid adalah awal dan akhir dari seruan islam. Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa Allahlah yang menciptakan alam dengan segala isinya.
Aqidah atau yang disebut Tauhid adalah suatu bentuk landasan hidup bagi seorang muslim dalam meyakini agamanya. Tauhid merupakan sebuah landasan iman.
a.                 Pengertian iman; sabda rasulullah saw.
“Iman di yakini dalam hati di ucapkan dengan lisan di amalkan dengan perbuatan”

Dalam hadits nabi di katakan bahwa iman diucapkan dengan lisan. Iman dengan lisan ialah bacaan syahadat.
b.                 Makna syahadat ( rukun iman, iman kepada Allah berarti dengan bersahadat kepada Allah, sayahadat ialah mempercayai dalam bentuk persaksian, tiada Tuhan yang wajib di sembah melainkan Allah).
c.                 Iman kepada Allah (mengesakan Tuhan) Rukun Iman (QS. An-Nisa: 136).
Bagaimana sesungguhnya pengertian dan hakekat iman itu ?Apakah iman itu ?  hakikat iman ialah mengakui (perbuatan lisan) dan membenarkannya (perbuatan hati) Rasulullah saw, menerangkan:
“Iman ialah engkau percaya (membenarkan dan mengakui) kepada Allah dan Malaikat-Nya dan dengan menjumpai-Nya dengan Rasul-rasul-Nya dan engkau percaya dengan hari kebangkitan”.

II.               Ibadah /Muamalah

Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah swt, karena di dorong dan di bangkitkan oleh aqidah tauhid.
a.       Ibadah adalah tujuan hidup manusia (QS. Adzariat: 56)
Pengertian ibadah dalam kaitannya dengan syahadat adalah bahwa apa yang kita akui dan kita yakini harus kita aplikasikan. Hal ini karena adanya keterkaitan dengan syahadat. Mula-mula kita meyakini dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Kita mengimani adanya Allah tentu sebagai konsekwensi adalah kita harus menjalankan ibadah sebagai bentuk aplikasi dari iman
b.       Konsekwensi syahadat
Konsekwensi syahadat adalah harus di aplikasikan kedalam rukun islam terutama rukun islam yang jumlahnya ada lima perkara. Bagaimana bunyi rukun islam tersebut ? Bagaimana aplikasinya ? Aplikasinya adalah kita harus melaksanakan atau menjalankan rukun islam yang lima perkara.
c.                 Rukun islam
Tentang Rukun islam dalam kaitannya dengan syahadat, adalah kita harus menyembahnya. Yang telah diwajibkan lima waktu dalam sehari semalam. Kita menyembah zat ke-esaan Allah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Ikhlas ayat 1-4 yang menjadi sumber dasar tentang ke-esaan Allah tersebut. Bunyinya….?
Tentang diri Tuhan disebutkan pula dalam QS. Taha ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shoalat untuk mengingat Aku”.,

