Friday, May 10, 2013

Manajemen Keuangan Negara Islam


MANEJEMEN KEUANGAN NEGARA ISLAMI
Disusun : Alma dan Rista
 A.    Pendahuluan
Pada zaman Rasulullah sistem keuangan publik islam telah dilaksanakan. Keuangan publik islam pada zaman Rasulullah telah mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada saat Rasulullah hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Kebijakan-kebijakan yang Rasulullah lakukan mengenai keuangan publik itu sendiri hasilnya tidak hanya diperuntukkan kepada pihak-pihak yang terlibat (misalnya pemerintah) tetapi lebih dikhususkan bagi pihak-pihak yang kekurangan seperti kaum fakir-miskin.
Sumber pendapatan keuangan publik pada masa Rasulullah didapat dari hasil rampasan perang, pajak dan lain-lain. misalnya seperti jizyah, ushr, ghanimah/anfal/ khums, kharaj dan sebagainya. Pada makalah ini selanjutnya akan dijelaskan secara terperinci tentang keuangan publik yang terjadi pada masa Rasulullah.
B.     Sejarah Keuangan Islam
1.      Keuangan Publik pada masa Rasulullah Saw.
Bicara mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala negara. Demikian halnya dengan para sahabat Khulafaurrasyidin, juga yang ditempatkan sebagai kepala negara. Sebab, kedudukan sebagai kepala negara adalah identik dengan kedudukan melayani publik.
Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan menjadi kepala Negara, keadaan Madinah masih dalam keadaan kacau, belum memiliki pemimpin ataupun raja yang berdaulat dan kondisi ekonominya pun masih sangat lemah yang hanya ditopang dari hasil pertanian. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat mengalami kemajuan yang pesat.
Dua hal yang telah dijalani dan diubah oleh Rasulullah pada masa itu adalah: pertama, adanya fenomena unik, yaitu bahwa islam membuang sebagian besar tradisi, ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda-tanda, dan patung-patung dari masa lampau dan memulai yang baru dengan Negara yang bersih. Semua peraturan dan deregulasi disusun berdasarkan Al-Qur’an dengan karakteristik dasar islam seperti, persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Kedua, Negara baru dibentuk tanpa menggunakan sumber keuangan ataupun moneter karena Negara baru dibentuk ini sama sekali tidak diwarisi harta, dana maupun persediaan dari masa lampaunya. Sementara sumber keuangan pun belum ada.[1]
a.      Sumber utama keuangan Negara
Sumber utama keuangan Negara pada masa Rasulullah adalah sebagai berikut:
1)      Sedekah fitrah (zakat), sedekah fitrah ini diwajibkan setiap bulan Ramadhan.
2)      Jizyah. Yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang non-muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau kekayaan, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Besarnya pembayaran Jizyah adalah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnnya dan pembayarannya tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.
3)      Kharaj atau pajak tanah yang dipungut dari non-muslim ketika Khaibar ditaklukkan. Jumlah Kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi. Kharaj menjadi sumber pendapatan yang penting ketika masa Rasulullah.
4)      Ushr adalah bes impor yang dikenakan kepada semua pedagang, yang dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
      Zakat dan Ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi Negara pada masa Rasulullah. Zakat dan Ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Al-qur’an (At-Taubah:60) sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan pengeluaran umum Negara.[2]
b.      Sumber sekunder keuangan Negara
      Selain sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan sebagai penerimaan fiscal pemerintahan pada masa Rasulullah terdapat juga sumber pendapatan sekunder. Diantaranya yaitu :
1)      Uang tebusan untuk para tawanan perang.
2)      Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukkan kota mekkah) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari judhaima atau sebelum pertempuran Hawazin yaitu 30.000 dirham (20.000 dirham menurut bukhari) dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofyan bin Umaiyah.
3)      Khumuz atau Rikaz yaitu harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4)      Amwal fadhla berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan Negarinya.
5)      Wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada umat islam yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul Maal.
6)      Nawaib, yaitu pajak yang jumlah cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
7)      Zakat fitrah.
