Tuesday, June 4, 2013

Gadai Islami


GADAI (RAHN)

A.    Pendahuluan.
Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang muncul pula Pegadaian Syariáh.
Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut pandangan islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah islam, landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta penyelesaian gadai.

B.     Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. [1]
Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali.  Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syari’ah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semua atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan hutang sebagai gantinya.[2]
Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.[3]
Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :
1.      menjadikan suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.[4]
2.      Gadai adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[5]
3.      Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang.
4.      Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
5.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.[6]

C.    Landasan Hukum Rahn
Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an, Hadits dan Ijma’.

 1.      Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282 dan 283, diantaranya adalah:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah : 282)

“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah : 283) [7]

2.      Hadits
a.       Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. (shahih muslim)
b.      Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Asy-Syafii, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c.       Nabi bersabda : Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR. Jamaah kecuali Muslin dan An-Nasa’i)
d.      Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda : apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. jamaah kecuali Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i)[8]
3.      Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.[9]

D.    Rukun dan Syarat Rahn
Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi yaitu:
1.      Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjualbelikan tidak dapat digadaikan.
4.      Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijaadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.[10]
Adapun syarat dalam gadai adalah :
1.      Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai adalah orang yang boleh melakukan transaksi jual-beli.
2.      Orang yang berakal.
3.      Baligh (dewasa).
4.      Bukan orang gila dan anak-anak.[11]
Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan  di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:
1.      Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2.      Hewan yang hidup dan tanaman.
3.      Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
4.      Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
5.      Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterengan-keterangan tentang barang yang digadaikan.[12]

E.     Memanfaatkan Barang yang Digadaikan
Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang gadaiaan berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya : “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.[13]

F.     Implementasi Akad Rahn dalam Praktik Perbankan Syari’ah
Rahn atau gadai tidak hanya diterapkan oleh perusahaan penggadaian saja, tetapi perbankan syariah juga menyediakan produk berupa rahn dalam operasionalnya.
Rahn dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama.
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut :
1.      Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
2.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
3.      Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[14]

G.    Riba dalam Gadai
Perjanjian dalam gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya.
Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka dalam transaksi gadai yang seperti ini juga terdapat riba.[15]

H.    Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun (barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.[16]

I.       Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits dan ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
Rahn tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum pegadaian saja, namun juga praktik rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai pelengkap. Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
Dalam transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba bisa terjadi jika rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka hal tersebut termasuk riba.
Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia.  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Ya’qub, Hamzah. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Bandung: DIPONEGORO, 1984.
Yanggo, Chuzaimah T.Hafiz Anshary, Problematika Hukum islam Kontemporer (III). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995.

[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005) 

[2] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia. ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007)
[3] Rahmat syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006)
[4] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam. (Bandung: DIPONEGORO, 1984)
[5] Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum islam Kontemporer (III), (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995)
[6] Hendi Suhendi, Op. Cit.
[7]  Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit.
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
[12] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
[13] Hendi Suhendi, Op. Cit.
[14] Abdul Ghafur Anshori, Op. Cit.
[15] Ibid,
[16]  Hendi Suhendi, Op. Cit.