III.                       Akhlak

a.                                         Rasulullah Menyempurnakan Akhlak (QS. Al-Ahzab: 21)
Rasulullah sebagai pembawa risalah baru dalam menyempurnakan akhlak. Tentang akhlak kembali kepada tujuan agama. Bagaimana seorang akan berakhlak kalau dia tidak beragama.
b. Akhlak terpuji
Akhlak islam ialah suatu sikap mental dan lakuperbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan zat yang maha kuasa, Allah swt. Akhlak islam ialah produk dari keyakinan atas kekuasaan dan Ke-esaan Allah, yaitu produk dari jiwa tauhid.
c. Akhlak dengan manusia, alam dll.
Ø  Islam berarti penyerahan diri kepada kehendak Allah, demikian pula kalau ia melibatkan amal.
Ø  Tentang praktek-praktek keagamaan seorang muslim dijelaskan ; islam ialah jika engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Nabi Muhammad itu adalah rasul dan utusan Allah, dan engkau mengerjakan sholat, membayar zakat, melaksanakan puasa di bulan ramadhan, dan mengerjakan haji kebaitullah jika engkau cukup dan mampu membiayai perjalanan.
Ø  Lima sendi aspek kehidupan religius seorang muslim terpadu dengan iman kepada Allah.
Ø  Seseorang yang hatinya benar-benar terkait pada iman atau percaya kepada Tuhan, pada islam dengan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan menjalankan ihsan sesuatu perbuatan yang baik adalah seorang muslim.
Ø  Iman seorang muslim adalah kepercayaan yang teguh pada islam, di hayati dalam hatinya dan diungkapkan dengan lisannya, apa yang di percayai dalam hati harus diungkapkan dengan lisan, dan apa yang diungkapakan dengan lisan harus benar-benar diresapkan dan dipercayai dalam hati.
Ø  Prinsip pertama islam adalah tauhid, kesatuan atau ke-Esaan Tuhan yang tak ada sekutunya.
Ø  Dalam Al-Qur’an untuk Tuhan satu adalah Allah. Dia Maha Tinggi, satu-satunya Tuhan, satu-satunya Raja dan pencipta alam semesta Hakikat wujud-Nya atau kehadiran-Nya tak dapat di indra oleh mata namun dapat di renungkanoleh hati.
Ø  Menurut sebuah hadits ujian iman seorang muslim adalah jika engkau merasa senang atas kebaikan yang telah kau kerjakan dan merasa sedih atas kejahatan yang telah engkau lakukan maka engkau adalah seorang muslim yang sejati.

Friday, January 3, 2014

Nurcholish Madjid dan Pemikiran Islam


Nurcholish Madjid dan Pemikiran Islam

HARI ini, 17 Maret 2005, Cak Nur- panggilan akrab Prof Dr Nurcholish Madjid-genap berusia 66 tahun. Dan dalam rangka Dies Natalis VII Universitas Paramadina digelar Simposium Refleksi atas Pemikiran Cak Nur.
Merupakan hal wajar jika pemikiran Cak Nur, yang telah memengaruhi wacana pemikiran Islam di Indonesia, dibedah dalam simposium tiga hari di Auditorium Universitas Paramadina. Rasanya sulit memisahkan nama Cak Nur dengan pemikiran Islam di Indonesia. Bahkan boleh dikatakan, pemikiran Islam pasca-Cak Nur merupakan kelanjutan usaha kerja kerasnya selama 35 tahun, sejak ia menjadi kontroversial pada 1970, saat ia mengemukakan gagasan-gagasan yang amat progresif tentang liberalisasi pemikiran Islam, sekularisasi, kebebasan intelektual, dan pentingnya mengapresiasi gagasan kemajuan.
Cak Nur adalah pribadi yang sering dijuluki "Guru Bangsa" karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran tentang ke Indonesiaan modern. Ia telah menulis sebuah buku Indonesia Kita (2003), yang berisi platform reformasi yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dan politik negara dan bangsa Indonesia.
Ia pun menjadi pelopor banyak isu pembaruan politik, seperti ide pentingnya oposisi loyal, civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa di tengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, hak asasi manusia. Kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia.