8)      Bentuk lain sedekah seperti, qurban dan kaffarat.[3]
c.       Lembaga Keuangan Negara : Baitul Maal
      Lima belas abad yang lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai cara mengurus keuangan dan kekayaan Negara di belahan dunia manapun.  Pemerintah suatu Negara adalah badan yang dipercaya untuk menjadi pengurus tunggal kekayaan Negara dan keungan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keungan pada abad ke tujuh, yaitu semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpul terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan Negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut baitul maal  atau bendahara.
      Semasa rasulullah masih hidup, masjid nabawi digunakan sebagai kantor pusat Negara sekaligus sebagai tempat tinggalnya dan baitul maal. Namun, binatang-binatang tidak bias disimpan di baitul maal. Sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[4]
2.      Keuangan Publik pada Masa Khulafaurrasyidin
a.      Pada Masa Kekhalifahan Abu Bakar Sidiq
      Abu Bakar Sidiq terpilih menjadi khalifah dalam kondisi miskin, sebagai pedangan yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sejak menjadi khalifah kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari baitul maal ini. Menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari baitul maal dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham pertahun.
      Selama sekitar 27 bulan di masa kepemimpinannya, Abu Bakar Sidiq telah banyak menangani masalah murtad, cukai dan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. System pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam pembendaharaan keuangan. Sumber pendanaan Negara yang semakin menipis, menjelang mendekati wafatnya menyebabkan kekayaan pribadinya dipergunakan untuk kepentingan Negara.[5]
b.      Pada Masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab Al Faruqi
      Pada masa khalifah umar, ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaita dengan masalah kebijakan keuangan Negara, diantaranya adalah :
1)      Baitul Maal
Pada tahun 16 H, umar mengumpulkan Kharaj senilai 500.000 dirham, hasil dari Abu Huraira, Amil Bahrain, untuk disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai angkatan perang, dan kebutuhan untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka Baitul Maal regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibu kota, kemudian dibangun cabang-cabang di ibu kota provinsi.
2)      Tanah kepemilikan
            Sepanjang kepemimpinan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Di sinilah mulai timbul permasalahan bagaimana pembagiannya, diantara sahabat yang ada yang menuntut agar didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Oleh karena itu, dicarilah suatu rencana yang cocok baik untuk mereka yang pertama maupun yang dating terakhir.
            Daerah penumpukan Kharaj mencakup bagian yang cukup besar dari kerajaan Roma dan Sassanit, karena itu system terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian, pengumpulan dan pendistribusian penghasilan yang diperoleh dari tanah-tanah tersebut. Berdasarkan itu, Umar mengirim Utsman Ibnu Hunaif Al-ansari, untuk membuat survey batas-batas tanah di Sawad. Berdasarkan hasil survey luas tanah didaerah tersebut 36 juta Jarib. Setiap jarib dinilai angka dan jumlahnya keudian dikirimkan proposalnya ke khalifah untuk persetujuan. Umar menerapkan beberapa peraturan mengenai kepemilikan sebagai berikut:
a)      Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut tidak dapat dialihkan.
b)      Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk islam. Dengan demikian, tanah seperti itu dapat dikonversikan tanak Ushr.
c)      Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj dan jizyah.
d)     Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditempati (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti basra) bila ditanami oleh kaum muslim diperlakukan sebagai tanah ushr.
e)      Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran local) gandum dan Barley (sejenis gandum), dengan anggapa tanah tersebut dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada Ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.
f)       Di Mesir, menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga idrab gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu, rancangan ini disetujui oleh khalifah.
g)      Perjanjian damaskus (syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum muslimin. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.[6]
3)      Zakat dan Ushr
            Pada masa Umar, gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tidak membayar ushr, tetapi menginnginkan sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengataka bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak, tidak akan mendapat perlindungan. Menurut laporan Abu Ubaid, umar membedakan madu yang diperoleh dari daerah pegunungan dan yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yag pertama dan sepersepuluh untuk jenis madu kedua.
4)      Pembayaran sedekah ke non-muslim
            Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Banu Taghlib yang keseluruhan kekayaan  terdiri dari ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum muslimin. Banu Taghlib suku arab Kristen yang menderita akibat peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.
            Namun, Ibnu Zuhra memberika alasan untuk kasus mereka. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi asset Negara. Umar pun memanggilkan mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk  tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka pun menyetujui dan menerima membayar sedekah ganda.
5)      Mata Uang
            Pada masa nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti: dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus Grain Barley. Bobot dirham tidak seragam, untuk menghindari kebingungan, umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Rasio antara satu dirham dan satu mistqal adalah tujuh per sepuluh. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa sebelum nabi lahir, perekonomian saat itu telah menggunakan emas dan perak sebagai alat transaksi.[7]
6)      Klasifikasi pendapatan Negara
            Pada periode awal islam, para khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi dalam empat jenis, yaitu:
a)      Zakat dan Ushr
Dana ini dipungut secara wajib diperoleh dari kaum muslimin dan didistribusikan kepada delapan asnaf dalam tingkat local. Kelebihan disimpan di Baitul Maal pusat dan akan dibagikan kembali.
b)      Khums dan Sedekah
Dana ini dibagikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai kegiatan mereka dalam mencari kesejahteraan tanpa diskriminasi.
c)      kharaj, fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah
dana ini diperoleh dari pihak luar (non-muslim dan non-warga) dan didistribusikan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan, serta menutupi pengeluaran administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
d)     berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Dana ini dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
7)      Pengeluaran
            Bagian pengeluaran yang paling penting dari pendapatan keseluruhan adalah dana pensiun kemudian diikuti dana pertahanan Negara dan dana pembangunan. Secara garis besar pengeluaran Negara pada masa kekhalifahan Umar dikeluarkan untuk kebutuhan yang memndapat prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran, baik muslim maupun non-muslim. Dana tersebut termasuk juga pensiunan bagi para pegawai sipil.[8]
c.       Pada Masa Kekhalifahan Utsman
      Utsman Bin Affan adalah khalifah yang ketiga. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani, Kerman, dan Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliaran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
     Khlifah Utsman tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah dalam hal yang serius. Bahkan ia menyimpan uangnya di bendahara Negara. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran perahanan dan kelautan, meningkatkan dana pension dan pembangunan wilayah taklukan baru, khalifah membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir.
     Lahan luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi dia menyimpannya sebagai lahan Negara yang tidak dibagika-bagikan. Sementara itu Usman membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan untuk kontribusi sebagai bagian yang diprosesnya kepada Baitul Maal. Dilaporkan bahwa lahan ini pada masa Umar menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi pada masa Utsman ketika lahan telah dibagikan kepada individu-individu, penerimaannnya meningkat menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak demikian.[9]
d.      Pada Masa Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib 
     Setelah meninggalnya Utsman, Ali terpilih sebagai khalifah dengan suara bulat. Ali menjadi khalifah selama lima tahun. Kehidupan Ali sangat sederhana dan dia sangat ketat dalam menjalankan keungan Negara. Gubernur Ray dijebloskan kepenjara oleh khalifah dengan tuduhan penggelapan uang Negara.
     Dalam hal penerimaan Negara, Ali masih membebanka pungutan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali para pemilik hutan (ajmat) 4.000 dirham. Berbeda dengan khalifah Umar, Khalifah Ali mendistribusikan seluruh pendapatan di Biatul Maal ke provinsiyang ada di Baitul Maal Madinah, Busra dan Kufa. System distribusi tiap pecan untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada hari itu semua penghitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai penghitungan baru.
     Dalam alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Utsman hamper dihilangkan seluruhnya karena daerah sepanjang garis pantai seperti Syiria, Palestina dan Mesir dibawah kekuasaan Muawiyah. Namun dengan adanya penjagaan malam dan patrol (diciptakan oleh  Umar), khalifah Keempat tetpa menyediakan polisi regular yang terorganisasi, yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar Sahibush-Shurta. Fungsi lain dari Baitul Maal masih tetap sama seperti yang dulu dan tidak ada perkembangan aktivitas yang berarti pada periode ini.[10]
C.    Karakteristik Keuangan Islam
1)      Pandangan Ahli Fiqih terhadap zakat dan Pajak
            Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang islam yang telah memenuhi kriteria tertentu. Dalam Al-qur’an terdapat 32 kata zakat, dan 82 kali diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari zakat, yaitu kata sedekah dan infaq. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi serta peranan yang sangat penting dalam islam.