Visi Neomodernis
Cak Nur dilahirkan dari lingkungan pesantren dan menjadi representasi-istilahya sendiri- "santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia modern. Hal ini menjadi concern utamanya. Menurutnya, umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern.
Dalam analisisnya, tahun 2020 nanti akan terjadi keseimbangan antara golongan santri dan modernis karena mayoritas masyarakat santri saat itu telah memperoleh pendidikan tinggi yang cukup dan merupakan golongan profesional, yang akan mengimbangi golongan modernis yang telah mendapatkan pendidikan tinggi lebih awal.
Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik" (al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih, wa al-akhz bî al-jadîd al-ashlah). Visi inilah yang disebutnya "neomodernis".
Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan fondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh ke depan karena ia amat menyadari, kalau menanam jagung, diperlukan waktu tiga bulan, menanam kelapa diperlukan waktu tujuh tahun. Tetapi, menanam manusia, diperlukan satu generasi. Untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum, diperlukan investasi waktu sekitar 25 tahun. Apa yang ditanam kini baru diketahui hasilnya baik atau buruk 25 tahun mendatang. Jika kita gagal menanam manusia Indonesia dengan baik, diperlukan satu generasi lagi untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu alasannya mengapa Cak Nur begitu penuh perhatian memikirkan kondisi keberagamaan umat Islam Indonesia. Wajah Indonesia, dalam keyakinan Cak Nur, akan ditentukan oleh wajah umat Islam di Indonesia. Dan wajah Islam Indonesia akan ditentukan oleh apa yang ditanam sekarang.
Atas dasar itu, Cak Nur memikirkan perlunya menumbuhkan wajah Islam yang hanif, yaitu Islam yang toleran dan penuh kelapangan, Islam yang universal dan berorientasi pada kemanusiaan dan peradaban. Dihadapkan persoalan pasca-11 September 2001, di mana ada pembicaraan global mengenai kebangkitan fundamentalisme Islam, Cak Nur memberikan solusi Islam yang hanif itu, dengan menegaskan pentingnya kerja sama dan solidaritas agama-agama. Karena tiap agama bisa memberi kontribusi etika keagamaannya pada masalah global.
Atas keyakinan ini, salah satu isu yang amat penting, yang terus dikemukakan Cak Nur dalam banyak kesempatan, adalah pluralisme. Sebuah masalah yang rupanya masih kontroversial pada masyarakat di Indonesia. Cak Nur menganggap penting pluralisme, bukan hanya dari segi teologis, karena ia sudah meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Tetapi, ia mengembangkannya lebih jauh sehingga merentang pada pentingnya isu pluralisme ini dalam hubungan agama-agama di Indonesia, dengan menaruh pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu-termasuk di dalamnya, dengan sendirinya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.

Pengaruh pada pemikiran Islam