            Perintah zakat ditirunkan pada periode mekkah baru merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Sedangkan yag diturunkan pada periode madinah, merupakan perintah yang telah menjdi kewajiban mutlak (ilzami).
            Pungutan yang diwajibkan oleh pemerintah selain zakat dan kharaj di dalam Negara islam disebut dengan Dharibah. Dharibah dikenal dengan istilah pajak yaitu harta yang diwajibkan membayar oleh kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di Baitul Maal tidak ada uang/harta.
            Dharibah lahir dengan landasan hukum bahwa Allah juga telah mewajibkan Negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum muslim tidak ada yang mendermakan. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling) membahayakan.” Allah Swt  memberikan hak kepada Negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemashlahatan tersebut dari kaum muslim. Namun, kewajiban memmbayar dharibah trsebut hanya dibebankan kepada mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf.
            Ulama fiqih kontemporer mengemukakan bahwa ada kewajiban material yang berbentuk pajak itu tidak diragukan keabsahannya karena ternyata pada waktu itu Negara memerlukan anggaran pendapatan yang besar sekali, yang keseluruhannya tidak mugkin terpenuhi dengan zakat.
            Pada saat ini, dua kewajiban tersebut menyatu dalam diri seorang muslim bukan saja kewajiban pajak, tetapi juga kewajiban zakat sekaligus. Kedua kewajiban itu tidak dapat dihindarkan karena jika kewajiban hanya berlaku terhadap zakat saja dan bebas dari pajak, maka pemasukan terhadap Negara tidak akan mencukupi dan tidak akan dapat memenuhi anggaran pendapatan Negara yang dipakai untuk membiayai hal-hal yang jauh lebih banyak dari apa yang ditentukan dalam zakat.
            Atas dasar hal-hal tersebut ulama menolak anggapan memperhitungkan pajak sebagai memenuhi kewajiban zakat. Yusuf Qardhawi menyimpulkan, tidak boleh memperhitungkan pajak sebagai kewajiban zakat adalah karena yang demikian akan menghilangkan lembaga zakat itu sendiri, yang berarti menghilangkan salah satu syiar islam.[11]
2)      Prinsip Penerimaan Publik
            Dari tinjauan sejarah mengenai penerimaan publik islam dapat ditunjukkan bervariasinya bentuk-bentuk sumber pendanaan publik, baik yang sudah ditentukan oleh Al-qur’an saperti zakat, ghanimah, maupun yang ditentukan oleh pemerintah saat itu seperti kharaj, khumuz, jizyah, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik islam yaitu :
a.       Sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan mempunyai kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah.
b.      Berbagai pungutan dharibah tidak dipungut atas besarnya input/sumber daya yang digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul.
c.       Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat secara paksa, meskipun kepada orang kaya.
d.      Islam memperlakukan kaum muslimin dan non-muslim secara adil. Pungutan dikenakan proorsional terhadap manfaat yang diterima pembayar.
e.       Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pajak menjadi empat jenis, yaitu :
1.      Zakat
2.      Asset atau kekayaan non keuangan
3.      Dharibah, meliputi jizyah, kharaj, ushr, nawaib, dan sebagainya.
4.      Penerimaan publik sukarela, yang meliputi infaq, sedekah, wakaf, hadiah dan sebagainya.[12]
3)      Prinsip Pengeluaran Publik
            Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik islam semasa Rasulullah Saw. dan khulafaurrasyidin serta kaidah fiqih muamalah pada hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasian dana publik adalah peningkatan mashlahat tertinggi. Secara umum belanja Negara dikategorikan menjadi empat, yaitu :
a.       Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya diambil dari zakat dan ushr.
b.      Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambil dari kharaj, fai, jizyah dan ushr.
c.       Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dana ini pada umumnya diambil dari dana lainnya yaitu khumus dan sedekah.
d.      Biaya lain, seperti biaya emergency, pengurusan anak terlantar, dan sebagainya. Dana ini pada uumumnya diambil dari wakaf, utang publik, dan sebagainya.