Dalam masa 35 tahun, Cak Nur menyemai bentuk pemikiran Islam yang progresif di Indonesia. Puluhan mahasiswa dari universitas terkemuka di Amerika, Eropa, dan Australia yang menulis disertasi mengenai pemikiran Cak Nur. Charles Kurzman dalam buku daras pemikiran Islamnya, Liberal Islam, A Sourcebook (1998), menganggap Cak Nur sebagai salah satu dari sedikit pemikir Islam liberal di dunia Muslim. Ia menganggap Cak Nur sebagai tokoh liberal syari’ah, maksudnya, Cak Nur mempunyai pemikiran-pemikiran tentang Islam yang amat liberal, dan keliberalannya justru didasarkan pada Al Quran. Mengamati segi ini pada Cak Nur amat menarik, di satu segi ia amat Quranic, karena banyak mengupas hermeneutik Al Quran secara tekstual, tetapi kesimpulan yang dihasilkan amat liberal. Cak Nur pernah mengemukakan, "Kalau begitu yang liberal adalah Al Qurannya sendiri!"
Jika Charles Kurzman benar, bahwa ada enam isu pemikiran Islam kontemporer yang kini menjadi pembicaraan global di dunia Muslim, yaitu: (1) Perlawanan terhadap ide teokrasi atau negara Islam; (2) Pemikiran demokrasi; (3) Masalah hak-hak perempuan; (4) Masalah hak-hak non-Muslim; (5) Kebebasan berpikir; dan (6) Masalah kemajuan, maka Cak Nur selama kariernya telah menggali dan mengemukakan pikiran-pikirannya mengenai keenam isu ini. Hampir semua tulisannya bisa dikategorikan pada salah satu dari enam isu ini.
Begitu banyak karangan yang telah ditulisnya sehingga bisa membuat sebuah "Ensiklopedi Cak Nur". Dan Cak Nur bukan hanya seorang profesor, tetapi juga seorang ensiklopedis. Begitu banyak pengetahuan mengenai Islam dan dunia kemodernan, sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kita boleh mengatakan, begitu komprehensifnya pemikiran keislaman Cak Nur, sehingga pikiran-pikiran Islam pasca-Cak Nur, hanya catatan kaki atas pemikiran Cak Nur-setuju atau tidak setuju.
Belum ada pemikiran Islam pasca-Cak Nur, yang melampaui Cak Nur. Perkembangan pemikiran Islam kini, jauh lebih semarak dari masa muda Cak Nur. Dan ini memberi harapan pada pemenuhan mimpi Cak Nur mengenai kebangkitan dunia Islam dari Indonesia. Sebuah mimpi yang penuh harapan, karena pada dasarnya Islam di Indonesia itu moderat. Dengan pemikirannya yang liberal, akan membawa wajah Islam Indonesia berbeda dari wajah Islam Timur Tengah.
Jika pemikiran Cak Nur kontroversial, itu biasa. Bukan karena ia mengada-ada, seperti banyak pengkritiknya mengatakan begitu, tetapi karena ia mempunyai visi ke depan, melampaui pikiran-pikiran generasinya. Karena itu kritisisme merupakan spirit pemikiran Cak Nur. Ia sering mengemukakan, To avoid criticism, do nothing, say nothing, and be nothing! Dan Cak Nur bukan seorang yang nothing. Ia adalah seorang yang-dalam istilah leadership yang dikemukakan Stephen Covey, dalam The 8th Habit (2004)-telah menemukan inner voice-nya. Ia bukan saja telah menemukan, tetapi bekerja untuk pemenuhan inner voice-nya. Cak Nur telah memenuhi calling-nya, dan memberi inspirasi pada kita untuk menemukan inner voice kita sendiri. Misi hidupnya amat jelas, menyiapkan umat Islam dan bangsa Indonesia, mewujudkan sebuah bangsa yang berperadaban, adil, terbuka, dan demokratis. Selamat ulang tahun Cak Nur, Doa kami semua untuk kesembuhan Cak Nur.