             Dengan empat jenis alokasi keuangan publik diatas, besaran dan skala prioritas alokasi tidaklah selalu sama setiap Negara ataupun waktu. Prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik adalah:
a.       Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil, ataupun pemerintah. amil hanya berfungsi menjalankan managemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusiannya yang sesuai ajaran islam.
b.      Penerimaan selainzakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip pokok, diantaranya :
1.      Belanja Negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal mungkin mashlahah.
2.      Menghindari musyaqqah kesulitan dan mudharat harus didahulukan daripada melakukan perbaikan.
3.      Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala yang lebih luas.
4.      Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
5.      Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan penderitaan atau kerugian yang ditanggung.
6.      Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syariah islam, maka belanja tersebut harus diwajibkan.[13]
4)      Keseimbangan Sektor Publik dan Anggaran
            Dengan  mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran sektor publik, maka dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik (surplus) ataupun deficit sektor publik. Namun, karena alokasi zakat sudah ditentukan oleh Allah dan bukan merupakan kewenangan amil untuk menentukan, maka dimungkinkan terjadi pada suatu waktu terdapat sisa dana zakat bersamaan dengan belum terpenuhinya kebutuhan yang tidak dimungkinkan dibiayai dengan zakat. Misalnya, biaya rutin pemerintahan dan militer, dalam sepanjang sejarah islam tidak dibiayai dari zakat, namun dari pendapatan lain jika memungkinkan seperti ghanimah dan jizyah. Namun disisi lain, hal yang sebaliknya tidak mungkin terjadi, yaitu ketika terjadi surplus di penerimaan publik non-zakat, maka surplus ini bisa digunakan untuk menutupi kekurangan-kekurangan distribusi dari zakat.
            Meskipun Rasulullah tidak melakukan estimasi tahanan mengenai berapa besar belanja yang dibutuhkan dan sumber-sumber penerimaannya, namun beliau telah melakukan penyeimbangan antara tujuan dan instrument pemerintah, dalam arti penerimaan dan pengeluaran pemerintah. konsep anggaran yang merupakan suatu rancangan kegiatan dan pendekatan terhadap pengeluaran pemerintah pada setiap segmen adalah merupakan hal yang relatif baru dalam sejarah islam. Dengan demikian, tidak diperoleh informasi normatif mengenai bagaimana proses penyusunan anggaran maupun besarnya dalam perspektif islam.[14]
D.    Instrumen Pembiayaan Publik
1.      Zakat
            Pengeluaran/pembayaran zakat dalam islam mulai efektif dilaksanakan sejak setelah hijrah dan terbentuknya Negara islam di Madinah. Orang yang beriman dianjurkan untuk membayarkan sejumlah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat merupakan kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun islam. Kewajiban itu berlaku bagi setiap muslim yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan memiliki harta itu setahun penuh dalam memenuhi nisabnya.
2.      Asset dan Perusahaan Negara
            Selain mendapatkan penerimaan berupa zakat, Negara islam memiliki sumber pendanaan Negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fai. Kedua harta ini diperoleh dari masyarakat non-muslim, baik melalui pemaksaan perang ataupun melalui jalan damai. Harta ghanimah bukanlah tujuan utama peperangan, tetapi harta ghanimah sebagian besar digunakan untuk kesejahteraan tentara dan sebagian kecil untuk umat islam. Anggota pasukan akan mendapatkan bagian sebesar empat perlima atau 80 %, Al-qur’an telah mengatur hal ini secara jelas dalam QS. Al-Anfal ayat 41. Sedangkan fai merupakan sumber penerimaan dari Negara islam dan sumber pembiayaan Negara. Gambaran mengenai fai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Hasyr ayat 6-7.[15]
3.      Kharaj
            Kharaj atau biasa disebut pajak tanah. Dalam pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua macam, yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional artinya dikenakan ssebagai bagian total dari bagi hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima dan sebagainya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain, kharaj proporsional tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian. Kharaj tetap dikenakan pada setahun sekali. Selama pemerintahan islam, kharaj menjadi sumber penerimaan utama dari Negara islam, dana itu dikuasai oleh komunitas dan bukan kelompok-kelompok tertentu.