Islam Dan Partai Politik Dalam Pandangan Nurcholis Madjid


Haidar Bagir dalam sebuah kesempatan pernah melontarkan tesis ihwal—dalam istilahnya—revolusi umat Islam Indonesia. CEO dari Penerbit Mizan—sebuah penerbit Islam besar—itu menuturkan tentang tiga gelombang revolusi umat Islam di Indonesia yang kesemuanya berlangsung dalam tiga dekade terakhir. Revolusi pertama menurut Haidar Bagir dimulai di tahun 70-an tatkala terjadi booming kelas menengah muslim. Booming ini bisa dipahami, oleh sebab terbukanya akses kelompok santri untuk memasuki perguruan-perguruan tinggi, dan pendidikan adalah sarana yang paling efektif untuk melakukan mobilitas vertikal. Efek dari mobilitas vertikal ini kemudian berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya dan memapan hingga saat sekarang ini. Contoh yang paling sering dipakai untuk menandai kemunculan kelas menengah muslim ini adalah berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di tahun 1990.
Untuk revolusi yang kedua Haidar menandainya dengan kemunculan sistem Iqra, sebuah sistem cepat untuk dapat membaca al-Quran. Sistem ini diciptakan oleh seorang ustadz bernama As’asd Humam dari Kota Gede Yogyakarta. Dengan sistem ini anak-anak muslim secara cepat dapat membaca al-Quran dengan benar. Lewat sistem yang muncul ditahun 80-an ini pula terjadi pemasalan pengajian anak-anak yang dikemudian hari dikenal dengan nama TPA (Taman Pengajian Al Qur’an). Hal ini bagi orang tua-orang tua muslim adalah sesuatu yang menggembirakan karena generasi muda muslim tidak lagi mengalami buta huruf Al-Quran.
Sedangkan untuk revolusi yang ketiga ia menandainya dengan kemunculan genre sastra Islam yang merebak tahun-tahun belakangan ini. Fenomena ini bisa disimak dari bermunculannya buku-buku sastra fiksi Islam. Sastra fiksi islam ini cukup punya tempat di hati peminat sastra bahkan untuk sebagian ia menciptakan komunitas peminat sastra yang sebelumnya cukup asing dengan dunia sastra. Ini misalnya bisa dilihat dari terbentuknya sebuah forum yang disebut sebagai Forum Lingkar Pena diberbagai kota di Indonesia. Forum ini mewadahi kaum muda muslim yang berminat pada dunia kepenulisan dan secara rutin mengadakan pertemuan untuk mengasah kemampuan dalam bidang tulis-menulis.
Menarik untuk menyimak apa yang dituturkan oleh Haidar Bagir perihal tiga revolusi umat Islam Indonesia diatas, dan perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Menarik, karena bukti yang diajukan oleh Haidar tersebut keluar dari kerangka politik-formal yang lazimnya dipakai oleh akademisi selama ini—baik dalam maupun luar negeri—untuk memahami dinamika umat Islam Indonesia. Seperti yang bisa kita lacak dalam berbagai literatur tentang Islam Indonesia, maka dengan saksama bisa kita tahu bahwa pendekatan dalam kajian-kajian Islam Indonesia selama ini beroperasi dengan asumsi-asumsi politis. Contoh-contoh yang diajukan oleh Haidar tersebut bersifat mikro sekaligus kultural dan karenanya ia berkaitan langsung dengan masa riil umat yang mengalami ketiga revolusi tersebut. Bahwa ketiga bentuk revolusi tadi tak bisa dilepaskan dalam konteks sosio-politik tentu adalah hal yang pasti. Tapi ketiganya muncul sebagai inisiatif yang genuine tanpa terlalu banyak campur tangan dari kuasa formal, disitu menariknya
Lain dari itu, tesis Haidar tersebut juga perlu untuk didiskusikan lebih jauh, mengapa? Jika kita menyimak Majalah TEMPO edisi jelang coblosan 5 April 2004, yang menurunkan laporan utama tentang partai pilihan umat Islam dengan judul: Ummat Islam Pilih Partai Apa?, Maka keperluan dan signifikansi untuk mendiskusikan tesis Haidar Bagir tadi menemukan momennya yang pas.
Berkait dengan laporan itu sendiri, sebenarnya bisa dikatakan tidak ada yang baru dalam penyajiannya bahkan bisa dibilang cenderung mengulang pandapat-pendapat yang muncul selama ini. Entahlah dengan alasan apa pihak redaksi TEMPO memilih subjek itu sebagai coverstory. Hanya saja satu hal yang bisa disimpulkan dari pemilihan laporan itu, bahwa ekspresi politik umat masih mempunyai daya magnetik yang kuat. Sebenarnya menarik mencermati teks judul laput yang memerlukan tanda tanya (?), karena jika membaca paparan didalamnya maka cepat terbaca bahwa TEMPO justru berseru: partai politik Islam ternyata tidak menjadi pilihan umat!tak ada nada tanya disitu.uraiannya terbaca jelas, gamblang dan nyaring.