4.      Jizyah
            Salah satu cirri khas masyarakat muslim adalah menjaga saudaranya muslim ataupun non-muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah, orang-orang Kristen dan yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi anggota militer di Negara islam. Mereka memperoleh konsesi bahwa Negara islam akan menjamin keamanan pribadi dan hak milik mereka. Sebagai gantinya orang-orang non-muslim diwajibkan dengan mengganti pembayaran jizyah. Dijelaskan dalam Al-qur’an QS. At-Taubah : 29.
            Mesipun jizyah merupakan hal yang wajib, namun dalam islam ada ketentuan yaitu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non-muslim dewasa laki-laki yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur.
5.      Wakaf
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syari’at islam. Makin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala yang akan mengalir kepada wakif.[16]
E.     Gagasan Keuangan Publik dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-qur’an terdapat tiga istilah mengenai keuangan publik, yaitu Anfal (QS. Al-Anfal :1), Khumz (QS. Al-Anfal : 41) dan Jizyah (QS. At-Taubah : 24), meskipun ketiganya hanya muncul satu kali dalam Al-qur’an, tetapi ketiganya juga menjadi sangat penting dalam pendapatan publik.
1.      Anfal
Istilah Anfal muncul pertama kali ketika terjadi perang badar, istilah anfal sendiri menjadi salah satu surah dalam Al-qur’an, yaitu Al-Anfal. Arti anfal sendiri adalah rampasan perang atau kumpulan harta rampasan perang.
Seperti yang terdapat dalam Al-qur’an yaitu surah Al-Anfal ayat 1 yang artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”.
Maksud dari harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasulnya adalah harta rampasan perang dibagi sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan, yaitu seperlima milik Allah dan Rasul-Nya, karib-kerabat, anak yatim, ibn sabil dan fakir-miskin.[17]
2.      Khumz
Istilah Khumz sama seperti anfal, yaitu hanya muncul sekali dalam Al-qur’an. Berdasarkan kaitan historis diantara kedua ayat tersebut, Ibn Abb. Al-Barr menyatakan bahwa, pendapat yang memandang ayat khums secara kronologis diturunkan setelah ayat Al-anfal dan telah mendapat status ijma’.
Secara hukum ayat khums bersifat publik. publik dalam kasus ini, yang dimaksud adalah kelompok-kelompok yang disebutkan ayat tersebut, yaitu QS. Al-Anfal : 41 yang artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dari ayat tersebut telah jelas bahwa seperlima atau 20% menjadi kekayaan publik dan 80% menjadi hak masing-masing tentara yang terlibat dimedan pertempuran sebagai (ghanimah) biasa.[18]
3.      Jizyah
QS. At-Taubah : 29 yang artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
            Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. Walaupun jizyah yang ditegaskan Al-qur’an hanya ditujukan kepada ahli alkitab yakni orang Kristen dan yahudi, namun aturan ini juga berlaku/ dikenakan kepada masyarakat selain ahli alkitab.[19]
F.     Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa keuangan publik pada masa Rasulullah bersumber pada keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat, baik yang dikelola secara individual maupun oleh pemerintah.
Sumber-sumber keuangan publik pada masa Rasulullah didapat dari hasil rampasan perang maupun pajak yang berupa jizyah, ushr, kharaj dan sebagainya. Sumber-sumber keuangan publik tersebut juga merujuk kepada Al-qur’an yang berupa zakat dan ghanimah. Selain berupa zakat, sumber keuangan publik mayoritas bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk wakaf,, infaq dan shodaqoh.
Di dalam keuangan publik terdapat sebuah prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik yaitu tertuju pada ketentuan zakat. Bahwa alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil atau pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan menegemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusian sesuai dengan syariat islam. Prinsip lainnya adalah bahwa islam memperlakukan kaum muslim dan non-muslim secara adil.

DAFTAR BACAAN
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ugi Suharto. 2004. Keuangan Publik Islam :Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Pusat Studi Zakat (PSZ).

[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008)
[2] Ibid, 
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10] Ibid,
[11] Ibid,
[12] Ibid,
[13] Ibid,
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Ibid,
[17] Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam :Reinterpretasi Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Pusat Studi Zakat (PSZ), 2004)
[18] Ibid,
[19] Ibid,