Laporan TEMPO tersebut didasarkan atas hasil pemilu 1999 dan survei dari berbagai lembaga semacam Lembaga Survei Indonesia dan lembaga sejenis lainnya. Dari situ bisa disimpulkan bahwa perubahan konstelasi politik dan pergeseran sosiologis yang dialami umat Islam tidak serta merta mengubah content isu-isu yang dihadapi umat. Dan sayangnya ini ditambah dengan ketidakjelian pihak “luar” dalam melakukan pembacaan terhadap umat sehingga bagi mereka tetap saja umat ini hanya tahu satu hal : politik, titik.
Membandingkan tesis yang diajukan oleh Haidar Bagir dan laporan utama TEMPO tersebut, maka sebenarnya kita berada pada situasi dimana kita sesungguhnya memerlukan model analisis baru dalam membaca umat. Sebuah model pembacaan yang tidak melulu berkisar pada politik-kuasa an sich. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah : pembacaan yang seperti apa yang sebaiknya dilakukan terhadap kondisi sosiologis umat Islam saat ini? Enam tahun pascareformasi kita bisa mencatat bahwa belum ada yang mampu menawarkan daya baca yang utuh perihal dinamika yang terjadi di dalam tubuh umat Islam. Kita tampaknya masih memakai kacamata lama untuk menganalisis gejala sosial baru.
Jika mencermati uraian-uraian dan diskursus yang berlangsung selama ini tampak—dan dengan daya kepekatan yang tinggi—variabel politik mendominasi pembacaan kita selama ini. Bahkan untuk literatur-literatur yang mencoba keluar dari pembacaan mainstream itu terlihat masih terjebak dengan kerangka pikir politis tersebut.
Pengertian umat pun sebagai entitas masih saja dieja sebagai sesuatu yang tunggal dan steril. Tunggal dalam artian kita kadang suka membacanya dengan homogen, seorang bisa dimasukkan kedalam kategori umat bila ia ikut sebuah partai politik Islam. Sehingga pengertian umat selama ini dipahami dalam relasinya dengan kuasa dan negara. Kalau kita mencoba membuka-buka kembali literatur yang ada maka dengan sedikit kecermatan akan segera kita temukan betapa umat ini ternyata begitu risau jika sudah menyangkut problem kuasa. Bila begitu maka seolah-olah umat hanya punya satu masalah: kuasa dan negara.
Dan soal steril, umat masih kita baca sebagai suatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari faktor-faktor eksternal diluarnya. Semisal pemakaian terma abangan-santri. Jika kita masih saja memakai terma ini dalam diskursus soal umat maka dapat dipastikan kita memahami umat tinggal di hutan belantara yang tidak pernah sama sekali bersentuhan dengan dunia luar berikut perubahan-perubahan cepat yang menyertainya. Untuk konteks tahun 50-an Geertz bolehlah cukup jeli dalam amatannya, tapi jika model baca itu tetap kita pakai untuk konteks awal abad 21 ini, padahal kaum antropolog sudah meninggalkan kategorisasi masyarakat semacam itu maka ada baiknya kita segera bertanya: benarkah masyarakat memang tidak berubah atau jangan-jangan kita yang telah memaksakan kerangka pembacaan terhadap realitas sosial yang sejatinya telah berubah?
Sebenarnya untuk saat ini ada tawaran baru dalam membaca umat yaitu model dekonstruksi terhadap teks agama. Bagi mereka yang memakai model ini, problem umat dipahami bermula dari cara baca, memahami dan penafsiran terhadap teks-teks agama, dalam hal ini ayat-ayat Al-Quran. Sebenarnya model ini masih tidak dapat menjelaskan realitas sosiologis-psikologis umat. Model baca tersebut masih mengandaikan bahwa umat sama sekali tidak mengalami perubahan sosio-kultural. Model baca ini sangat bersifat deduktif dan tidak berangkat dari lapangan, banyak dari tesis-tesisnya melihat bahwa umat masih dipahami dalam kerangka politis, padahal saat ini konstelasi sosio-politis-budaya umat telah berubah. Kalangan terpelajar dalam kategori ini masih saja mengusung isu-isu lama walau dengan penafsiran yang menurut mereka liberal: menjelaskan hubungan negara dengan agama.
Kita berkali-kali mengatakan bahwa partai politik Islam dalam Pemilu 99 dan 2004 tidak lebih dari 30%. Sebuah bukti untuk menegaskan bahwa Islam politik sudah tidak laku sebagai dagangan politik dan realitas umat sudah mengalami pergeseran. Tapi disaat yang sama kita sama sekali tidak melakukan kajian yang bersifat baru yang bisa menjelaskan realitas umat setelah usainya Islam politik. Dan jargon Islam Yes Partai Islam No tinggal selangkah lagi menemukan realitas sosialnya, maka penjelasan apa sesudahnya? Soal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Kuntowijoyo ketika ia melontarkan konsep tiga fase sejarah umat Islam: mitos, ideologi dan ilmu. Menurut Kuntowijoyo kita sekarang berada pada fase Ilmu, namun sayang kaum terpelajar kita masih saja asyik dengan mindset tahun 50-an.
(* Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI)

NB      : Tulisan dipresentasikan dalam diskusi rutin HMI Bulaksumur Sleman dan dimuat dalam Buletin HMI
              Disusun pada 11 August 2008